Menggapai
Swasembada Kedelai
Maryadi ; Profesor riset di
BPPT, Alumnus Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta dan University of Reading,
Inggris
MEDIA
INDONESIA, 27 Juli 2012
PEMENUHAN kebutuhan kedelai meru pakan masalah yang akan terus
terjadi di Indonesia selama sebagian besar kebutuhan masih dipenuhi dari impor.
Saat ini sekitar 70% kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai pada 2011 mencapai 2,08 juta
ton dengan nilai US$1,24 miliar, sedangkan produksi dalam negeri hanya sekitar
600 ribu ton. Pada tahun sebelumnya, jumlah impor itu baru sekitar 1 juta ton.
Itu berarti ada peningkatan kebutuhan yang sangat besar.
Peningkatan kebutuhan kedelai, selain disebabkan meningkatnya
permintaan, juga disebabkan penurunan produksi akibat turunnya luas areal
panen. Kesadaran masyarakat akan tingginya unsur-unsur esensial yang ada pada
biji kedelai merupakan salah satu penyebab meningkatnya kebutuhan.
Seperti diketahui, kedelai mengandung sekitar 40% protein, 20%
lemak, 35% karbohidrat, dan 5% mineral sehingga makanan yang berasal dari
kedelai dikenal mempunyai kandungan tinggi protein dan rendah kandungan lemak
jenuh. Kualitas proteinnya yang hampir menyaingi protein yang berasal dari
hewan juga menyebabkan banyak kalangan lebih memilih membeli kedelai dari pada
daging sapi yang harganya mahal.
Dalam seminggu terakhir ini, kita disuguhi berita tentang
langkanya kedelai di pasaran. Kalaupun ada, harganya meningkat cukup tajam. Beberapa
kalangan mengatakan berkurangnya pasokan kedelai di dalam negeri terutama
disebabkan turunnya produksi di Amerika Serikat akibat kekeringan. Yang menjadi
pertanyaan ialah mengapa kita masih sangat bergantung pada Amerika Serikat?
Memang sampai saat ini Amerika Serikat masih menjadi negara
penghasil kedelai utama di dunia. Pada 2010, negara ini memasok 35 % produksi
dunia. Namun jumlah produksi tersebut merupakan sebuah penurunan dari dekade
sebelumnya. Pada 1980-an, negara ini menguasai lebih dari 50% produksi kedelai
dunia. Penurunan itu terutama disebabkan meningkatnya produksi kedelai di
Brasil dan Argentina. Pangsa produksi kedua negara itu saat ini mencapai 27%
dan 19% produksi dunia. Apabila dijumlah, produksi kedelai di kedua negara ini
telah melebihi produksi kedelai Amerika Serikat. Dengan melihat data tersebut,
sudah waktunya para importir kedelai di Indonesia mengalihkan pandangan ke
kedua negara itu.
Tanaman kedelai merupakan tanaman yang berasal dari daerah
subtropis di China bagian utara. Dari daerah itulah kemudian berkembang ke
berbagai belahan dunia lain termasuk Indonesia.
Di Amerika Serikat penanaman kedelai dilakukan pada April sampai
Juni dan panen dilakukan pada September sampai November. Di Brasil dan
Argentina yang terletak di bagian selatan khatulistiwa, penanaman dilakukan
pada Oktober sampai Desember dan panen dilakukan pada April sampai Juni tahun
berikutnya.
Bila diperhatikan, masa tanam kedelai di negara-negara penghasil
utama kedelai jatuh pada bulan-bulan yang memiliki panjang hari 14-16 jam. Bila
ditanam pada waktu panjang harinya kurang dari 14 jam, produksi tanaman ini
berkurang. Hal itu disebabkan masa pembungaannya lebih pendek. Pertumbuhan
batang dan buku-bukunya juga akan lebih pendek sehingga menghasilkan polong dan
biji yang lebih sedikit.
Indonesia merupakan negara yang memiliki panjang hari umumnya
kurang dari 12 jam sehingga produktivitas tanaman ini rendah. Potensi beberapa
varietas unggul yang dihasilkan berbagai lembaga penelitian di Indonesia hanya
sekitar 1,5 ton per hektare. Di tingkat petani, produktivitasnya akan lebih
rendah, yakni hanya berkisar 0,8-1 ton per hektare. Bandingkan dengan
produktivitas di AS dan Argentina yang dapat mencapai 2,7 ton per hektare atau
Brasil 2,48 ton per hektare.
Peningkatan kebutuhan kedelai dunia mendorong pengusaha di Amerika
Serikat, Brasil, dan Argentina memperluas areal tanam mereka. Di Amerika
Serikat, banyak areal penanaman kapas diubah menjadi areal penanaman kedelai.
Di Argentina, penambahan areal panen dilakukan dengan mengonversi areal
penanaman bunga matahari men jadi areal penanam kedelai. Selain menambah areal
tanam, para peneliti di negara-negara tersebut berusaha meningkatkan produksi
per satuan luas. Bahkan diharapkan, sebelum 2030 telah ditemukan benih yang
mampu menghasilkan kedelai sebanyak 4 ton per hektare.
Penambahan luas areal tanam di Indonesia untuk meningkatkan
produksi ke delai tampaknya sangat sulit dilaksanakan karena areal tanam
kedelai tumpang tindih dengan areal tanaman lain. Lahan untuk menanam kedelai
umumnya berupa lahan sawah yang baru selesai digunakan untuk menanam padi. Di
tempat-tempat yang pasokan airnya terbatas, para petani umumnya memanfaatkan
lahan sawah mereka untuk menanam kedelai atau jagung. Karena masa tanam kedua
tanaman ini bersamaan, petani harus memilih salah satu dari tanaman itu.
Petani umumnya lebih memilih menanam jagung setelah masa tanam
padi selesai. Risiko menanam jagung lebih rendah bila dibandingkan dengan
kedelai yang rentan terhadap berbagai serangan hama dan penyakit. Maka, salah
satu cara untuk menambah areal tanam kedelai adalah memanfaatkan lahan-lahan
kosong yang selama ini tidak ditanami. Jangan sampai pemerintah justru
memperluas areal dengan mencetak sawah beririgasi teknis yang memungkinkan
petani menanam padi sepanjang tahun. Bila yang dicetak ialah lahan sawah
seperti itu, upaya meningkatkan produksi kedelai dapat dipastikan tidak akan
berhasil.
Ada unsur psikologis bila petani menanam padi. Dengan menanam
padi, mereka akan memiliki cadangan beras yang merupakan kebutuhan pokok
sehari-hari. Hidup mereka menjadi tenang karena memiliki beras yang siap untuk
dimasak dan dimakan. Lain halnya bila mereka harus menanam dengan tanaman lain
seperti kedelai. Mau tidak mau, mereka harus menjual hasil panen terlebih dulu
sebelum bisa mendapatkan bahan makanan pokok yang berupa beras. Mereka
menyadari sepenuhnya bahwa menjual hasil pertanian itu tidak mudah. Belum tentu
hasil panen mereka dapat dijual dengan harga yang memadai setelah panen hasil. Sudah
bukan rahasia lagi, pada masa panen biasanya banyak spekulan mempermainkan
harga. Umumnya petani selalu dirugikan dalam penjualan hasil panen.
Kementerian Pertanian saat ini sedang berusaha menambah luas areal
tanam kedelai minimal 500 ribu hektare. Kalaupun areal itu bisa diperoleh,
tambahan produksi hanya sekitar 500 ribu ton atau bahkan kurang. Tambahan
produksi itu masih jauh dari angka impor yang sudah mencapai lebih dari 2 juta
ton.
Mengingat terbatasnya lahan penanaman, pemerintah seharusnya lebih mendorong
para peneliti untuk dapat menghasilkan varietas kedelai yang memiliki potensi
daya hasil yang tinggi. Para peneliti kita pernah menghasilkan varietas seperti
yang dimaksud, misalnya varietas jayawijaya dan varietas dieng yang memiliki
potensi hasil lebih dari 2,50 ton per hektare.
Para peneliti di Indonesia memiliki kemampuan untuk menghasilkan
varietas-varietas unggul asalkan nasib mereka diperhatikan. Sudah bukan rahasia
lagi bila para peneliti di Indonesia sampai saat hanya dilihat sebelah mata
oleh pemerintah.
Pemerintah sekarang tampaknya kurang menyadari bahwa kemajuan dan
kemakmuran suatu bangsa banyak ditentukan oleh penemuan dan kemajuan teknologi
baru dengan para peneliti yang merupakan salah satu ujung tombaknya.
Pada 1980-an mereka sudah membuktikan sumbangsih bagi bangsa dan
negara. Hasil penelitian mereka mampu meningkatkan produksi beras dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Indonesia yang semula dikenal sebagai
negara terbesar pengimpor beras di dunia berubah menjadi negara yang berhasil
dalam swasembada beras atau pangan.
Pemerintah memang pernah berniat untuk memperbaiki nasib para
peneliti, tetapi sampai sekarang niat itu belum terlaksana, bahkan mungkin
sudah dilupakan. Kalau sudah demikian, swasembada kedelai barangkali hanya
impian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar