Polri
dan RUU Keamanan
Adrianus Meilala ; Komisioner pada
Komisi Kepolisian Nasional
KOMPAS, 26 Juli 2012
Terkait pembahasan kembali
Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional di DPR hari-hari ini, beberapa
keberatan lama kembali muncul.
Walau draf yang kini
dibicarakan sudah amat berbeda isinya dibanding draf awal, kalangan kepolisian
kelihatannya masih belum puas. Salah satu alasannya, kemungkinan karena RUU ini
dianggap mereduksi peran Polri. Sebaliknya, pintu masuk TNI untuk kembali
mengurusi permasalahan khas masyarakat sipil jadi semakin banyak dan terbuka
lebar.
Penulis tak sepenuhnya
setuju dengan sinyalemen menyangkut satu mereduksi yang lain. Penulis juga tak
setuju penggunaan cara berpikir ”lama” bahwa era ”Kopkamtib” akan muncul
kembali. Namun, dalam pandangan penulis, Polri kini mengidap empat gejala
kegamangan (nervous). Nervous adalah suatu gejala ketubuhan
yang terkait dengan psikologi seseorang yang sedang tidak tenang atau gelisah
terkait sesuatu yang belum dikenal, belum terbiasa, atau yang mengancam.
Jika RUU disepakati, pihak
pengusul draf perlu melakukan berbagai cara untuk membuat pihak yang nervous
tak terus-terusan merasa demikian. Berbeda dengan nervous individual yang hanya dirasakan individu bersangkutan, nervous kelembagaan akan berimplikasi
panjang. Salah satunya menyangkut antusiasme dan sikap ngotot Polri dalam
memelihara kondisi kamtibmas di masyarakat.
Konstelasi Berubah
Nervous
pertama terkait perubahan konstelasi politik di internal pemerintahan. Bukan
perubahan konstelasi itu yang membuat nervous,
melainkan adanya keyakinan bahwa konstelasi yang berubah itu mengubah pula
lingkungan strategis yang melingkupi kepolisian saat menjalankan kegiatannya.
Dewasa ini, tantangan kepolisian adalah bagaimana melakukan kegiatannya secara
baik dan benar. ”Baik” artinya kegiatan kepolisian menonjolkan etika, humanis
serta sensitif pada aspirasi lokal. ”Benar” dikaitkan dengan keharusan untuk
tak melanggar hukum dan peraturan.
Konstelasi yang berubah bisa
membuat fokus kegiatan kepolisian bertambah banyak, bisa juga sebaliknya. Jika
bertambah banyak, tetapi tak diimbangi legalitas dan infrastruktur untuk
mendukung kegiatan kepolisian yang akan dilakukan, itu celaka namanya.
Cita-cita melakukan kegiatan kepolisian secara baik dan benar tentu tidak akan
tercapai.
Sama celakanya apabila fokus
kegiatan bertambah sedikit. Sesuatu yang awalnya hanya kepolisian yang
berwenang mengurusi, selanjutnya datang pihak lain di mana kepolisian harus
berbagi peran atau malah tidak lagi berperan. Ambil contoh ketika Dewan
Keamanan Nasional (DKN), lembaga yang bakal dibentuk setelah RUU Kamnas
disahkan, mengeluarkan suatu perintah terkait keamanan. Polri, sebagai salah
satu instansi yang menjalankan perintah itu, akan selalu menghadapi satu dari
beberapa situasi berikut.
Pertama, perintah memiliki dasar hukum dan fakta
hukum. Kedua, perintah memiliki salah satunya, dasar hukum atau fakta hukum.
Ketiga, perintah tak punya kedua-duanya, baik dasar hukum maupun fakta hukum.
Jika ilustrasi kedua dan
ketiga yang terjadi (ini tak terhindarkan mengingat DKN bekerja secara
politis), bisa dibayangkan kerepotan yang dihadapi kepolisian. Padahal, saat
ini mereka sedang tertatih-tatih meletakkan dasar hukum dan fakta hukum sebagai
titik berangkat dari segala kegiatan penegakan hukum.
Sumber nervous kedua adalah
ikutan dari nervous pertama. Disadari bahwa untuk mampu melakukan kegiatan
kepolisian yang baik dan benar, perlu berbagai infrastruktur yang bisa
dikelompokkan menjadi tiga: anggaran operasional, sumber daya manusia (SDM),
dan sarana-prasarana. Dewasa ini, walaupun masih jauh dari ideal, Polri merasa
nyaman karena memperoleh anggaran operasional yang relatif meningkat terus.
Demikian pula SDM yang jumlahnya bertambah banyak dan sarana-prasarana yang
kian lengkap dan canggih.
Kalangan parlemen, media
massa atau ormas sipil terus mengingatkan Polri soal indikasi inefisiensi serta
inefektivitas yang ada. Belum lagi masih kuatnya sinyalemen KKN terkait
pembinaan dan pengembangan SDM serta sarana-prasarana kepolisian. Namun,
kelihatannya ini tak membuat Polri nervous
mengingat kritik dan upaya mengingatkan itu memang sudah seharusnya demikian
dalam masyarakat demokratis. Itu esensi pemolisian demokratis (democratic policing) yang juga
dijalankan Polri dewasa ini.
Sebaliknya, yang membuat
Polri nervous adalah kekhawatiran
bahwa pada era di mana konstelasi telah berubah, persoalan infrastruktur juga
kembali jadi tak pasti. Bila dewasa ini ada dukungan politik dari parlemen dan
pemerintah bahwa Polri akan dicukupi kebutuhannya walau terbatas, belum tentu
demikian nantinya. Siapa tak nervous
menghadapi bayang-bayang masa depan suram? Jika itu terjadi, skenario
sebagaimana tergambarkan dalam Grand
Strategy Polri 2005-2025 tak akan tercapai. Yang terjadi, Polri—yang sudah
tambun dengan personel, bangunan dan peralatan—semakin kekurangan anggaran,
peluru, dan bahan bakar.
Sumber nervous ketiga
berasal dari kekhawatiran bakal terganggunya fungsi Polri sebagai penegak hukum
yang memiliki mekanisme akuntabilitas dan sistem tersendiri. Di semua negara,
organisasi kepolisian memiliki dua kaki yang harus dijalankan secara harmonis.
Terkait kaki keamanan, pemangku kepentingan kepolisian adalah lembaga-lembaga
keamanan, seperti militer dan intelijen yang bekerja sepenuhnya di bawah
kendali presiden. Adapun kaki hukum mengharuskan Polri menempatkan hukum
sebagai panglima dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan kejaksaan,
pengadilan, lembaga pemasyarakatan, penasihat hukum, serta lembaga perlindungan
saksi dan korban.
Mengingat draf RUU Kamnas
hanya berbicara tentang kaki keamanan dan tak menyinggung kaki hukum tempat
Polri berpijak, wajar jika kepolisian menjadi nervous. Jika Polri memilih
mengedepankan kamtibmas, penegakan hukum bisa terpinggirkan. Di pihak lain, jika
mengedepankan penegakan hukum, Polri bisa-bisa berhadapan dengan negara sebagai
atasannya. Jadi, mirip buah simalakama.
Seyogianya pembuat draf
mengusulkan jalan keluar konkret bagi kepolisian melalui pernyataan yang tegas
dalam RUU. Tak cukup hanya dengan membagi situasi berdasarkan keadaan tertib
sipil, darurat sipil, dan sebagainya karena dalam keadaan tertib sipil pun
sebenarnya kepolisian bisa saja terganggu atau diganggu saat menjalankan
kegiatan kepolisiannya.
Siapa Dewan Keamanan
Nasional?
Tiga nervous di atas tak
perlu terjadi jika pihak-pihak yang akan menjadi anggota DKN, sebagaimana
disebutkan dalam draf RUU, adalah orang-orang yang paham posisi, tugas, dan
fungsi kepolisian pada umumnya dan Polri pada khususnya. Jika tidak, ini jadi
nervous keempat. Pemahaman bisa terwujud dengan adanya perwakilan kepolisian
yang duduk dalam DKN. Bisa juga diwakili kalangan non-kepolisian, tetapi wajib
menyuarakan perspektif kepolisian. Dalam draf terakhir disebutkan, kemungkinan
anggota masyarakat duduk sebagai anggota DKN. Jika keduanya tak ada atau ada,
tetapi kalah suara dari pihak lain yang mengembangkan perspektif lain, wajar
apabila lagi-lagi nervous terlihat.
Perspektif kepolisian yang pada umumnya khas dengan mudah dikesampingkan dan
digantikan perspektif yang murni keamanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar