Rabu, 25 Juli 2012

Tekad Kuasa Assad


Tekad Kuasa Assad
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
 REPUBLIKA, 25 Juli 2012

Kekuasaan sering membuat orang lupa diri. Presiden Su­riah Bashar al-Assad adalah salah satunya.

Demi mempertahan­kan kekuasaannya, sejak awal de­monstrasi prodemokrasi tahun lalu ia telah menggunakan berbagai cara, termasuk menggunakan senjata berat dalam membungkam protes rakyat. Terinspirasi oleh keberhasilan rakyat Tunisia menumbangkan rezim Presiden Zainal el-Abidin Ben Ali (Desember 2010-Januari 2011), rakyat Suriah yang selama lebih dari 40 tahun diperintah oleh keluarga al-Assad yang represif, mulai bangkit melawan penguasa.

Protes di Suriah dimulai pada 26 Januari ketika muncul laporan kasus bakar diri. Para demonstran pun melakukan protes damai dengan menyerukan reformasi politik dan kem­ balinya hak-hak sipil serta mengakhiri keadaan darurat yang telah diterapkan sejak 1963. Hari Kemarahan digelar 4-5 Februari. Bukannya merespons secara bijak demonstrasi itu, rezim Assad malah menurunkan pasukan keamanan untuk menangkap sekitar 15 anak di Daraa, kota pertama yang melakukan protes, karena menulis slogan-slogan antirezim.

Pada 1982, Presiden Hafez al-Assad (ayah Bashar) membumihanguskan Kota Hama yang menewaskan sekitar 20 ribu orang untuk membungkam pemberontakan rakyat Hama. Namun, situasi saat ini sudah berubah. Bukan­nya takut pada kebijakan represif itu, pada 15 Maret ribuan demonstran berkumpul di Damaskus, Aleppo, al-Hasakah, Daraa, Deir ez-Zor, dan Hama. Pasukan pemerintah pun menangkap 3.000 orang dan me­newaskan beberapa lainnya.

Pada 18 April, tak kurang dari 100 ribu demonstran duduk di alun-alun pusat Homs sambil menyerukan pengunduran diri Assad. Dan, protes pun berlanjut hingga kini meskipun sejak 31 Juli 2011 tentara Suriah menyerbu beberapa kota, termasuk Hama, Deir ez-Zour, al-Bukamal, dan Hera di Daraa. Setidaknya, 136 orang tewas dalam hari yang paling keras dan berdarah sejak pemberontakan dimulai.

Melihat kekerasan telah menjadi-jadi, pada awal November 2011, rezim Suriah terpaksa menandatangani perjanjian dengan Liga Arab di Doha, Qatar, yang isinya, antara lain, Pemerintah Suriah harus meng hentikan kekerasan, menarik militer dari desa-desa dan kota-kota, dan melakukan dialog dengan pihak oposisi di Kairo, Mesir. Namun, sehari setelah itu, korban rakyat sipil kembali bergelimpangan di Homs.

Liga Arab bersama Uni Eropa (UE) kecewa dan mengajukan kasus ini ke DK PBB. Namun, untuk kedua kalinya, Rusia dan Cina, anggota tetap DK PBB, memveto resolusi itu.
Suriah adalah sahabat tradisional Rusia dan importir persenjataan Rusia sejak zaman Uni Soviet. Tetapi, bukan hanya itu yang menjadi alasan Cina dan Rusia memveto resolusi yang membahayakan eksistensi rezim Suriah, melainkan kedua negara ini ingin memiliki pijakan di Timur Tengah dan mengimbangi dominasi AS.

Bagaimanapun, tekanan dunia internasional terhadap rezim Assad makin besar setelah Wakil Presiden AS Joe Biden mendesak Assad segera turun demi terciptanya stabilitas di negara itu. Sebelumnya, AS dan UE juga sepakat menerapkan sanksi ekonomi yang lebih ketat terhadap Suriah. Turki, yang berbatasan langsung dengan Suriah dan menjadi salah satu mitra dagang Suriah, menerapkan sanksi ekonomi berupa pembekuan semua transaksi komersial dan pemutusan hubungan dengan Bank Sentral Suriah. Liga Arab juga menjatuhkan sanksi terhadap Suriah berupa pembekuan aset
aset negara itu, mengakhiri semua transaksi dengan Bank Sentral Suriah, dan menghentikan interaksi finansial dengan Pemerintah Suriah.

Sedangkan, AS dan UEA memutuskan memperkuat sanksi ekonominya.
Keputusan ini disusul dengan pengumuman nama 12 warga dan 11 perusahaan asal Suriah yang dimasukkan dalam daftar hitam UE.
Sanksi tambahan dilakukan Liga Arab dengan menghentikan keanggotaan Suriah. Setelah itu, Raja Abdullah II dari Yordania menyerukan agar Presiden Bashar al-Assad mundur.

Seruan yang sama disampaikan Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan.
Hanya tiga negara Arab yang tidak mendukung keputusan Liga Arab itu, yakni Suriah sendiri, Lebanon, dan Yaman, sementara Irak abstain.

Lebanon tidak mendukung karena negara itu dipengaruhi oleh Hizbullah, milisi Syiah yang sangat tangguh dan mereka memiliki anggota di parlemen dengan jumlah signifikan. Yaman juga tidak mendukung karena secara geopolitik Suriah adalah sekutunya.

Di tingkat PBB pun, tidak ada kesatuan sikap dari negara-negara anggota DK PBB. Rusia dan Cina kembali memveto untuk ketiga kalinya resolusi DK PBB yang menjatuhkan sanksi baru dan kemungkinan intervensi militer. Kenyataan inilah yang membuat Assad tidak peduli terhadap semua sanksi yang disebutkan di atas.

Namun, dengan segala kepahitan, Assad harus menyadari bahwa rezimnya tidak akan bertahan. Setelah pertempuran pasukan Assad dan pihak oposisi di Damaskus dan Aleppo sejak pertengahan bulan ini, Jenderal Mustafa Sheikh, salah seorang perwira tinggi Suriah yang membelot, pasukan Assad mulai menyalurkan senjata kimia ke sejumlah wilayah. Besar kemungkinan senjata itu akan dipakai melawan oposisi. Kalau benar berita ini, Rusia dan Cina pun akan bangkit menentangnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar