Kasus
Kedelai, Potret Gagal Pangan
Dewi Aryani ; Anggota
DPR RI Fraksi PDI Perjuangan,
Doktor Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik
Universitas Indonesia
SINDO,
27 Juli 2012
Kalimat “Gemah Ripah Loh Jinawi” seringkali
digunakan dalam menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah. Kekayaan
yang diharapkan akan membawa kemakmuran, ketenteraman, kesejahteraan dan
kedamaian bagi masyarakat seutuhnya.
Melimpahnya potensi
sumber daya alam (mega-biodiversity, termasuk plasma nutfah) tergambar ketika
Indonesia diposisikan sebagai negara dengan biodiversity
darat terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Keanekaragaman ini menjadikan
sektor pertanian sebagai sektor yang paling potensial di Indonesia. Lahan yang
luas pun semakin mendukung di mana dengan luas lahan Indonesia sebesar 192 juta
ha, 101 juta ha berpotensi sebagai areal pertanian yang meliputi lahan basah
seluas 25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering
tanaman tahunan 50,9 juta ha.
Namun yang telah dimanfaatkan hanya sebesar 47 juta ha (Kementan, 2006). Potensi ini menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Bahkan kontribusinya luar biasa besar terhadap pembangunan. Pertanian merupakan produsen bahan pangan dan serat, produsen bahan baku industri, berperan dalam mengatasi kemiskinan dan permasalahan lingkungan.
Namun yang paling penting, sektor ini merupakan menyumbang kontribusi penerimaan bagi Indonesia dan menyumbang pengurangan tenaga kerja di Indonesia. Saat ini sektor pertanian berkontribusi terhadap penerimaan negara sebesar 14,7% dari PDB dengan 39,33% penduduk bekerja di sektor pertanian dari total pekerja di Indonesia (BPS,2012). Namun, segala kekayaan bumi dan gambaran Indonesia sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi” seolah terhapus dan hanya menjadi sebuah catatan sejarah semata.
Potensi alam yang ada tidak dimanfaatkan dan dioptimalkan hingga mencapai titik di mana sektor pertanian tidak lagi menjadi bagian dari identitas Indonesia. Kasus kedelai jadi contoh. Kedelai merupakan salah satu produk pertanian yang hasil olahannya digunakan dalam berbagai bahan pangan di Indonesia, merupakan salah satu contoh gagalnya pemerintah dalam mengelola potensi pertanian Indonesia.
Permintaan yang tinggi terhadap kedelai tidak diantisipasi dengan ketersediaan yang memadai. Luas lahan kedelai saat ini hanya sebesar 622,254.00 ha, dengan produktivitas sebesar 13.68 kuintal/ha, dan produksi sebesar 851,286.00 ton. Akibatnya terjadi kelangkaan kedelai yang menyebabkan harga kedelai membumbung tinggi. Dampaknya adalah bahan pangan yang terbuat dari kedelai semakin jarang terlihat di pasaran.
Ketidakmampuan Pemerintah dalam menjamin kedaulatan dan swasembada pangan setidaknya terjadi karena tiga hal. Pertama, Pemerintah tidak mampu memahami kebutuhan rakyat, khususnya para petani Indonesia. Meskipun hidup di negara agraris, nasib petani Indonesia dapat dikatakan lebih buruk dibandingkan negara nonagraris. Jerat-jerat kemiskinan membayangi hidup para petani Indonesia bahkan sebagian besar Petani Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Ironis, karena kerja keras para petani untuk memastikan ketahanan pangan negara tidak terbayarkan akibat banyak kebijakan Pemerintah yang tidak pro kepada mereka. Lihat saja bagaimana Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) sedikit demi sedikit menggeser kehidupan para petani. UU ini menjadikan para petani kecil harus berlomba dengan pengusaha-pengusaha besar untuk memperebutkan lahan pertanian, yang seharusnya menjadi milik mereka.
Belum lagi persaingan di antara para petani. Petani pun juga harus berusaha untuk mempertahankan lahan pertaniannya dari para pengusaha besar properti yang akan membuat bangunan dan gedung-gedung mewah di atas lahan pertaniannya. Tidak hanya permasalahan lahan, para petani juga harus dihadapkan pada permasalahan naiknya harga pupuk bersubsidi yang mencapai 40% pada tahun 2012 ini.
Harga BBM yang dirasakan masih mahal oleh para petani di satu sisi mempengaruhi pengoperasian alat-alat pertanian mereka. Production cost yang tinggi tidak diimbangi dengan harga jual tertinggi yang meningkat. Permasalahan lain yang dialami oleh para petani adalah rendahnya pengetahuan dan skill bertani. Terlihat dari penggunaan cara-cara tradisional sehingga hasil tani yang didapatkan relatif sedikit dan tidak unggul.
Kedua, ketiadaan blueprint tata kelola pertanian menuju kedaulatan pangan yang mengakibatnya hilangnya orientasi akibat ketidakseragaman visi dalam menciptakan kedaulatan pangan. Rencana strategis yang ada saat ini hanya sebatas pada target produksi pertanian. Tidak ada target yang menyebutkan usaha-usaha Indonesia untuk menciptakan kedaulatan pangan sehingga sebagai sebuah negara agraris, Indonesia tidak lagi harus bergantung pada impor beberapa komoditas pertanian.
Ketiga, permasalahan bukan hanya berada pada level konseptual, implementasi kebijakan-kebijakan pertanian juga bermasalah karena kondisi birokrasi, baik birokrasi Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang masih diliputi berbagai penyakit. Oleh karenanya, permasalahan buruknya birokrasi ini menjadi alasan ketiga yang menyebabkan ketidakmampuan Pemerintah menata ketahanan pangan apalagi menciptakan kedaulatan pangan.
Selain ketiga permasalahan di atas, terdapat salah satu permasalahan kunci yang menyebabkan ancaman namun tidak terbatas pada kedaulatan pangan, namun juga kedaulatan energi dan air. Seperti yang diketahui bersama, energi, pangan, dan air, adalah tiga hal yang keberadaannya akan mendukung proses pembangunan. Kelangkaan pangan, energi, dan air, akan menghambat proses pembangunan yang sedang berjalan.
Hal yang mengancam ketiganya adalah berbagai kebijakan Pemerintah, khususnya yang terkait dengan ketiga hal ini, masih sangat sektoral, terfragmentasi, dan belum menyentuh aspekaspek khusus pada ketiganya. Sebagai contoh adalah kebijakan Pemerintah tentang penggunaan lahan yang salah satunya diakomodasi oleh UU Pokok Agraria.
Kehadiran pihak komersial dan industri dalam UU tersebut semakin meningkatkan persaingan pengambilalihan lahan tidak hanya untuk memproduksi energi, pangan, dan air, namun juga sebagai lahan pembangunan bangunan dan gedung-gedung mewah. Egoisme sektoral memang menjadi hal yang menyebabkan permasalahan ini. Oleh karenanya, Pemerintah seharusnya menciptakan kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif, khususnya bagi sektor pangan, energi, dan air sebagai faktor input pembangunan.
Indonesia wajib untuk belajar kepada Brasil, sebuah negara yang mampu membangun sektor pertaniannya. Dalam kurun waktu 30 tahun, Brasil mampu mengubah negaranya yang awalnya merupakan negara importir hasil tani menjadi salah satu negara eksportir komoditas pertanian terbesar. Hasil taninya seperti kedelai dan jagung telah dikonsumsi di berbagai belahan dunia. Bahkan pada periode 1996–2006, hasil pertanian Brasil meningkat 365%.
Pencapaian-pencapaian yang dilakukan Brasil ini tidak lepas dari peran Pemerintahnya yang secara konsisten menciptakan kebijakan pertanian yang pro Petani. Lahan-lahan tandus disulap menjadi lahan penghasil komoditas pertanian. Brasil telah memiliki grand design pertanian bagi negaranya.
Sehingga masing-masing daerah memiliki komoditas unggulan yang daya saingnya dapat menandingi negara-negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat dan sebagainya. ●
Namun yang telah dimanfaatkan hanya sebesar 47 juta ha (Kementan, 2006). Potensi ini menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Bahkan kontribusinya luar biasa besar terhadap pembangunan. Pertanian merupakan produsen bahan pangan dan serat, produsen bahan baku industri, berperan dalam mengatasi kemiskinan dan permasalahan lingkungan.
Namun yang paling penting, sektor ini merupakan menyumbang kontribusi penerimaan bagi Indonesia dan menyumbang pengurangan tenaga kerja di Indonesia. Saat ini sektor pertanian berkontribusi terhadap penerimaan negara sebesar 14,7% dari PDB dengan 39,33% penduduk bekerja di sektor pertanian dari total pekerja di Indonesia (BPS,2012). Namun, segala kekayaan bumi dan gambaran Indonesia sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi” seolah terhapus dan hanya menjadi sebuah catatan sejarah semata.
Potensi alam yang ada tidak dimanfaatkan dan dioptimalkan hingga mencapai titik di mana sektor pertanian tidak lagi menjadi bagian dari identitas Indonesia. Kasus kedelai jadi contoh. Kedelai merupakan salah satu produk pertanian yang hasil olahannya digunakan dalam berbagai bahan pangan di Indonesia, merupakan salah satu contoh gagalnya pemerintah dalam mengelola potensi pertanian Indonesia.
Permintaan yang tinggi terhadap kedelai tidak diantisipasi dengan ketersediaan yang memadai. Luas lahan kedelai saat ini hanya sebesar 622,254.00 ha, dengan produktivitas sebesar 13.68 kuintal/ha, dan produksi sebesar 851,286.00 ton. Akibatnya terjadi kelangkaan kedelai yang menyebabkan harga kedelai membumbung tinggi. Dampaknya adalah bahan pangan yang terbuat dari kedelai semakin jarang terlihat di pasaran.
Ketidakmampuan Pemerintah dalam menjamin kedaulatan dan swasembada pangan setidaknya terjadi karena tiga hal. Pertama, Pemerintah tidak mampu memahami kebutuhan rakyat, khususnya para petani Indonesia. Meskipun hidup di negara agraris, nasib petani Indonesia dapat dikatakan lebih buruk dibandingkan negara nonagraris. Jerat-jerat kemiskinan membayangi hidup para petani Indonesia bahkan sebagian besar Petani Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Ironis, karena kerja keras para petani untuk memastikan ketahanan pangan negara tidak terbayarkan akibat banyak kebijakan Pemerintah yang tidak pro kepada mereka. Lihat saja bagaimana Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) sedikit demi sedikit menggeser kehidupan para petani. UU ini menjadikan para petani kecil harus berlomba dengan pengusaha-pengusaha besar untuk memperebutkan lahan pertanian, yang seharusnya menjadi milik mereka.
Belum lagi persaingan di antara para petani. Petani pun juga harus berusaha untuk mempertahankan lahan pertaniannya dari para pengusaha besar properti yang akan membuat bangunan dan gedung-gedung mewah di atas lahan pertaniannya. Tidak hanya permasalahan lahan, para petani juga harus dihadapkan pada permasalahan naiknya harga pupuk bersubsidi yang mencapai 40% pada tahun 2012 ini.
Harga BBM yang dirasakan masih mahal oleh para petani di satu sisi mempengaruhi pengoperasian alat-alat pertanian mereka. Production cost yang tinggi tidak diimbangi dengan harga jual tertinggi yang meningkat. Permasalahan lain yang dialami oleh para petani adalah rendahnya pengetahuan dan skill bertani. Terlihat dari penggunaan cara-cara tradisional sehingga hasil tani yang didapatkan relatif sedikit dan tidak unggul.
Kedua, ketiadaan blueprint tata kelola pertanian menuju kedaulatan pangan yang mengakibatnya hilangnya orientasi akibat ketidakseragaman visi dalam menciptakan kedaulatan pangan. Rencana strategis yang ada saat ini hanya sebatas pada target produksi pertanian. Tidak ada target yang menyebutkan usaha-usaha Indonesia untuk menciptakan kedaulatan pangan sehingga sebagai sebuah negara agraris, Indonesia tidak lagi harus bergantung pada impor beberapa komoditas pertanian.
Ketiga, permasalahan bukan hanya berada pada level konseptual, implementasi kebijakan-kebijakan pertanian juga bermasalah karena kondisi birokrasi, baik birokrasi Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang masih diliputi berbagai penyakit. Oleh karenanya, permasalahan buruknya birokrasi ini menjadi alasan ketiga yang menyebabkan ketidakmampuan Pemerintah menata ketahanan pangan apalagi menciptakan kedaulatan pangan.
Selain ketiga permasalahan di atas, terdapat salah satu permasalahan kunci yang menyebabkan ancaman namun tidak terbatas pada kedaulatan pangan, namun juga kedaulatan energi dan air. Seperti yang diketahui bersama, energi, pangan, dan air, adalah tiga hal yang keberadaannya akan mendukung proses pembangunan. Kelangkaan pangan, energi, dan air, akan menghambat proses pembangunan yang sedang berjalan.
Hal yang mengancam ketiganya adalah berbagai kebijakan Pemerintah, khususnya yang terkait dengan ketiga hal ini, masih sangat sektoral, terfragmentasi, dan belum menyentuh aspekaspek khusus pada ketiganya. Sebagai contoh adalah kebijakan Pemerintah tentang penggunaan lahan yang salah satunya diakomodasi oleh UU Pokok Agraria.
Kehadiran pihak komersial dan industri dalam UU tersebut semakin meningkatkan persaingan pengambilalihan lahan tidak hanya untuk memproduksi energi, pangan, dan air, namun juga sebagai lahan pembangunan bangunan dan gedung-gedung mewah. Egoisme sektoral memang menjadi hal yang menyebabkan permasalahan ini. Oleh karenanya, Pemerintah seharusnya menciptakan kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif, khususnya bagi sektor pangan, energi, dan air sebagai faktor input pembangunan.
Indonesia wajib untuk belajar kepada Brasil, sebuah negara yang mampu membangun sektor pertaniannya. Dalam kurun waktu 30 tahun, Brasil mampu mengubah negaranya yang awalnya merupakan negara importir hasil tani menjadi salah satu negara eksportir komoditas pertanian terbesar. Hasil taninya seperti kedelai dan jagung telah dikonsumsi di berbagai belahan dunia. Bahkan pada periode 1996–2006, hasil pertanian Brasil meningkat 365%.
Pencapaian-pencapaian yang dilakukan Brasil ini tidak lepas dari peran Pemerintahnya yang secara konsisten menciptakan kebijakan pertanian yang pro Petani. Lahan-lahan tandus disulap menjadi lahan penghasil komoditas pertanian. Brasil telah memiliki grand design pertanian bagi negaranya.
Sehingga masing-masing daerah memiliki komoditas unggulan yang daya saingnya dapat menandingi negara-negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat dan sebagainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar