Sangkakala
Korupsi di Negeri Bedebah
Umbu TW Pariangu ; Dosen Undana Kupang
MEDIA
INDONESIA, 26 Juli 2012
MILITANSI
dan keberanian koruptor menggarong uang negara dari hari ke hari sepertinya
membuat institusi penegak hukum kian tertinggal seribu langkah.
Kasus demi kasus dengan actor-aktor baru seperti saling kejar memenuhi
pemberitaan media. Sayangnya, seperti kegelisahan media ini (Editorial Media Indonesia, 17/7),
hukuman terhadap koruptor justru makin ringan, bahkan pengadilan tindak pidana
korupsi (tipikor) di Semarang sudah membebaskan tujuh terdakwa korupsi sejak
Januari 2011.
Keresahan
itu pula yang membayang-bayangi komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
tengah upaya mereka menapaki puncak anak tangga kasus korupsi proyek Hambalang
sebesar Rp2,4 triliun. Bisakah KPK menyentuh aktor-aktor kuat (orang-orang di
lingkar kekuasaan) di balik proyek tersebut (Editorial Media Indonesia, 23/7)? Atau, kembali mengulang episode
lama, dengan hanya menyentuh pelaku kelas teri seperti Deddy Kusdinar sambil
membiarkan pelaku kelas mastodon itu lepas dari jeratan hukum? Itulah ujian
yang harus diselesaikan KPK jika tidak ingin dicibir segenap 200-an juta rakyat
yang makin muak dengan ketidakadilan di negeri bedebah ini.
Mungkin
benar, rakyat tanpa sadar sedang dituntun penguasa untuk meniti keindonesiaan
dalam lembaran-lembaran kusam. Apalagi cita-cita kolektif kesejahteraan bersama
(bonum commune) yang mestinya
digantung tinggi-tinggi oleh penyelenggara negara sesuai dengan seruan the founding father Soekarno justru
makin hari kian rapuh.
Penulis
awalnya skeptis dengan teori Durkheim (1966): korupsi merupakan fakta sosial
yang muncul dari pengalaman-pengalaman keseharian, kebiasaan-kebiasaan yang
dihasilkan sebagai gejala norma yang dapat ditemukan pada setiap masyarakat.
Bukankah kita dulu punya spirit yang ditopang keguyuban nilai solidaritas,
gotong royong, kesederhanaan, rasa memiliki, dan spirit pengorbanan beserta
rumusannya yang meluas dan melangit? Yang jika dikapitalisasi, ia semacam etos bushido (kehormatan, keberanian) dan makoto (kejujuran) Jepang atau confucianism (solidaritas) dan guanxi (kepercayaan) China yang
menginspirasi kejayaan khas dua negeri tersebut.
Apalah
daya, kedigdayaan modal sosial yang membalut sejarah kebangkitan bangsa dan
kemerdekaan kita kini hanya membeku dalam arsip usang kebudayaan. Semua
tergantikan oleh banalitas korupsi di ubun-ubun politisi dan birokrat negara.
Dari
survei yang dilakukan Political &
Economic Risk Consultancy yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling
korup dari 16 negara Asia Pasifik maupun Survei
Integritas Sektor Publik Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
secara reguler kita bisa melacak di mana saja korupsi itu bersarang dan
beranak-pinak. Dari partai politik, DPR, Dirjen Pajak, hingga lembaga
kementerian yang mestinya menjadi pelayan rakyat, kita bisa merasakan aroma
korupsi menyengat.
Berturut-turut
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menobatkan DPR dan partai politik sebagai
lembaga terkorup. Lembaga yang mestinya terdepan dalam soal sense of social itu malah asyik
membangun peradaban korup dari lini-lini basah mereka lewat main mata dan
manipulasi anggaran baik dengan oknum pengusaha, birokrasi, maupun hukum. Kementerian
Agama yang sejatinya mengurus akhlak dan moral bangsa bahkan ikut berkubang
dalam korupsi.
Tuduhan
Politik
partikelir berbiaya tinggi merupakan salah satu biang kenapa korupsi di
Indonesia makin menggunung. Para kepala daerah, politisi di DPR, dan
kementerian berani menyerempet bahaya terjerat hukum demi bisa menyusui induk
semang partai yang membutuhkan kepulan asap dapur operasional, pencitraan,
hingga biaya menyuap konstituen berlagak sinterklas. BPK bahkan pernah
mencatat, dari 2007-2010, dana bantuan sosial sebesar Rp300 triliun
disalahgunakan partai politik.
Maka
muncul tuduhan, partai politik yang merupakan produsen penyelenggara negara
merupakan salah satu sumber malaise proses berdemokrasi di negeri bedebah ini.
Menurut Young Lee dan Anand Swamy (2001), kalaupun dampak korupsi terhadap
negara dapat menguntungkan, jika sudah endemik, ia pasti merusak dasar-dasar
hukum dan kedaulatan properti publik. Yemane Desta (2006) berpendapat korupsi
dapat terjadi di negara maju atau negara berkembang, tetapi yang akan
memperoleh dampak negatif dari korupsi ialah negara berkembang yang masih labil
menata nilai-nilai kepemerintahan dan perekonomian.
Karena
korupsi juga merupakan habitus destruktif (merusak) negara, implementasi
kebijakan publik terdistorsi menjadi lahan monopoli negara (etatisme) yang
lebih menguntungkan negara (pemerintah) bahkan dengan cara-cara kekerasan demi
men capai tujuan tertentu.
Dalam
mendistribusikan kesejahteraan, negara kerap mengabaikan nilai pemerataan yang
mengakibatkan berbagai ketimpangan: rendahnya kualitas pendidikan di perdesaan,
minimnya infrastruktur dan ketersediaan lapangan kerja, dan penerapan kebijakan
pembangunan lokal berbasis eksploitasi karena negara kurang responsif menanggapi
tuntutan masyarakat yang kemudian membuat misi sosial negara mewujudkan
kesejahteraan publik terhambat.
Padahal, Pasal 1 ayat 6 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia sudah tegas merumuskan: tindakan yang tidak berpihak pada perwujudan
kesejahteraan manusia tergolong sebagai pelanggaran HAM.
Setan Penyelamat
Pemenuhan
kesejahteraan sosial bukanlah untuk membuat persamaan keadaan dari kelas-kelas
atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Yang tersubstansial ialah bagaimana
menyediakan pelayanan-pelayanan khusus dan barang-barang kebutuhan bagi yang
berhak memperolehnya (Gooding, 1988:
19-54). Misalnya, dengan komitmen mengupayakan struktur politik yang mampu
mengakomodasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mencapai kesejahteraan.
Itulah magnus opum negara yang tak
boleh ditumbangkan politik ngotot (contentious
politics) korupsi para pemuncak kekuasaan kita.
Dalam
kondisi sosial rentan koruptif, ketika cara penyelesaian hukum oleh institusi
konvensional (Polri, kejaksaan) cenderung spekulatif layaknya dalam permainan
kanak-kanak mencari pelaku kentut dengan telunjuk jari yang justru makin
menyulut ketidakpastian hukum, tumpuan rakyat tertuju pada setan penyelamat (devil's advocate) semacam KPK yang harus
lebih `kesetanan' mengasah taring untuk membongkar sarangsarang persembunyian
koruptor dengan jaminan penerapan sanksi yang berat dan menjerakan tanpa
pandang bulu.
Cukuplah
sudah perang korupsi sekadar menuai kata-kata dan basa-basi pencitraan hanya
demi kepentingan politik dan keselamatan diri sendiri. Butuh genjotan
keberanian pemimpin bersih, presiden dan KPK, untuk membintangi perang aksi
nyata melumpuhkan ruang gerak koruptor sekalipun itu bersumber dari ring
kekuasaan sendiri sehingga sesegera mungkin kita bisa terbebas dari ajal negara
gagal. Jika tidak, sangkakala korupsi
akan terus berkumandang menandai segera tibanya kiamat di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar