Hukum
dalam Impian PDIP
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar Universitas
Khairun, Ternate
SINDO,
31 Juli 2012
Ibu Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden
RI, yang masih menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
ini, bertempat di Kantor PDIP di Lenteng Angung berapa hari yang lalu, kembali
mengkritik penegak hukum korupsi di negeri ini.
Seperti biasanya, tone Ibu Mega masih juga sama. Pemberantasan
korupsi, dalam penilaiannya, masih tebang pilih. Kritik ini dilontarkan
menyusul ditetapkannya salah satu anggota DPR dari partainya menjadi tersangka.
Kritik ini seolah melengkapi kritik-kritik sebelum yang disampaikan Pramono
Anung dan Eva Sundari terhadap penetapan Emir Moeis menjadi tersangka oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sang fungsionaris DPR dari PDIP ini dituduh
menerima suap ratusan ribu dolar Amerika. Seperti disampaikan oleh wakil ketua
KPK, kasus ini terjadi pada 2004.
Tak Boleh Miring
Masuk akalkah kritik-kritik itu? Sesuai sejarahnya korupsi adalah kejahatan yang melekat pada kekuasaan. Pelakunya selalu orang-orang yang berkapasitas hukum sebagai orang yang memegang wewenang mengurus hal-ihwal bernegara. Dari sejarahnya pula, wewenang yang postur penggunaannya miring adalah pangkal korupsi, setidak-tidaknya berefek terjadi korupsi.
Wewenang, sesuai sifat sosiologis dan asal-usulnya, adalah cara masyarakat beradab memercayai orang tertentu untuk, dan hanya itu,menegakkan hukum, baik yang bersifat positif maupun negatif. Karena besarnya risiko yang dipertaruhkan, selain cara penyerahan kepercayaan itu rumit,juga harus diserahkan kepada orang-orang yang memiliki integritas moral dan intelektual hebat.
Wewenang, sekali lagi, sesuai dengan asal-usulnya, dimaksudkan dan ditujukan hanya untuk satu hal; menggunakan hukum atau menegakkan hukum. Hanya itu, tidak ada selain itu. Hanya dengan cara itulah impian menciptakan tatanan kehidupan yang berkeadilan, tatanan yang di dalamnya tidak ada orang kuat dan orang lemah. Sekali saja hukum miring, karena pemegang wewenang, orangnya, menegakkannya dengan cara miring, merajalelalah tindakan-tindakan korup.
Kala sebuah masyarakatd irajut dengan hukum yang miring-miring, karena penegaknya miring, suburlah korupsi dan terkuburlah semua impian tentang perikehidupan dan perikeadilan. Dalam esensinya hukum itu indah. Karena esensinya yang demikian itu, di mana pun, dahulu maupun sekarang,hukum selalu diberi nilai tinggi. Hukumlah satu-satunya sarana konsolidasi nilai-nilai tertinggi dalam sebuah masyarakat, yang mengimpikan perikehidupan yang adil dan beradab. Beresensi seperti itu, mengakibatkan sedetik saja hukum miring, miringlah bangsa itu. Pada titik ini, kritik Ibu Mega, Bapak Pramono, dan Ibu Eva memiliki nas.
Korupsi Merajalela
Gempuran KPK terhadap sejumlah fungsionaris DPR yang bertugas di Badan Anggaran (Banggar) tak pelak memunculkan kesan Banggar bagai lautan korupsi. Ide demi ide dan tindakan demi tindakan dalam Banggar, seolah kalau tidak korup sejak awal, tampaknya berspektrum kuat melahirkan korupsi. Korupsi di Banggar, terus terang, membuktikan satu hal; bangsa ini dalam bahaya besar. Betapa tidak.
Sampai abad ke-17 korupsi di Inggris hanya terjadi di lingkungan kerajaan, eksekutif, untuk konsep sekarang, sama dengan di Prancis hingga abad ke-18. Tetapi, sedikit berbeda Inggris, krisis keuangan Prancis sebagai akibat salah urus keuangan di kerajaan menjadi penyebab terbesar merebaknya revolusi. Revolusi itu menghasilkan, salah satunya yang gemilang, beralihnya kekuasaan anggaran dari kerajaan ke DPR.
Pengalihan kekuasaan anggaran itu bukan bertujuan memberi kewenangan kepada DPR mengumpulkan dan menggunakan anggaran, melainkan untuk dan hanya itu, mengawasi semua aktivitas pemerintah yang berkaitan dengan anggaran. Aktivitas pemerintah itu berupa serangkaian tindakan pengumpulan uang untuk dijadikan pendapatan, dan serangkaian tindakan penggunaan anggaran itu, berupa belanja negara.
Kewenangan ini sering disebut kewenangan budgeter, tidak lain adalah kewenangan mengabsahkan “autorisasi” rencana-rencana pendapatan dan belanja negara. Tragis, kewenangan ini, untuk kasus Indonesia, bersifat monopolistis karena diletakkan semata-mata pada DPR, yang ternyata menghasilkan lautan tindakan busuk, korup, yang mengerikan.
Tali-temali fakta persidangan dalam peradilan Wa Ode Nurhayati, begitu pula tali-temali cerita dalam penyelidikan proyek Hambalang, dan belakangan, cerita dalam penyelidikan supercepat kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan Lampung, 2004, serta laporan PPATK tentang 10 transaksi mencurigakan di Banggar, membuktikan satu hal; monopoli kewenangan budgeter ini berbahaya.
Kewenangan ini menjadi sangat mematikan. Korupsi yang sudah sangat berbahaya ini rasanya akan terus menggila karena satu sebab; penegakan hukum miring, atau dalam penilaian Ibu Mega tebang-pilih. Bayangkan, korupsi Hambalang cuma berakhir dengan ditersangkakannya kepala biro perencanaan, korupsi PPID cuma berakhir pada Wa Ode, dan belakangan satu lagi tersangka. Setelah diselingi korupsi pengadaan Alquran, dengan tersangka salah seorang fungsionaris DPR dari Partai Golkar, tiba-tiba Emir Moeis ditetapkan jadi tersangka untuk kasus yang tempusnya lumayan lama, pada 2004.
Korupsi dahulu atau sekarang memang harus dibongkar, tuntas setuntas-tuntasnya. Itu sebabnya Hambalang, yang modusnya telah dibuat terang-benderang oleh KPK, dan tempusnya masih sangat segar, terasa “menggelikan” karena cuma teralamatkan pada kepala biro perencanaan Kemenpora, seorang diri. Ajaib bin mau bilang apa. Memang begitulah hukum di tengah lautan korupsi. Tidak miring, tetapi juga tidak tegak. Tidak mati, tetapi juga tidak hidup.
Tak Boleh Miring
Masuk akalkah kritik-kritik itu? Sesuai sejarahnya korupsi adalah kejahatan yang melekat pada kekuasaan. Pelakunya selalu orang-orang yang berkapasitas hukum sebagai orang yang memegang wewenang mengurus hal-ihwal bernegara. Dari sejarahnya pula, wewenang yang postur penggunaannya miring adalah pangkal korupsi, setidak-tidaknya berefek terjadi korupsi.
Wewenang, sesuai sifat sosiologis dan asal-usulnya, adalah cara masyarakat beradab memercayai orang tertentu untuk, dan hanya itu,menegakkan hukum, baik yang bersifat positif maupun negatif. Karena besarnya risiko yang dipertaruhkan, selain cara penyerahan kepercayaan itu rumit,juga harus diserahkan kepada orang-orang yang memiliki integritas moral dan intelektual hebat.
Wewenang, sekali lagi, sesuai dengan asal-usulnya, dimaksudkan dan ditujukan hanya untuk satu hal; menggunakan hukum atau menegakkan hukum. Hanya itu, tidak ada selain itu. Hanya dengan cara itulah impian menciptakan tatanan kehidupan yang berkeadilan, tatanan yang di dalamnya tidak ada orang kuat dan orang lemah. Sekali saja hukum miring, karena pemegang wewenang, orangnya, menegakkannya dengan cara miring, merajalelalah tindakan-tindakan korup.
Kala sebuah masyarakatd irajut dengan hukum yang miring-miring, karena penegaknya miring, suburlah korupsi dan terkuburlah semua impian tentang perikehidupan dan perikeadilan. Dalam esensinya hukum itu indah. Karena esensinya yang demikian itu, di mana pun, dahulu maupun sekarang,hukum selalu diberi nilai tinggi. Hukumlah satu-satunya sarana konsolidasi nilai-nilai tertinggi dalam sebuah masyarakat, yang mengimpikan perikehidupan yang adil dan beradab. Beresensi seperti itu, mengakibatkan sedetik saja hukum miring, miringlah bangsa itu. Pada titik ini, kritik Ibu Mega, Bapak Pramono, dan Ibu Eva memiliki nas.
Korupsi Merajalela
Gempuran KPK terhadap sejumlah fungsionaris DPR yang bertugas di Badan Anggaran (Banggar) tak pelak memunculkan kesan Banggar bagai lautan korupsi. Ide demi ide dan tindakan demi tindakan dalam Banggar, seolah kalau tidak korup sejak awal, tampaknya berspektrum kuat melahirkan korupsi. Korupsi di Banggar, terus terang, membuktikan satu hal; bangsa ini dalam bahaya besar. Betapa tidak.
Sampai abad ke-17 korupsi di Inggris hanya terjadi di lingkungan kerajaan, eksekutif, untuk konsep sekarang, sama dengan di Prancis hingga abad ke-18. Tetapi, sedikit berbeda Inggris, krisis keuangan Prancis sebagai akibat salah urus keuangan di kerajaan menjadi penyebab terbesar merebaknya revolusi. Revolusi itu menghasilkan, salah satunya yang gemilang, beralihnya kekuasaan anggaran dari kerajaan ke DPR.
Pengalihan kekuasaan anggaran itu bukan bertujuan memberi kewenangan kepada DPR mengumpulkan dan menggunakan anggaran, melainkan untuk dan hanya itu, mengawasi semua aktivitas pemerintah yang berkaitan dengan anggaran. Aktivitas pemerintah itu berupa serangkaian tindakan pengumpulan uang untuk dijadikan pendapatan, dan serangkaian tindakan penggunaan anggaran itu, berupa belanja negara.
Kewenangan ini sering disebut kewenangan budgeter, tidak lain adalah kewenangan mengabsahkan “autorisasi” rencana-rencana pendapatan dan belanja negara. Tragis, kewenangan ini, untuk kasus Indonesia, bersifat monopolistis karena diletakkan semata-mata pada DPR, yang ternyata menghasilkan lautan tindakan busuk, korup, yang mengerikan.
Tali-temali fakta persidangan dalam peradilan Wa Ode Nurhayati, begitu pula tali-temali cerita dalam penyelidikan proyek Hambalang, dan belakangan, cerita dalam penyelidikan supercepat kasus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan Lampung, 2004, serta laporan PPATK tentang 10 transaksi mencurigakan di Banggar, membuktikan satu hal; monopoli kewenangan budgeter ini berbahaya.
Kewenangan ini menjadi sangat mematikan. Korupsi yang sudah sangat berbahaya ini rasanya akan terus menggila karena satu sebab; penegakan hukum miring, atau dalam penilaian Ibu Mega tebang-pilih. Bayangkan, korupsi Hambalang cuma berakhir dengan ditersangkakannya kepala biro perencanaan, korupsi PPID cuma berakhir pada Wa Ode, dan belakangan satu lagi tersangka. Setelah diselingi korupsi pengadaan Alquran, dengan tersangka salah seorang fungsionaris DPR dari Partai Golkar, tiba-tiba Emir Moeis ditetapkan jadi tersangka untuk kasus yang tempusnya lumayan lama, pada 2004.
Korupsi dahulu atau sekarang memang harus dibongkar, tuntas setuntas-tuntasnya. Itu sebabnya Hambalang, yang modusnya telah dibuat terang-benderang oleh KPK, dan tempusnya masih sangat segar, terasa “menggelikan” karena cuma teralamatkan pada kepala biro perencanaan Kemenpora, seorang diri. Ajaib bin mau bilang apa. Memang begitulah hukum di tengah lautan korupsi. Tidak miring, tetapi juga tidak tegak. Tidak mati, tetapi juga tidak hidup.
Menariknya Presiden,
yang entah sungguh-sungguh atau sekadar kasih kerjaan buat pengamat dan
politisi, seperti biasanya, cuma bisa bilang, ada kongkalikong antara oknum-oknum
di DPR dan oknum-oknum di pemerintahan. Seperti biasa Presiden tidak menunjuk
batang hidung manusia yang kongkalikong itu. Seperti biasanya juga Presiden
tidak memberi perintah langsung kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk
membongkarnya.
Sungguh postur penegakan hukum pemberantasan korupsi saat ini khas hukum dalam alam politik korup. Hukum dalam alam politik korup berciri, selain tidak dapat diprediksi, tidak diketahui arahnya, dan tidak dapat dinalar, juga dan yang terpenting bergantung gelagat alam batin politik makro. Memang sulit dimengerti, tetapi harus diingat cara berhukum dalam politik korup tidak untuk dimengerti. Politik hukum korup selalu menampakkan penegakan hukum sebagai usaha politik berspektrum netral.
Ada kebutuhan membiarkan kawan terperangkap, setelah dan sejauh diperlukan demi gengsi politik. Lawan, sudahlah, jangan banyak cakap. Seperti biasanya dalam semua alam politik dan hukum korup, selalu ada yang sama sekali tidak bisa dikenakan hukum. Begitulah hukum besi politik hukum korup.
Rasanya, pasti bukan ini postur hukum pemberantasan korupsi yang diimpikan PDIP. Lelah memang menghadapi politik hukum seperti ini, tetapi lebih baik lelah menghadapinya daripada membiarkan hukum dan politik kehilangan elan-nya. Sebagai sebuah sarana penuh nilai, penegakan hukum tak bisa dibiarkan menggerogoti impian kita berbangsa secara adil dan beradab. ●
Sungguh postur penegakan hukum pemberantasan korupsi saat ini khas hukum dalam alam politik korup. Hukum dalam alam politik korup berciri, selain tidak dapat diprediksi, tidak diketahui arahnya, dan tidak dapat dinalar, juga dan yang terpenting bergantung gelagat alam batin politik makro. Memang sulit dimengerti, tetapi harus diingat cara berhukum dalam politik korup tidak untuk dimengerti. Politik hukum korup selalu menampakkan penegakan hukum sebagai usaha politik berspektrum netral.
Ada kebutuhan membiarkan kawan terperangkap, setelah dan sejauh diperlukan demi gengsi politik. Lawan, sudahlah, jangan banyak cakap. Seperti biasanya dalam semua alam politik dan hukum korup, selalu ada yang sama sekali tidak bisa dikenakan hukum. Begitulah hukum besi politik hukum korup.
Rasanya, pasti bukan ini postur hukum pemberantasan korupsi yang diimpikan PDIP. Lelah memang menghadapi politik hukum seperti ini, tetapi lebih baik lelah menghadapinya daripada membiarkan hukum dan politik kehilangan elan-nya. Sebagai sebuah sarana penuh nilai, penegakan hukum tak bisa dibiarkan menggerogoti impian kita berbangsa secara adil dan beradab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar