Tekad
Kuasa Assad
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle
East Studies
REPUBLIKA, 25 Juli 2012
Kekuasaan sering membuat
orang lupa diri. Presiden Suriah Bashar al-Assad adalah salah satunya.
Demi mempertahankan kekuasaannya, sejak
awal demonstrasi prodemokrasi tahun lalu ia telah menggunakan berbagai cara,
termasuk menggunakan senjata berat dalam membungkam protes rakyat. Terinspirasi
oleh keberhasilan rakyat Tunisia menumbangkan rezim Presiden Zainal el-Abidin
Ben Ali (Desember 2010-Januari 2011), rakyat Suriah yang selama lebih dari 40
tahun diperintah oleh keluarga al-Assad yang represif, mulai bangkit melawan
penguasa.
Protes di Suriah dimulai pada 26 Januari
ketika muncul laporan kasus bakar diri. Para demonstran pun melakukan protes
damai dengan menyerukan reformasi politik dan kem balinya hak-hak sipil serta
mengakhiri keadaan darurat yang telah diterapkan sejak 1963. Hari Kemarahan
digelar 4-5 Februari. Bukannya merespons secara bijak demonstrasi itu, rezim
Assad malah menurunkan pasukan keamanan untuk menangkap sekitar 15 anak di
Daraa, kota pertama yang melakukan protes, karena menulis slogan-slogan
antirezim.
Pada 1982, Presiden Hafez al-Assad (ayah
Bashar) membumihanguskan Kota Hama yang menewaskan sekitar 20 ribu orang untuk
membungkam pemberontakan rakyat Hama. Namun, situasi saat ini sudah berubah.
Bukannya takut pada kebijakan represif itu, pada 15 Maret ribuan demonstran
berkumpul di Damaskus, Aleppo, al-Hasakah, Daraa, Deir ez-Zor, dan Hama. Pasukan
pemerintah pun menangkap 3.000 orang dan menewaskan beberapa lainnya.
Pada 18 April, tak kurang dari 100 ribu
demonstran duduk di alun-alun pusat Homs sambil menyerukan pengunduran diri
Assad. Dan, protes pun berlanjut hingga kini meskipun sejak 31 Juli 2011
tentara Suriah menyerbu beberapa kota, termasuk Hama, Deir ez-Zour, al-Bukamal,
dan Hera di Daraa. Setidaknya, 136 orang tewas dalam hari yang paling keras dan
berdarah sejak pemberontakan dimulai.
Melihat kekerasan telah menjadi-jadi, pada
awal November 2011, rezim Suriah terpaksa menandatangani perjanjian dengan Liga
Arab di Doha, Qatar, yang isinya, antara lain, Pemerintah Suriah harus meng hentikan
kekerasan, menarik militer dari desa-desa dan kota-kota, dan melakukan dialog
dengan pihak oposisi di Kairo, Mesir. Namun, sehari setelah itu, korban rakyat
sipil kembali bergelimpangan di Homs.
Liga Arab bersama Uni Eropa (UE) kecewa dan
mengajukan kasus ini ke DK PBB. Namun, untuk kedua kalinya, Rusia dan Cina,
anggota tetap DK PBB, memveto resolusi itu.
Suriah adalah sahabat tradisional Rusia dan
importir persenjataan Rusia sejak zaman Uni Soviet. Tetapi, bukan hanya itu
yang menjadi alasan Cina dan Rusia memveto resolusi yang membahayakan
eksistensi rezim Suriah, melainkan kedua negara ini ingin memiliki pijakan di
Timur Tengah dan mengimbangi dominasi AS.
Bagaimanapun, tekanan dunia internasional
terhadap rezim Assad makin besar setelah Wakil Presiden AS Joe Biden mendesak
Assad segera turun demi terciptanya stabilitas di negara itu. Sebelumnya, AS
dan UE juga sepakat menerapkan sanksi ekonomi yang lebih ketat terhadap Suriah.
Turki, yang berbatasan langsung dengan Suriah dan menjadi salah satu mitra
dagang Suriah, menerapkan sanksi ekonomi berupa pembekuan semua transaksi
komersial dan pemutusan hubungan dengan Bank Sentral Suriah. Liga Arab juga
menjatuhkan sanksi terhadap Suriah berupa pembekuan aset
aset negara itu, mengakhiri
semua transaksi dengan Bank Sentral Suriah, dan menghentikan interaksi finansial
dengan Pemerintah Suriah.
Sedangkan, AS dan UEA memutuskan memperkuat
sanksi ekonominya.
Keputusan ini disusul dengan pengumuman nama
12 warga dan 11 perusahaan asal Suriah yang dimasukkan dalam daftar hitam UE.
Sanksi tambahan dilakukan Liga Arab dengan
menghentikan keanggotaan Suriah. Setelah itu, Raja Abdullah II dari Yordania
menyerukan agar Presiden Bashar al-Assad mundur.
Seruan yang sama disampaikan Perdana Menteri
Turki Tayyip Erdogan.
Hanya tiga negara Arab yang tidak mendukung
keputusan Liga Arab itu, yakni Suriah sendiri, Lebanon, dan Yaman, sementara
Irak abstain.
Lebanon tidak mendukung karena negara itu
dipengaruhi oleh Hizbullah, milisi Syiah yang sangat tangguh dan mereka
memiliki anggota di parlemen dengan jumlah signifikan. Yaman juga tidak
mendukung karena secara geopolitik Suriah adalah sekutunya.
Di tingkat PBB pun, tidak ada kesatuan sikap
dari negara-negara anggota DK PBB. Rusia dan Cina kembali memveto untuk ketiga
kalinya resolusi DK PBB yang menjatuhkan sanksi baru dan kemungkinan intervensi
militer. Kenyataan inilah yang membuat Assad tidak peduli terhadap semua sanksi
yang disebutkan di atas.
Namun,
dengan segala kepahitan, Assad harus menyadari bahwa rezimnya tidak akan
bertahan. Setelah pertempuran pasukan Assad dan pihak oposisi di Damaskus dan
Aleppo sejak pertengahan bulan ini, Jenderal Mustafa Sheikh, salah seorang perwira
tinggi Suriah yang membelot, pasukan Assad mulai menyalurkan senjata kimia ke
sejumlah wilayah. Besar kemungkinan senjata itu akan dipakai melawan oposisi.
Kalau benar berita ini, Rusia dan Cina pun akan bangkit menentangnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar