Sabtu, 14 Juli 2012

Bank Century: Politik Vs Hukum

Bank Century: Politik Vs Hukum
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar Hukum Pidana,
Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
KOMPAS, 13 Juli 2012


Permasalahan Bank Century bagai duri penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Hingga kini, dapat dikatakan kasus Century adalah perkara yang proses penyelidikannya paling lama. Bank Century yang mengalami krisis keuangan internal membuat negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)—melibatkan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan—mengucurkan dana talangan (bailout) hampir Rp 6,7 triliun. Ini jumlah yang mengejutkan untuk bank yang tidak masuk kategori jaringan perbankan internasional.

Tanggal 4 April 1998, pemerintah pernah membekukan operasional tujuh bank karena kinerjanya dipandang tidak baik (Bank Surya, Bank Pelita, Subentra, Centris Bank, Bank Kredit Asia, Hokindo Bank, dan Bank Deka). Tujuh bank lainnya (Bank Exim, Bank Danamon, BDNI, Bank Umum Nasional, Bank Tiara Asia, Modern Bank, dan Bank PDFCI) berada dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Inilah badai tahap kedua yang menimpa dunia perbankan Indonesia.

Sebelumnya, 1 November 1997, 16 bank swasta dilikuidasi. Memang, setelah itu pemerintah menyatakan tidak akan melakukan likuidasi lagi. Nyatanya, pemerintah membekukan bank, artinya untuk sementara ketujuh bank itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan perbankan (seperti kliring, menerima deposito, ataupun perjanjian antarbank) sampai dengan waktu yang ditentukan pemerintah.

Sanksi Perbankan

Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan, anggota dewan komisaris atau pengawas, anggota direksi dan pejabat lainnya, pegawai, serta pihak-pihak lain, termasuk pemegang saham, yang turut serta memengaruhi pengelolaan bank, yang telah melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan keadaan bank yang bersangkutan memburuk sehingga dicabut izin usahanya, atau yang telah melanggar ketentuan dalam peraturan pemerintah, diancam dengan sanksi pidana dan atau sanksi administratif.

Tindak pidana perbankan diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 (bagi kejahatan). Masuk dalam kelompok ”kejahatan” adalah tidak melaksanakan langkah ketaatan bank (Pasal 49 Ayat 2) yang dikenal dengan kejahatan terhadap asas kehati-hatian perbankan.

Dari penyimpangan implementasi atas kebijakan likuiditas negara oleh penerima (kebijakan) likuiditas, sebenarnya penegak hukum memiliki intervensi dengan sarana hukum pidana terhadap beberapa dari salah satu penerima (kebijakan) likuiditas. Namun, terlepas dari adanya polemik mengenai statusnya, menyelamatkan Bank Century sebagai bank gagal telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat karena diduga telah terjadi penyimpangan.

Karena itu, DPR meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dugaan penyimpangan itu. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apa kendala yang menghadang KPK dalam mengusut kasus Bank Century ini?

Hambatan Pengusutan

Saya mencatat ada beberapa kemungkinan yang menjadi kendala penuntasan kasus ini.
Pertama, hubungan antara DPR dan KPK. Kandidat komisioner KPK saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR memang pernah berjanji menindaklanjuti kasus Bank Century sehingga menjadi kunci politik DPR untuk menekan KPK. Kalangan politisi DPR yang multifraksi memang meyakini bahwa kebijakan ataupun implementasi dana talangan itu adalah sarana kepentingan politik dari kekuatan salah satu partai politik berkuasa, bukan semata bagi pemulihan kinerja Bank Century.

Namun, ternyata, KPK tetap saja lamban menangani kasus ini. DPR beranggapan, ada intervensi partai politik terhadap KPK.

Sebaliknya, KPK tetap berpendapat bahwa penanganan kasus ini memerlukan waktu dan tidak ada tekanan dalam bentuk apa pun, baik yang bersifat intra maupun ekstra institusi. Meski demikian, tampaknya masyarakat lebih percaya, tekanan politik adalah salah satu alasan kelambanan penuntasan penyelidikan.

Kebijakan Talangan

Kedua, soal polemik internal KPK terhadap pemaknaan kebijakan dana talangan. Kebijakan bailout atau apa pun namanya—pernah disebut Kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), ataupun dana talangan—merupakan tindakan aparatur negara berdasarkan kebijakan negara atau staatsbeleid yang tidak dapat dinilai oleh disiplin ilmu hukum pidana karena staatsbeleid atau aparatur pelaksananya (overheidbeleid), terlepas ada tidaknya kebenaran substansi atas kebijakan itu, merupakan ranah hukum administrasi negara.

Kebijakan tersebut dikeluarkan dalam kondisi darurat, urgen, bahkan instan, yang umumnya secara substansial tak sesuai dengan peraturan tertulis. Karena itu, kebijakan abnormal ini tidak dapat dinilai atau diukur dengan produk regulasi dalam keadaan normal.

Namun, jika implementasi kebijakan likuiditas negara disimpangkan oleh penerima (kebijakan) likuiditas (bailout) berupa abuse of law dan violation of law, penegak hukum memiliki intervensi dengan sarana hukum pidana terhadap penerima (kebijakan) dana talangan itu, bukan terhadap substansi kebijakannya.

Implementasi kebijakan juga tidak saja terjadi pada perbankan, tetapi berkaitan dengan pasar uang. Krisis keuangan di Amerika Serikat yang terjadi pada 2008, tetap memberikan imunitas kepada aparatur negara (US Federal Reserve) terhadap kebijakan dana talangannya. Namun, implementasi kebijakan, yaitu kepada penerima (kebijakan dana talangan) yang menyimpang, seperti Bernard Madoff, penegak hukum berwenang mengintervensi lewat hukum pidana.

Penyimpangan

Ketiga, apabila memang KPK berpendapat, kebijakan dana talangan mengandung penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran hukum dan KPK dapat melakukan penilaian terhadap kebijakan itu, kendala KPK adalah membuktikan niat jahat (mens rea) atas pelaksanaan actus reus (perbuatan yang mengandung tindak pidana, seperti abuse of power atau violation of law).

Mens rea adalah faktor subyektif dari pembuat kebijakan yang mengandung tindak pidana saat membuat kebijakan dana talangan. Sangatlah sulit membuktikan mens rea dari pihak terkait pembuat kebijakan dana talangan, yaitu Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan LPS (yang tergabung pada Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan), karena harus ada setidaknya voorbereidigings handeling atau executed prepared (persiapan pelaksanaan), kecuali terbukti adanya kickback atau suap yang kesemuanya sebagai perbuatan koruptif adalah ranah kewenangan KPK. Urusan suap inilah yang layak ditelusuri KPK sebagai penyimpangan koruptif.

Publik memahami profesionalitas KPK dan sikap masyarakat yang terpecah adalah pendekatan demokratis yang patut diapresiasi. Maka, skeptis terhadap pendekatan hukum KPK harus dijawab dengan meningkatkan segera penyelidikan atau tidak meningkatkan penyelidikan kasus Bank Century ini. Rasionalitasnya, KPK tidak terpengaruh oleh tekanan apa pun karena adagium penegakan hukum: politics are adopted by the laws, not laws to the politics!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar