Jumat, 27 Juli 2012

Prioritas RAPBN 2013


Prioritas RAPBN 2013
Effnu Subiyanto ; Aktivis dan Peneliti, Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
 SUARA KARYA, 26 Juli 2012

Mengingat begitu luasnya wilayah Republik ini tidak akan mungkin pemerintah pusat mampu mengingat setiap masalah yang terjadi pada tahun sebelumnya, apa yang dibutuhkan, berapa dan kapan diharapkan. Untuk inilah seharusnya APBN dibangun cross sectional tidak hanya top down namun juga bottom-up. Pemerintah pusat dapat merencanakan disain makro-nya namun pemerintah daerah harus diberikan ruang untuk mengekspresikan dirinya lebih detail sesuai daerahnya.

Dari banyak kejadian, operasional pemerintahan daerah di pulau terluar tidak cukup memiliki dana. Oleh karena itu, banyak pulau diduga hilang diakuisisi oleh Malaysia. Ketidak-mampuan membiayai kekayaan budaya pula yang menyebabkan ragam seni kita diserobot pula oleh Malaysia. Di Indonesia banyak sekali kejadian mempunyai rasa memiliki namun tidak punya bukti atau ada bukti kepemilikan namun tidak memiliki.

Kalau melihat maju mundur posisi geopolitik Indonesia, Malaysia, Singapura dan Australia, penjagaan pulau-pulau terluar nusantara harus menjadi prioritas. Beberapa pulau yang sudah lepas dan tidak tertutup kemungkinan pulau lain dalam incaran terutama Malaysia, maka frekuensi prevalensi militer dan atau kunjungan birokrat harus ditingkatkan. Pembenahan infrastruktur harus diperhatikan dan mulai dipikirkan. Persoalan penduduk pulau terluar ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan dan menyalahkan pusat jika menemukan dirinya tidak memiliki cukup anggaran untuk meningkatkan program prevalensi ini. Saling menyalahkan dari daerah kepada pusat sekarang bisa jadi disebabkan karena daerah tidak pernah diajak memberikan kontribusi dan saran terhadap struktur APBN mengenai problem pulau terluar.

Lepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan, setelah dievaluasi dan diteliti disebabkan karena frekuensi kunjungan pemerintah ke pulau terluar hampir tidak ada disebabkan oleh keterbatasan anggaran. Presensi pemerintah Malaysia malah lebih sering dan akhirnya menginternalisasi kepada penduduk Ligitan dan Sipadan bahwa pulau yang ditempati masuk wilayah Malaysia. Proses ini berlangsung bertahun-tahun sejak 1969 dan pada 2002 lepaslah pulau kaya itu ke tangan Malaysia.

Prioritas yang mendesak berikutnya adalah diperlukan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan di seluruh pulau Indonesia. Kondisi kemacetan parah yang selalu terjadi saat ini sudah tidak dapat ditahan lagi. Di samping BBM menjadi boros karena rata-rata kecepatan kendaraan hanya 5-7 km/ jam di perkotaan Indonesia, waktu sering terbuang percuma di jalan dan ungkapan penduduk Indonesia 'tua di jalan' bukan hanya isapan jempol. Pekerja di Jakarta harus berangkat pagi setelah subuh demikian pula harus pulang di atas jam 9 malam untuk menghindari kemacetan parah.

Dari website Kementerian Keuangan, pemerintah mengajukan asumsi makro dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun anggaran 2013, yang disampaikan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat paripurna di gedung DPR (16/5/2012).

Asumsi-asumsi tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8-7,2 persen, inflasi 4,5-5,5 persen, suku bunga SPN 3 bulan sebesar 4,5-5,5 persen, nilai tukar rupiah pada Rp 8.700-Rp 9.300 per dolar AS, harga Indonesian Crude Price (ICP) 100-120 dolar AS per barel, serta lifting minyak 910-940 ribu barel per hari.

Optimis pemerintah, diperkirakan pada 2013, kinerja global akan membaik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 4,1 persen. Selain itu, negara berkembang dan emerging economies masih akan menyumbang pertumbuhan ekonomi global dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 6 persen. Volume perdagangan dunia diperkirakan akan tumbuh di level yang cukup tinggi, 5,6 persen dengan dukungan ekspor sebesar 7,2 persen dan impor 8,1 persen.

Nuansa perencanaan APBN 2013 tetap konservatif atas basis input dan output. Sandaran utama pembiayaan adalah harga minyak dengan lifting-nya padahal selalu tidak tercapai satu dekade ini dan yang kedua pasti ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Terlihat ketidak-seriusan dalam perencanaan karena dari pengalaman jika realisasi APBN tidak sesuai toh pemerintah dapat mengajukan APBNP. Pada saat inilah dilakukan engineering angka dan data dan ujung-ujungnya kesejahteraan rakyat dikorbankan.

Perencanaan APBN yang selalu mengandalkan revisi di tengah perjalanan tahun anggaran hendaknya tidak dilembagakan kembali oleh kementerian keuangan. Perlu komunikasi intensif pusat dan daerah agar anomali anggaran diminimalisasi namun goal coverage dalam menyerap seluruh item permasalahan pada tingkat optimal. Kementerian keuangan harus memberikan data dan angka ideal APBN namun karena alasan keterbatasan sumbangan dalam produksi maka beberapa item anggaran tidak dapat dilaksanakan pada tahun berjalan. Reasoning ini perlu agar rakyat paham bahwa platform APBN memang by desain diatur demikian.

Pola asumsi RAPBN yang berangkat dari hitungan konservatif input dan output perlu direformasi karena sudah tidak applicable dengan kondisi sekarang. Rancangan yang bersifat strategis dan long term lebih baik karena area coverage-nya lebih luas dan akhirnya akan menghindarkan perubahan di tengah jalan. Revisi tentu saja dibolehkan namun jika sering terjadi maka akan timbul pertanyaan seberapa kapabel para pemikir ekonomi Indo-nesia? Ini juga bisa mendatangkan tanda tanya seputar kredibilitas pemimpinnya.

Terakhir, tidak mudah mengendalikan kinerja pemerintah yang terdiri dari 33 provinsi dan 497 kabupaten betapapun jenius menteri keuangan, atau profesor ekonomi wakil presiden dan pintarnya presidennya. Sangat diperlukan pengawasan secara khusus oleh orang khusus untuk memantau setiap perkembangan kinerja masing-masing daerah. Dengan jumlah PNS departemen keuangan yang mencapai 62 ribu orang tentunya tidak sulit mencari 530 orang saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar