Rabu, 25 Juli 2012

Mensyukuri Rahmat Perbedaan


Mensyukuri Rahmat Perbedaan
Sholihin Hidayat ; Mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos 
 JAWA POS, 25 Juli 2012


HISAB-rukyat dalam kaitan dengan penentuan awal Ramadan dan 1 Syawal (Idul Fitri), sepertinya dua kutub yang bertolak belakang. Hisab dikonotasikan bagi kelompok orang intelek dan ilmiah, sementara rukyat diidentikkan dengan tradisional dan menggunakan metode pengamatan langsung. Kalau sudah bisa dihitung dengan ilmu matematika dan fisika, mengapa awal Ramadan dan 1 Syawal masih harus dibuktikan dan dinyatakan dengan rukyatul hilal?

Aduh, itu pertanyaan yang sudah sangat usang dan kuno sekali. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah sejak sebelum Indonesia merdeka memperdebatkan masalah itu. Kedua ormas ini sudah sama-sama bisa memahami perbedaan tersebut dan saling menghargai atau sepakat tetap dalam perbedaan.

Baru awal Ramadan ini, perbedaan tersebut agak mencuat lantaran Muhammadiyah tidak ikut hadir dalam sidang isbat Kementerian Agama. Lalu, muncul tiga tulisan dalam rubrik Tafakur di Jawa Pos (21-23 Juli 2012). Tulisan Agus Mustofa ini sedikit banyak telah menyinggung umat yang satu dan mengagungkan kelompok yang lain.

Seharusnya, era perbedaan dan pertentangan hilal-rukyat (sengaja ini yang coba saya tanggapi) memang sudah berakhir dan harus diakhiri. Tiga hari terakhir,Tafakur JP sempat mengusik. Saya sih tak begitu memedulikannya. Itu tulisan dan pemikiran yang biasa. Tidak ada hal-hal baru. Tapi, pada tulisan ketiga (23 Juli), banyak teman yang bertanya-tanya. Tafakur dengan model seperti itu sudah tidak zamannya. Satu pihak yang menggunakan metode hisab dianggap ilmiah dan saintifik, sementara yang menggunakan empirik dengan rukyatul hilal dianggap tradisional dan tidak ilmiah.

Meski tulisan itu tidak secara langsung menyebut NU atau Muhammadiyah, yang dimaksud dua kutub itu adalah dua ormas terbesar di Indonesia yang jamaahnya paling banyak dan mainstream.

Saya sama sekali tidak ahli dalam ilmu falak atau fikih. Tapi, saya pernah ngaji kitab kuning dan sekarang masih nyantri kitab Al Hikam-nya Ibnu Athoillah. Untuk memahami hisab-rukyat, kita juga harus paham latar belakang historis serta asbabul wurud lahirnya dua kutub itu. 

Dari sudut pandang hisab, penentuan awal Ramadan dan jatuhnya Idul Fitri sama sekali tidak ada persoalan. Sepuluh atau bahkan 100 tahun mendatang, awal Ramadan dan 1 Syawal sudah bisa dihitung. Ilmu falak/astronomi punya otoritas untuk menentukan itu semua. 

Lantas mengapa masih diperlukan kesaksian mata telanjang dengan senyata-nyatanya atau rukyatul hilal? NU juga punya ahli-ahli falak yang tersohor (di Jatim ada almarhum KH Mahfudh Jombang dan KH Mu'thi Bangil). NU sudah paham hitungan dan hisab. Tapi, untuk membutktikan hisabnya, NU masih memerlukan satu metode lagi, yakni rukyatul hilal. 

Jika hasil rukyatul hilal berbeda dengan hisab (hitungan), NU akan memakai hasil rukyatul hilal sebagai dasar penentuan awal Ramadan atau Idul Fitri. Bisa saja hasil hisab menyebutkan awal Ramadan jatuh pada Jumat (20 Juli), tapi setelah dilakukan rukyatul hilal ternyata bulan tidak tampak atau belum memenuhi syarat tanggal 1 Ramadan, NU menjadikan hasil rukyat sebagai dasar penentuan awal Ramadan.

Salah satu dasar hukum hadis yang digunakan NU adalah "Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berbukalah (berlebaran) kalian setelah melihat bulan." Umat Islam diwajibkan puasa ketika melihat hilal. Begitu juga saat mengakhiri puasa (jatuhnya 1 Syawal), ketika sudah melihat hilal. Kenapa hilal? Karena hilal tak pernah ingkar janji.

Dalam sebuah riwayat hadis disebutkan, Rib'i bin Hirasy, sahabat Rasulullah SAW mengatakan bahwa para sahabat berbeda pendapat tentang akhir Ramadan. Nah, di tengah-tengah perbedaan itu datanglah dua orang A'robi (orang udik) melaporkan kepada Rasulullah SAW dan bersumpah: Demi Allah sejatinya hilal telah tampak kemarin sore.

Atas dasar laporan dan sumpah (rukyat berkualitas) tersebut, Rasulullah mengisbatkan hari itu sebagai hari Idul Fitri. Kemudian, Nabi memerintahkan para sahabat untuk salat Id keesokan harinya (karena waktu itu sudah zuhur) (HR Ahmad dan Abu Daud). Nah, perbedaan tersebut dianggap selesai.

Dari riwayat tersebut bisa disimpulkan bahwa siapa pun dan dari mana pun asalnya, siapa saja yang melihat hilal dan berani disumpah, maka kesaksian tersebut dianggap sah. Seorang A'robi yang dari pegunungan, kesaksiannya dianggap sah. Rasulullah kemudian menetapkan Idul Fitri keesokan harinya.

Penetapan Idul Fitri dengan metode rukyatul hilal, sama sekali tidak bisa dianggap tradisional, tidak saintifik, tidak ilmiah, dan kuno. Bukan. Sebaliknya, yang menggunakan metode hisab itu ilmiah dan modern. Terbitnya hilal selalu tepat waktunya dan tidak akan pernah salah, karena yang menerbitkan Allah. Sementara, hitungan manusia bisa dua kemungkinan; salah dan benar. 

KH Ghazali Masroeri (ketua Lajnah Falakiyah PB NU) menuliskan bahwa ilmu hisab berasal dari India, masuk ke dalam kalangan Islam ketika era dinasti Abbasiyah abad 8 Masehi. Dewasa ini lebih dari dua puluh metode hisab berkembang di Indonesia. Antara metode-metode itu terdapat perbedaan, terutama antara metodetaqribi dan metode tahqiqi/tadqiqi/'ashri. 

Adanya perbedaan tentang kriteria awal bulan, yaitu perbedaan antara kriteria wujudul hilal dan kriteria imkanur rukyat. Perbedaan dalam hitungan menit masih dapat ditoleransi, tetapi ketika perbedaan dalam hitungan derajat dan hari, akan timbul persoalan serius, seperti adanya perbedaan hitungan hisab taqribi dengan hitungan hisab tahqiqi/tadqiqi/'ashry tentang Idul Fitri 2011 M yang lalu.

Perbedaan hitungan hisab yang menimbulkan persoalan serius ini mengundang adanya perselisihan mengenai kedudukan hisab di samping rukyat. Apakah hisab berfungsi sebagai instrumen pendukung dan pemandu rukyat ataukah hisab dapat menggantikan rukyat.

NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi keagamaan tertua dan terbesar di Indonesia. Keduanya sudah sangat berpengalaman dalam mengarungi perbedaan dan perselisihan pendapat. Kita yakin bahwa perbedaan adalah rahmat yang patut disyukuri!
 

1 komentar:

  1. Masalahnya, sudah dua kali beturut-turut kesaksian beberapa orang Muslim di Cakung bahwa hilal telah tampak tetap tidak diakui. Seperti pada tanggal 19 Juli 2012 kemarin empat orang yang telah diambil sumpahnya oleh hakim agama, tapi kenapa pemerintah dan ulama NU menolak ini??? padahal zaman rasul yang melaporkan arab badui. Ada apa dibalik penolakan itu???? Masak kesaksian sekolopmpok muslim yang disumpah dengan alQuran tidak diakui. Terus sumpah seperti apa yang diakui. Alasannnya yang melihat tidak terlatih??? ha..ha klise

    BalasHapus