Jumat, 27 Juli 2012

Korupsi di Negeri Bedebah


Sangkakala Korupsi di Negeri Bedebah
Umbu TW Pariangu ; Dosen Undana Kupang
MEDIA INDONESIA, 26 Juli 2012

MILITANSI dan keberanian koruptor menggarong uang negara dari hari ke hari sepertinya membuat institusi penegak hukum kian tertinggal seribu langkah.

Kasus demi kasus dengan actor-aktor baru seperti saling kejar memenuhi pemberitaan media. Sayangnya, seperti kegelisahan media ini (Editorial Media Indonesia, 17/7), hukuman terhadap koruptor justru makin ringan, bahkan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di Semarang sudah membebaskan tujuh terdakwa korupsi sejak Januari 2011.

Keresahan itu pula yang membayang-bayangi komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah upaya mereka menapaki puncak anak tangga kasus korupsi proyek Hambalang sebesar Rp2,4 triliun. Bisakah KPK menyentuh aktor-aktor kuat (orang-orang di lingkar kekuasaan) di balik proyek tersebut (Editorial Media Indonesia, 23/7)? Atau, kembali mengulang episode lama, dengan hanya menyentuh pelaku kelas teri seperti Deddy Kusdinar sambil membiarkan pelaku kelas mastodon itu lepas dari jeratan hukum? Itulah ujian yang harus diselesaikan KPK jika tidak ingin dicibir segenap 200-an juta rakyat yang makin muak dengan ketidakadilan di negeri bedebah ini.

Mungkin benar, rakyat tanpa sadar sedang dituntun penguasa untuk meniti keindonesiaan dalam lembaran-lembaran kusam. Apalagi cita-cita kolektif kesejahteraan bersama (bonum commune) yang mestinya digantung tinggi-tinggi oleh penyelenggara negara sesuai dengan seruan the founding father Soekarno justru makin hari kian rapuh.

Penulis awalnya skeptis dengan teori Durkheim (1966): korupsi merupakan fakta sosial yang muncul dari pengalaman-pengalaman keseharian, kebiasaan-kebiasaan yang dihasilkan sebagai gejala norma yang dapat ditemukan pada setiap masyarakat. 
Bukankah kita dulu punya spirit yang ditopang keguyuban nilai solidaritas, gotong royong, kesederhanaan, rasa memiliki, dan spirit pengorbanan beserta rumusannya yang meluas dan melangit? Yang jika dikapitalisasi, ia semacam etos bushido (kehormatan, keberanian) dan makoto (kejujuran) Jepang atau confucianism (solidaritas) dan guanxi (kepercayaan) China yang menginspirasi kejayaan khas dua negeri tersebut.

Apalah daya, kedigdayaan modal sosial yang membalut sejarah kebangkitan bangsa dan kemerdekaan kita kini hanya membeku dalam arsip usang kebudayaan. Semua tergantikan oleh banalitas korupsi di ubun-ubun politisi dan birokrat negara.

Dari survei yang dilakukan Political & Economic Risk Consultancy yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik maupun Survei Integritas Sektor Publik Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, secara reguler kita bisa melacak di mana saja korupsi itu bersarang dan beranak-pinak. Dari partai politik, DPR, Dirjen Pajak, hingga lembaga kementerian yang mestinya menjadi pelayan rakyat, kita bisa merasakan aroma korupsi menyengat.

Berturut-turut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menobatkan DPR dan partai politik sebagai lembaga terkorup. Lembaga yang mestinya terdepan dalam soal sense of social itu malah asyik membangun peradaban korup dari lini-lini basah mereka lewat main mata dan manipulasi anggaran baik dengan oknum pengusaha, birokrasi, maupun hukum. Kementerian Agama yang sejatinya mengurus akhlak dan moral bangsa bahkan ikut berkubang dalam korupsi.

Tuduhan

Politik partikelir berbiaya tinggi merupakan salah satu biang kenapa korupsi di Indonesia makin menggunung. Para kepala daerah, politisi di DPR, dan kementerian berani menyerempet bahaya terjerat hukum demi bisa menyusui induk semang partai yang membutuhkan kepulan asap dapur operasional, pencitraan, hingga biaya menyuap konstituen berlagak sinterklas. BPK bahkan pernah mencatat, dari 2007-2010, dana bantuan sosial sebesar Rp300 triliun disalahgunakan partai politik.

Maka muncul tuduhan, partai politik yang merupakan produsen penyelenggara negara merupakan salah satu sumber malaise proses berdemokrasi di negeri bedebah ini. Menurut Young Lee dan Anand Swamy (2001), kalaupun dampak korupsi terhadap negara dapat menguntungkan, jika sudah endemik, ia pasti merusak dasar-dasar hukum dan kedaulatan properti publik. Yemane Desta (2006) berpendapat korupsi dapat terjadi di negara maju atau negara berkembang, tetapi yang akan memperoleh dampak negatif dari korupsi ialah negara berkembang yang masih labil menata nilai-nilai kepemerintahan dan perekonomian.

Karena korupsi juga merupakan habitus destruktif (merusak) negara, implementasi kebijakan publik terdistorsi menjadi lahan monopoli negara (etatisme) yang lebih menguntungkan negara (pemerintah) bahkan dengan cara-cara kekerasan demi men capai tujuan tertentu.

Dalam mendistribusikan kesejahteraan, negara kerap mengabaikan nilai pemerataan yang mengakibatkan berbagai ketimpangan: rendahnya kualitas pendidikan di perdesaan, minimnya infrastruktur dan ketersediaan lapangan kerja, dan penerapan kebijakan pembangunan lokal berbasis eksploitasi karena negara kurang responsif menanggapi tuntutan masyarakat yang kemudian membuat misi sosial negara mewujudkan kesejahteraan publik terhambat.

Padahal, Pasal 1 ayat 6 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sudah tegas merumuskan: tindakan yang tidak berpihak pada perwujudan kesejahteraan manusia tergolong sebagai pelanggaran HAM.

Setan Penyelamat

Pemenuhan kesejahteraan sosial bukanlah untuk membuat persamaan keadaan dari kelas-kelas atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Yang tersubstansial ialah bagaimana menyediakan pelayanan-pelayanan khusus dan barang-barang kebutuhan bagi yang berhak memperolehnya (Gooding, 1988: 19-54). Misalnya, dengan komitmen mengupayakan struktur politik yang mampu mengakomodasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mencapai kesejahteraan. Itulah magnus opum negara yang tak boleh ditumbangkan politik ngotot (contentious politics) korupsi para pemuncak kekuasaan kita.

Dalam kondisi sosial rentan koruptif, ketika cara penyelesaian hukum oleh institusi konvensional (Polri, kejaksaan) cenderung spekulatif layaknya dalam permainan kanak-kanak mencari pelaku kentut dengan telunjuk jari yang justru makin menyulut ketidakpastian hukum, tumpuan rakyat tertuju pada setan penyelamat (devil's advocate) semacam KPK yang harus lebih `kesetanan' mengasah taring untuk membongkar sarangsarang persembunyian koruptor dengan jaminan penerapan sanksi yang berat dan menjerakan tanpa pandang bulu.

Cukuplah sudah perang korupsi sekadar menuai kata-kata dan basa-basi pencitraan hanya demi kepentingan politik dan keselamatan diri sendiri. Butuh genjotan keberanian pemimpin bersih, presiden dan KPK, untuk membintangi perang aksi nyata melumpuhkan ruang gerak koruptor sekalipun itu bersumber dari ring kekuasaan sendiri sehingga sesegera mungkin kita bisa terbebas dari ajal negara gagal. Jika tidak, sangkakala korupsi akan terus berkumandang menandai segera tibanya kiamat di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar