Jerat
Impor Bangsa Tempe
Toto Subandriyo ; Alumnus
IPB,
Menjabat Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Tegal
JAWA POS, 26 Juli 2012
SENIN, 14 Januari 2008, ribuan pembuat tempe dari berbagai penjuru
tanah air mengepung Istana Negara, Jakarta. Mereka berunjuk rasa menuntut
pemerintah segera menstabilkan harga kedelai yang waktu itu liar tak
terkendali. Lonjakan harga bahan baku pembuatan tempe tersebut mengakibatkan
usaha para produsen tempe di beberapa daerah gulung tikar.
Setelah lebih dari empat tahun, komoditas tempe kembali membuat berita besar. Sebanyak 83.545 rumah produksi tahu-tempe di 18 provinsi akan mogok produksi selama 25-27 Juli 2012. Tindakan itu terpaksa dilakukan karena harga kedelai meroket dari Rp 5.400 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram, sedangkan harga jual tahu-tempe tidak bisa dinaikkan seiring dengan kenaikan harga kedelai (Kompas, 24/7).
Seandainya almarhum Bung Karno dan Prof Koentjaraningrat tahu bahwa tempe mampu menggegerkan Istana Negara, mungkin mereka tidak akan pernah menyindir bangsa Indonesia sebagai ''bangsa tempe''. Sebuah anekdot yang menggambarkan bangsa yang lemah tak berdaya. Saat ini tempe bukan lagi sekadar lauk pauk murah meriah bergizi tinggi yang akrab dengan kehidupan keseharian kaum miskin. Tempe, kebutuhan hidup sangat elementer itu, telah naik kelas menjadi komoditas politik yang mampu menggoyang simbol kedaulatan negara/pemerintah.
Kurang Insentif
Kondisi yang dialami para produsen tahu-tempe saat ini sebenarnya sejak lama dikhawatirkan banyak pengamat kebijakan pangan. Selama ini, untuk mencukupi kebutuhan kedelai domestik, pemerintah Indonesia mengimpor komoditas tersebut dalam jumlah besar. Berdasar data 2011, total impor kedelai Indonesia mencapai 2,08 juta ton dengan nilai USD 1,24 miliar. Di antara volume impor itu, sebagian besar (1,7 juta ton) didatangkan dari Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara produsen utama biji-bijian.
Permasalahan muncul ketika bencana kekeringan yang disebut-sebut sebagai yang terparah dalam setengah abad terakhir melanda hampir separo kawasan pertanian di Midwest AS. Bencana kekeringan itu dilaporkan telah berdampak signifikan terhadap penurunan produksi kedelai dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Produksi jagung juga diaporkan anjlok dari 376,2 juta ton tahun lalu menjadi 330 juta ton. Sementara itu, produksi gandum tidak terganggu, tapi harganya naik karena produsen pakan ternak yang semula memakai jagung dan bungkil kedelai sebagai bahan baku kini beralih ke gandum.
Impor kedelai kita sangat besar mengingat produksi dalam negeri masih sangat kecil. Tahun lalu, produksi kedelai nasional hanya 870 ribu ton atau hanya cukup untuk memenuhi 40 persen kebutuhan domestik. Padahal, kebutuhan kedelai setiap tahun terus meningkat, sedangkan produksi justru menurun. Tahun lalu, produksi kedelai nasional menurun 4,08 persen. Badan Pusat Statistik memperkirakan, produksi kedelai tahun ini hanya mencapai 779,7 ribu ton atau turun 8,4 persen dibanding 2011.
Terdapat selisih angka yang sangat mencolok antara angka produksi dan konsumsi kedelai. Orang awam tentu akan menangkapnya sebagai sebuah peluang bagi upaya peningkatan produksi. Namun, peluang tersebut tak pernah menarik para petani untuk membudidayakan tanaman kedelai. Sebab, mereka tidak memperoleh insentif yang memadai dari usaha tani kedelai dibanding jika menanam komoditas pangan lainnya seperti padi.
Bayangkan, ketika menanam kedelai, para petani harus membeli benih seharga Rp 8.000 per kilogram. Namun, giliran menjual hasil panen, mereka hanya menerima harga kurang dari Rp 4.000 per kilogram. Menurut analisis usaha tani, biaya yang dibutuhkan untuk menanam kedelai sekitar Rp 8 juta/hektare. Bila diasumsikan produktivitas rata-rata 1,5 ton/ha, diperoleh angka break-even point (BEP) Rp 5.333/kg. Jadi, dengan harga jual panen kedelai Rp 4.000 per kilogram, jelas petani tekor.
Tanpa insentif yang memadai, sampai kapan pun para petani tidak akan pernah tertarik membudidayakan kedelai. Dus, produksi kedelai nasional akan selalu mengalami defisit yang sangat besar. Karena itu, berbagai upaya terobosan harus segera dilakukan pemerintah untuk keluar dari permasalahan ini. Upaya tersebut harus dimulai dari hal-hal paling mendasar seperti pembangunan dan perbaikan berbagai sarana infrastruktur pertanian dan perdesaan serta pemberian akses kredit/permodalan. Selain itu, pemerintah wajib menjamin pemenuhan saprodi seperti benih unggul, pupuk, obat-obatan, dan alsintan.
Jaminan harga jual hasil panen yang memadai perlu diberikan pemerintah. Menurut penelitian, kegairahan petani untuk menanam komoditas tertentu akan meningkat secara signifikan jika mereka memperoleh insentif harga yang memadai. Intervensi pemerintah sangat diharapkan untuk mencegah kejatuhan harga, terutama saat panen raya.
Produksi dan produktivitas rata-rata nasional yang masih sangat rendah dapat ditingkatkan dengan upaya intensifikasi tanaman, ekstensifikasi, serta rehabilitasi lahan. Penemuan varietas-varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian lebih diberdayakan untuk melahirkan inovasi baru yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi petani.
Saatnya penyakit myopic yang diderita para penentu kebijakan pangan negeri ini disembuhkan dan segera mengambil langkah revolusioner untuk membenahi manajemen pangan nasional. Yaitu, manajemen pangan yang lebih mengutamakan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Menempatkan kebijakan importasi sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi pangan bangsa secara berkelanjutan. ●
Setelah lebih dari empat tahun, komoditas tempe kembali membuat berita besar. Sebanyak 83.545 rumah produksi tahu-tempe di 18 provinsi akan mogok produksi selama 25-27 Juli 2012. Tindakan itu terpaksa dilakukan karena harga kedelai meroket dari Rp 5.400 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram, sedangkan harga jual tahu-tempe tidak bisa dinaikkan seiring dengan kenaikan harga kedelai (Kompas, 24/7).
Seandainya almarhum Bung Karno dan Prof Koentjaraningrat tahu bahwa tempe mampu menggegerkan Istana Negara, mungkin mereka tidak akan pernah menyindir bangsa Indonesia sebagai ''bangsa tempe''. Sebuah anekdot yang menggambarkan bangsa yang lemah tak berdaya. Saat ini tempe bukan lagi sekadar lauk pauk murah meriah bergizi tinggi yang akrab dengan kehidupan keseharian kaum miskin. Tempe, kebutuhan hidup sangat elementer itu, telah naik kelas menjadi komoditas politik yang mampu menggoyang simbol kedaulatan negara/pemerintah.
Kurang Insentif
Kondisi yang dialami para produsen tahu-tempe saat ini sebenarnya sejak lama dikhawatirkan banyak pengamat kebijakan pangan. Selama ini, untuk mencukupi kebutuhan kedelai domestik, pemerintah Indonesia mengimpor komoditas tersebut dalam jumlah besar. Berdasar data 2011, total impor kedelai Indonesia mencapai 2,08 juta ton dengan nilai USD 1,24 miliar. Di antara volume impor itu, sebagian besar (1,7 juta ton) didatangkan dari Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara produsen utama biji-bijian.
Permasalahan muncul ketika bencana kekeringan yang disebut-sebut sebagai yang terparah dalam setengah abad terakhir melanda hampir separo kawasan pertanian di Midwest AS. Bencana kekeringan itu dilaporkan telah berdampak signifikan terhadap penurunan produksi kedelai dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Produksi jagung juga diaporkan anjlok dari 376,2 juta ton tahun lalu menjadi 330 juta ton. Sementara itu, produksi gandum tidak terganggu, tapi harganya naik karena produsen pakan ternak yang semula memakai jagung dan bungkil kedelai sebagai bahan baku kini beralih ke gandum.
Impor kedelai kita sangat besar mengingat produksi dalam negeri masih sangat kecil. Tahun lalu, produksi kedelai nasional hanya 870 ribu ton atau hanya cukup untuk memenuhi 40 persen kebutuhan domestik. Padahal, kebutuhan kedelai setiap tahun terus meningkat, sedangkan produksi justru menurun. Tahun lalu, produksi kedelai nasional menurun 4,08 persen. Badan Pusat Statistik memperkirakan, produksi kedelai tahun ini hanya mencapai 779,7 ribu ton atau turun 8,4 persen dibanding 2011.
Terdapat selisih angka yang sangat mencolok antara angka produksi dan konsumsi kedelai. Orang awam tentu akan menangkapnya sebagai sebuah peluang bagi upaya peningkatan produksi. Namun, peluang tersebut tak pernah menarik para petani untuk membudidayakan tanaman kedelai. Sebab, mereka tidak memperoleh insentif yang memadai dari usaha tani kedelai dibanding jika menanam komoditas pangan lainnya seperti padi.
Bayangkan, ketika menanam kedelai, para petani harus membeli benih seharga Rp 8.000 per kilogram. Namun, giliran menjual hasil panen, mereka hanya menerima harga kurang dari Rp 4.000 per kilogram. Menurut analisis usaha tani, biaya yang dibutuhkan untuk menanam kedelai sekitar Rp 8 juta/hektare. Bila diasumsikan produktivitas rata-rata 1,5 ton/ha, diperoleh angka break-even point (BEP) Rp 5.333/kg. Jadi, dengan harga jual panen kedelai Rp 4.000 per kilogram, jelas petani tekor.
Tanpa insentif yang memadai, sampai kapan pun para petani tidak akan pernah tertarik membudidayakan kedelai. Dus, produksi kedelai nasional akan selalu mengalami defisit yang sangat besar. Karena itu, berbagai upaya terobosan harus segera dilakukan pemerintah untuk keluar dari permasalahan ini. Upaya tersebut harus dimulai dari hal-hal paling mendasar seperti pembangunan dan perbaikan berbagai sarana infrastruktur pertanian dan perdesaan serta pemberian akses kredit/permodalan. Selain itu, pemerintah wajib menjamin pemenuhan saprodi seperti benih unggul, pupuk, obat-obatan, dan alsintan.
Jaminan harga jual hasil panen yang memadai perlu diberikan pemerintah. Menurut penelitian, kegairahan petani untuk menanam komoditas tertentu akan meningkat secara signifikan jika mereka memperoleh insentif harga yang memadai. Intervensi pemerintah sangat diharapkan untuk mencegah kejatuhan harga, terutama saat panen raya.
Produksi dan produktivitas rata-rata nasional yang masih sangat rendah dapat ditingkatkan dengan upaya intensifikasi tanaman, ekstensifikasi, serta rehabilitasi lahan. Penemuan varietas-varietas unggul baru dan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT) juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Saatnya lembaga-lembaga penelitian pertanian lebih diberdayakan untuk melahirkan inovasi baru yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi petani.
Saatnya penyakit myopic yang diderita para penentu kebijakan pangan negeri ini disembuhkan dan segera mengambil langkah revolusioner untuk membenahi manajemen pangan nasional. Yaitu, manajemen pangan yang lebih mengutamakan ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Menempatkan kebijakan importasi sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi pangan bangsa secara berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar