Pelajaran
dari Kasus “Kudatuli”
Asvi Warman Adam ; Sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
SINDO,
27 Juli 2012
Setelah 16 tahun berlalu, pelajaran apa yang
dapat ditarik dari Peristiwa 27 Juli 1996 yang disebut juga kasus “Kudatuli”
(Kerusuhan dua puluh tujuh Juli)? Apa temuan terbaru yang dapat dijadikan novum
dalam perkara sehingga dalangnya dapat dijadikan tersangka?
Sebagaimana
diketahui,tahun 2003 dilakukan pengadilan koneksitas yang mengadili 2 perwira
intel Kodam Jaya dan 3 orang sipil. Empat orang bebas, satusatunya yang divonis
selama 2 bulan hanya seorang buruh bangunan yang terbukti melemparkan batu ke
markas PDI tersebut. Peristiwa 27 Juli 1996 semata-mata bentrokan antara
pendukung Megawati dengan Surjadi, demikian menurut Kasospol ABRI Syarwan
Hamid.
Sebanyak 300 orang pendukung Megawati yang berada dalam kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 diserang dengan lemparan api dan lontaran api oleh ratusan orang, juga berkaus merah, yang datang dengan menaiki 8 truk sejak pukul 6.15 pagi WIB. Terjadi perang batu, spanduk yang menutupi gedung terbakar habis, dan akhirnya pasukan penyerang memasuki kantor PDI itu. Sedikitnya lima orang tewas dan ratusan luka-luka dalam bentrokan tersebut.
Semua jalan ke arah Diponegoro diblokade pihak kepolisian. Perempatan Matraman menuju Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas PU yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka–Jalan Tambak. Pukul 12.45 WIB sebanyak lima orang antara lain dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia diperbolehkan polisi masuk ke kantor PDI yang sudah porak-poranda itu. Mereka keluar dan melaporkan bahwa di dalam sudah tidak ada orang kecuali darah yang berceceran di mana-mana. Sore hari sampai malam, kerusuhan berlanjut yang diikuti dengan pembakaran gedung/ perkantoran di Jalan Matraman dan Salemba.
Siapa dalang penyerangan dan kerusuhan massal tersebut? Apakah cuma dua perwira intel di lapangan serta tiga orang sipil yang didakwa melakukan perusakan? Fakta menunjukkan aparat keamanan berperan dalam penyerbuan tersebut. Bahkan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (tahun 2004 dan dicetak ulang 2009) menyebutkan beberapa hari sebelum kejadian, Kapuspen ABRI Brigjen Amir Syarifuddin mengatakan kepadanya bahwa markas PDI akan diserbu.
Bahkan saat penyerbuan di posko dekat kantor PDI itu Rosihan Anwar mendengar Kapuspen berbicara kepada Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso lewat walky talkie, “Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti.” Rosihan Anwar menyimpulkan, “This is Suharto’s game and his ABRI.” Yang menarik adalah pernyataan Rosihan Anwar bahwa sebetulnya ia sudah menyampaikan laporan ini pada harian Pikiran Rakyat dan Surabaya Post setelah kejadian tahun 1996.
Namun agar kedua koran itu tidak dibredel, Rosihan tidak mau menyebut nama pelaku. Namun setelah artikel itu dimuat dalam buku, ia menambahkan dan melengkapinya sehingga laporan itu lebih lengkap. Setelah itu terjadi penangkapan dan perburuan terhadap tokoh PDI pro Megawati dan aktivis PRD yang aktif dalam mimbar bebas di depan kantor PDI tersebut. Saya sebelumnya sudah mengetahui bahwa PRD memang menjadi target dari aparat keamanan.
Pada sebuah diskusi bertemakan “Gerakan Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan” yang diadakan sebuah majalah di lingkungan Angkatan Darat, saya memperoleh dokumen beberapa ratus halaman tentang aktivitas PRD yang tampaknya telah menjadi intaian para mata-mata. Dengan perkembangan terbaru tahun 2012, PRD menyatakan menerima ideologi Pancasila, maka sebetulnya tidak ada alasan bagi pihak intelijen untuk menaruh curiga kepada organisasi ini.
Tahun 2008 terbit buku RP Soejono dan RZ Leirissa (editor pemutakhiran), Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka). Dalam tempo singkat buku yang terdiri atas enam jilid senilai Rp825.000 itu telah dicetak ulang. Jilid terakhir, jilid VI buku ini tentang zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia disunting Saleh A Djamhari. Namun uraian mengenai kekerasan terkesan dituduhkan kepada pendukung Megawati. Massa membakar Departemen Pertanian, Bank Kesawan, showroom Toyota 2000, 23 buah mobil hangus.
Deskripsi perusakan ini diawali dengan, “Pendukung Megawati yang terkonsentrasi di depan gedung bioskop Megaria mencoba menembus barikade polisi. Massa kemudian mundur ke arah Cikini, Salemba dan Proklamasi,” dan diakhiri dengan kalimat “Aksi pendukung Megawati masih berlanjut sampai 28 Juli 1996.”
Sebanyak 300 orang pendukung Megawati yang berada dalam kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 diserang dengan lemparan api dan lontaran api oleh ratusan orang, juga berkaus merah, yang datang dengan menaiki 8 truk sejak pukul 6.15 pagi WIB. Terjadi perang batu, spanduk yang menutupi gedung terbakar habis, dan akhirnya pasukan penyerang memasuki kantor PDI itu. Sedikitnya lima orang tewas dan ratusan luka-luka dalam bentrokan tersebut.
Semua jalan ke arah Diponegoro diblokade pihak kepolisian. Perempatan Matraman menuju Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas PU yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka–Jalan Tambak. Pukul 12.45 WIB sebanyak lima orang antara lain dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia diperbolehkan polisi masuk ke kantor PDI yang sudah porak-poranda itu. Mereka keluar dan melaporkan bahwa di dalam sudah tidak ada orang kecuali darah yang berceceran di mana-mana. Sore hari sampai malam, kerusuhan berlanjut yang diikuti dengan pembakaran gedung/ perkantoran di Jalan Matraman dan Salemba.
Siapa dalang penyerangan dan kerusuhan massal tersebut? Apakah cuma dua perwira intel di lapangan serta tiga orang sipil yang didakwa melakukan perusakan? Fakta menunjukkan aparat keamanan berperan dalam penyerbuan tersebut. Bahkan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (tahun 2004 dan dicetak ulang 2009) menyebutkan beberapa hari sebelum kejadian, Kapuspen ABRI Brigjen Amir Syarifuddin mengatakan kepadanya bahwa markas PDI akan diserbu.
Bahkan saat penyerbuan di posko dekat kantor PDI itu Rosihan Anwar mendengar Kapuspen berbicara kepada Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso lewat walky talkie, “Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti.” Rosihan Anwar menyimpulkan, “This is Suharto’s game and his ABRI.” Yang menarik adalah pernyataan Rosihan Anwar bahwa sebetulnya ia sudah menyampaikan laporan ini pada harian Pikiran Rakyat dan Surabaya Post setelah kejadian tahun 1996.
Namun agar kedua koran itu tidak dibredel, Rosihan tidak mau menyebut nama pelaku. Namun setelah artikel itu dimuat dalam buku, ia menambahkan dan melengkapinya sehingga laporan itu lebih lengkap. Setelah itu terjadi penangkapan dan perburuan terhadap tokoh PDI pro Megawati dan aktivis PRD yang aktif dalam mimbar bebas di depan kantor PDI tersebut. Saya sebelumnya sudah mengetahui bahwa PRD memang menjadi target dari aparat keamanan.
Pada sebuah diskusi bertemakan “Gerakan Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan” yang diadakan sebuah majalah di lingkungan Angkatan Darat, saya memperoleh dokumen beberapa ratus halaman tentang aktivitas PRD yang tampaknya telah menjadi intaian para mata-mata. Dengan perkembangan terbaru tahun 2012, PRD menyatakan menerima ideologi Pancasila, maka sebetulnya tidak ada alasan bagi pihak intelijen untuk menaruh curiga kepada organisasi ini.
Tahun 2008 terbit buku RP Soejono dan RZ Leirissa (editor pemutakhiran), Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka). Dalam tempo singkat buku yang terdiri atas enam jilid senilai Rp825.000 itu telah dicetak ulang. Jilid terakhir, jilid VI buku ini tentang zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia disunting Saleh A Djamhari. Namun uraian mengenai kekerasan terkesan dituduhkan kepada pendukung Megawati. Massa membakar Departemen Pertanian, Bank Kesawan, showroom Toyota 2000, 23 buah mobil hangus.
Deskripsi perusakan ini diawali dengan, “Pendukung Megawati yang terkonsentrasi di depan gedung bioskop Megaria mencoba menembus barikade polisi. Massa kemudian mundur ke arah Cikini, Salemba dan Proklamasi,” dan diakhiri dengan kalimat “Aksi pendukung Megawati masih berlanjut sampai 28 Juli 1996.”
Ada minimal tiga
pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini. Pertama, negara tidak boleh lagi
melakukan intervensi terhadap partai politik, apalagi menggunakan kekerasan
massal. Kedua, agar kejadian ini tidak terulang, perkaranya harus
dituntaskan.Temuan-temuan terbaru dapat membantu penyidik untuk membuka lagi
kasus ini. Ketiga, perlu diwaspadai juga penulisan sejarah (resmi) yang tidak
objektif dan cenderung merugikan suatu golongan. Karena sekarang tidak boleh
lagi pelarangan buku, bila ada persoalan dalam substansi penerbitan, hal itu
dapat diselesaikan secara hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar