Kekeringan
AS dan Ekonomi Pangan Indonesia
Bustanul Arifin ; Guru Besar
Universitas Lampung;
Professorial
Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
KOMPAS,
30 Juli 2012
Amerika Serikat sebagai
produsen pangan terbesar dunia sedang dilanda kekeringan hebat, terbesar dalam
dua dekade terakhir. Suhu udara melampaui 40 derajat celsius di wilayah
Midwest, yang menjadi sentra produksi pangan utama AS. Laporan dari United
States Drought Monitor, lembaga milik pemerintah federal, menunjukkan bahwa
kekeringan sudah 64 persen atau hanya lebih rendah daripada kekeringan hebat
tahun 1988.
Gagal panen mengancam
seluruh sentra produksi pangan dan pertanian di Midwest. Departemen Pertanian
AS (USDA) memperkirakan penurunan produksi pangan dan pakan, seperti gandum,
jagung, dan kedelai. Produksi jagung diramalkan turun 12 persen dan harga
jagung naik 34 persen sehingga produk turunan dari jagung, seperti pakan
ternak, juga akan naik harganya.
Secara ekonomi, petani AS
sebenarnya tidak terlalu rugi karena hampir semua tanaman telah diasuransikan
kepada negara (Federal Crop Insurance)
dan asuransi tanaman tambahan lainnya yang dikelola swasta. Pada musim kering
tahun 2011, total pembayaran asuransi tanaman kepada petani AS mencapai 10,8
miliar dollar AS.
Pemerintah AS akan
memfinalisasi perhitungan dampak kekeringan ini pada 10 Agustus mendatang,
terutama berhubungan dengan berapa anggaran yang diperlukan untuk pembayaran
asuransi tanaman.
Kapitalisasi dari dampak
kekeringan AS kini akan sebesar 12 miliar dollar AS (sekitar Rp 114 triliun)
menggunakan tahun dasar 2012. Angka itu memang masih lebih rendah daripada
dampak kekeringan tahun 1988 sebesar 78 miliar dollar AS.
Pada fenomena kekeringan
sekarang ini, konsumen dan masyarakat AS justru khawatir terhadap dampak
kenaikan harga dan laju inflasi karena proses produksi pakan ternak dengan
bahan baku jagung dan kedelai akan lebih mahal.
Indonesia Krisis Pangan?
Telah cukup banyak analisis
soal ancaman krisis pangan di Indonesia jika para pemimpin ekonomi dan politik
tidak mampu menegakkan kedaulatan pangan di negeri sendiri. Ketergantungan yang
tinggi pada produk pangan impor, terutama dari AS, telah membuat
pilihan-pilihan kebijakan di dalam negeri menjadi sangat terbatas.
Saat ini Indonesia
bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 78 persen kedelai, 72 persen
susu, 54 persen gula, dan 20 persen daging sapi, sebagian besar dari
negara-negara maju. Berdasarkan persentase, impor jagung dan beras tidak
terlalu besar, hanya 11 persen (2 juta ton impor dari 18 juta ton produksi
jagung) dan 5 persen (2 juta ton impor dari 39 juta ton produksi beras).
Hal yang lebih krusial bagi
ekonomi pangan adalah kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih.
Apalagi berambisi mencapai target besar swasembada untuk lima komoditas strategis:
beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, pada 2014.
Berdasarkan publikasi
terakhir soal angka ramalan produksi Badan Pusat Statistik, target swasembada
beras mungkin relatif paling aman walaupun untuk memenuhi surplus sampai 10
juta ton tahun 2014 sulit tercapai. Terlalu sulit untuk menghentikan laju
konversi lahan sawah subur menjadi kegunaan lain. Juga sulit mengejar perbaikan
sistem infrastruktur irigasi yang telah rusak cukup parah.
Target swasembada jagung
mungkin masih dapat tercapai asalkan semua kebijakan insentif peningkatan
produksi dan produktivitas benar-benar dilaksanakan konsisten, mulai dari
ketersediaan benih unggul (hibrida), pupuk yang tepat, hingga penanganan hama
penyakit yang terpadu. Petani jagung tidak boleh dikecewakan oleh sistem usaha
tani dan kelembagaan pemasaran serta penanganan pascapanen yang umumnya
berhubungan dengan industri pakan ternak.
Target swasembada gula 4,2
juta ton hampir pasti tidak akan tercapai tahun 2014 karena persoalan
kelembagaan yang melingkupinya terlalu kusut, mulai dari tingkat usaha tani di
hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai struktur pasar dan pemasaran
yang penuh misteri (Kompas, 9 Juli 2012).
Target swasembada kedelai
2,5 juta ton tahun 2014 juga sulit tercapai karena fenomena ”dekedelaisasi” di
Indonesia telah demikian parah, terutama selama 20 tahun terakhir. Areal panen
kedelai menurun drastis sampai 6 persen per tahun dan kini hanya tinggal
567.000 hektar.
Sekadar perbandingan, lahan
kedelai pernah seluas 1,4 juta hektar dan produksi kedelai pernah mencapai 1,8
juta ton awal tahun 1990-an. Sudah terlalu lama sistem insentif dan kebijakan
pada agribisnis kedelai rusak (sengaja dirusak?) karena inkonsistensi pemimpin
di negeri ini.
Uraian di atas seharusnya
telah memadai menjelaskan kinerja produksi pangan dalam negeri yang buruk akan
sangat rentan atas gejolak produksi pangan di luar negeri. Sebagian besar (89
persen) impor kedelai Indonesia yang mencapai hampir 2 juta ton tersebut
berasal dari AS.
Solusi kebijakan instan pemerintah
dengan menghapus tarif impor bea masuk kedelai mungkin menjadi kosmetik sesaat.
Akan tetapi, langkah kebijakan instan tersebut bukanlah opsi yang tepat jika
target pemerintah memang ingin mencapai swasembada kedelai.
Kebijakan pangan yang mampu
meningkatkan ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa tidak akan pernah dicapai
dengan cara potong kompas. Pencapaian tujuan itu memerlukan keteguhan hati
pemimpin, konsistensi kebijakan, serta integritas perumus dan pelaksana
kebijakan di negeri ini.
Pelajaran penting dari
fenomena kekeringan di AS dan respons yang dilakukan oleh analis dan perumus
kebijakan adalah bahwa perlindungan dan pemihakan kepada petani wajib
terinternalisasi dalam rangkaian kebijakan ekonomi dan politik negara.
Kini, semua pihak berharap
pada skema baru Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
yang sedang dibahas. Idealnya, skema baru itu wajib melindungi petani dan usaha
tani atau agribisnisnya, serta mencakup banyak hal, mulai dari sistem asuransi
tanaman dan perlindungan gagal panen, sistem pembiayaan dan perbankan
pertanian, penyuluhan dan pendampingan petani, sistem lindung nilai sampai
penyimpanan, skema resi gudang, dan sebagainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar