Kamis, 26 Juli 2012

Mengubah Golput Menjadi Pemilih


Mengubah Golput Menjadi Pemilih
Suhardi Suryadi ; Direktur Program Prisma–LP3ES
 KOMPAS, 26 Juli 2012


Keunggulan Jokowi-Ahok dibandingkan dengan Foke-Nara pada hasil penghitungan Pilkada DKI sebenarnya tak mengejutkan.

Pertama, dari beberapa survei terlihat ada tren peningkatan pilihan terhadap Jokowi dan, sebaliknya, penurunan pada Foke. Survei Prisma-MNC Research 1 Juli 2012 menunjukkan perolehan suara keduanya relatif seimbang. Foke-Nara 24,5 persen dan Jokowi-Ahok 22,7 persen dengan tingkat kesalahan 3,6 persen.

Kedua, besarnya dukungan kelompok pemilih kelas menengah, tingkat pendidikan S-1 ke atas, terhadap Jokowi yang dalam survei Prisma mencapai 24,3 persen. Kelompok ini umumnya merupakan pemilih yang romantis dengan perubahan dan memiliki pengaruh politik di keluarga dan lingkungannya.

Ketiga, besarnya angka yang belum memilih (38,8 persen) mayoritas adalah kelas menengah.

Dengan keunggulan Jokowi pada putaran I seolah-olah kompetisi memperebutkan kursi 
gubernur telah berakhir. Meskipun peluangnya dalam putaran II lebih besar, euforia Jokowi dan pendukungnya yang berlebihan justru dapat berbahaya. Warga yang tak menggunakan hak suara cukup besar, 34 persen (2.356.998 orang) dan mayoritas adalah kelas bawah. Tiga kategori terkait dengan warga yang tak memilih: warga yang sejak awal memutuskan tak memilih, warga yang gagal didaftar dan mendapatkan kartu suara, serta warga yang sudah terdaftar dan mendapat kartu suara, tetapi tak memilih.

Golput Sempurna

Dalam Pilkada DKI 2012 memang sulit diketahui persis persentase dari tiga kategori warga yang tak memanfaatkan hak suara. Kuat dugaan bahwa masalah teknis kesalahan pendaftaran dan distribusi kartu suara relatif lebih kecil dibandingkan dengan yang memutuskan tidak memilih dan memanfaatkan hak suaranya meski sudah terdaftar.

Alasan teknis tak datang ke TPS, antara lain liburan dan anggota keluarga sakit. Namun, jika ditelusuri alasan yang lebih substansial, warga yang memutuskan tak memilih mayoritas adalah warga kelas bawah yang cenderung apatis terhadap pemilu (politik) karena merasa siapa pun yang terpilih takkan membawa atau menjamin perubahan kehidupan sosial-ekonominya.

Mereka dapat dikategorikan golput sempurna. Situasi ini nyaris sama dengan Pemilu Presiden di Amerika Serikat (2004): 36,2 persen atau 71,2 juta warga tak memilih karena kehilangan kepercayaan terhadap politisi dan pemilu (MG Matally, 2008).

Warga yang golput ini kurang memiliki identifikasi, baik terhadap partai politik maupun calon yang bertarung, termasuk elite politik yang dipakai sebagai pendulang suara. Indikasinya tampak dari kasus pasangan Foke-Nara. Dukungan banyak partai dan tokoh masyarakat ternyata tak mampu meningkatkan keterpilihannya. Putusan untuk tak memilih—meski telah didaftar dan memperoleh kartu suara—dilatarbelakangi oleh kesadaran terhadap situasi sosial-ekonomi yang tak berubah.

Karakter kelas bawah Jakarta berbeda dengan provinsi lain. Pendidikan dan pendapatan yang rendah bukan berarti kesadaran politik ikut rendah. Pergaulan dengan warga yang lebih terdidik, kemudahan dan luasnya akses informasi, serta jejaring di komunitasnya telah membentuk kesadaran dan sikap politiknya yang independen.

Politik uang yang ada tak berpengaruh terhadap pilihan dan slogan ”ambil uangnya dan jangan pilih orangnya” terbukti efektif. Karena itu, pasangan Alex-Nono tak mendapat banyak dukungan sekalipun ditengarai memberikan uang kepada calon pemilih semasa proses pemilihan.

Mengurangi jumlah golput pada putaran II dalam Pilkada DKI, September 2012, bukan semata-mata tanggung jawab KPUD Jakarta dengan memperbaiki sistem pendaftaran dan distribusi kartu suara. Pasangan yang bersaing juga dituntut menyampaikan program-program secara konkret sehingga menarik minat dan meyakinkan warga datang ke TPS dan memilihnya.

Pengetahuan warga golput tentang kandidat dan program relatif minimal. Meskipun program intensif dikenalkan melalui media massa, poster, dan atribut lain, mereka kurang perhatian. Exit poll Prisma-MNC menunjukkan bahwa dari empat orang yang diwawancarai, hanya satu orang yang memilih karena tertarik dengan program yang ditawarkan kandidat. Selebihnya didasari oleh motif yang bersifat personal dan emosional.

Pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok pada dasarnya memiliki peluang yang sama untuk memperebutkan suara warga golput memenangi putaran II. Siapa yang mampu menyampaikan program perubahan secara nyata dan sederhana di bidang pelayanan publik, lapangan kerja, masalah kemacetan, pendidikan, dan kesehatan sehingga meyakinkan golput untuk memilih, niscaya akan terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.

Semoga Pilkada DKI Jakarta 2012 bukan sekadar ritual politik, melainkan benar-benar sebagai titik awal bagi perubahan Jakarta, perubahan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar