Senin, 30 Juli 2012

Kekeringan AS dan Ekonomi Pangan Indonesia


Kekeringan AS dan Ekonomi Pangan Indonesia
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung;
Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
KOMPAS, 30 Juli 2012


Amerika Serikat sebagai produsen pangan terbesar dunia sedang dilanda kekeringan hebat, terbesar dalam dua dekade terakhir. Suhu udara melampaui 40 derajat celsius di wilayah Midwest, yang menjadi sentra produksi pangan utama AS. Laporan dari United States Drought Monitor, lembaga milik pemerintah federal, menunjukkan bahwa kekeringan sudah 64 persen atau hanya lebih rendah daripada kekeringan hebat tahun 1988.

Gagal panen mengancam seluruh sentra produksi pangan dan pertanian di Midwest. Departemen Pertanian AS (USDA) memperkirakan penurunan produksi pangan dan pakan, seperti gandum, jagung, dan kedelai. Produksi jagung diramalkan turun 12 persen dan harga jagung naik 34 persen sehingga produk turunan dari jagung, seperti pakan ternak, juga akan naik harganya.

Secara ekonomi, petani AS sebenarnya tidak terlalu rugi karena hampir semua tanaman telah diasuransikan kepada negara (Federal Crop Insurance) dan asuransi tanaman tambahan lainnya yang dikelola swasta. Pada musim kering tahun 2011, total pembayaran asuransi tanaman kepada petani AS mencapai 10,8 miliar dollar AS.

Pemerintah AS akan memfinalisasi perhitungan dampak kekeringan ini pada 10 Agustus mendatang, terutama berhubungan dengan berapa anggaran yang diperlukan untuk pembayaran asuransi tanaman.

Kapitalisasi dari dampak kekeringan AS kini akan sebesar 12 miliar dollar AS (sekitar Rp 114 triliun) menggunakan tahun dasar 2012. Angka itu memang masih lebih rendah daripada dampak kekeringan tahun 1988 sebesar 78 miliar dollar AS.

Pada fenomena kekeringan sekarang ini, konsumen dan masyarakat AS justru khawatir terhadap dampak kenaikan harga dan laju inflasi karena proses produksi pakan ternak dengan bahan baku jagung dan kedelai akan lebih mahal.

Indonesia Krisis Pangan?

Telah cukup banyak analisis soal ancaman krisis pangan di Indonesia jika para pemimpin ekonomi dan politik tidak mampu menegakkan kedaulatan pangan di negeri sendiri. Ketergantungan yang tinggi pada produk pangan impor, terutama dari AS, telah membuat pilihan-pilihan kebijakan di dalam negeri menjadi sangat terbatas.

Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 78 persen kedelai, 72 persen susu, 54 persen gula, dan 20 persen daging sapi, sebagian besar dari negara-negara maju. Berdasarkan persentase, impor jagung dan beras tidak terlalu besar, hanya 11 persen (2 juta ton impor dari 18 juta ton produksi jagung) dan 5 persen (2 juta ton impor dari 39 juta ton produksi beras).

Hal yang lebih krusial bagi ekonomi pangan adalah kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih. Apalagi berambisi mencapai target besar swasembada untuk lima komoditas strategis: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, pada 2014.

Berdasarkan publikasi terakhir soal angka ramalan produksi Badan Pusat Statistik, target swasembada beras mungkin relatif paling aman walaupun untuk memenuhi surplus sampai 10 juta ton tahun 2014 sulit tercapai. Terlalu sulit untuk menghentikan laju konversi lahan sawah subur menjadi kegunaan lain. Juga sulit mengejar perbaikan sistem infrastruktur irigasi yang telah rusak cukup parah.

Target swasembada jagung mungkin masih dapat tercapai asalkan semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar dilaksanakan konsisten, mulai dari ketersediaan benih unggul (hibrida), pupuk yang tepat, hingga penanganan hama penyakit yang terpadu. Petani jagung tidak boleh dikecewakan oleh sistem usaha tani dan kelembagaan pemasaran serta penanganan pascapanen yang umumnya berhubungan dengan industri pakan ternak.

Target swasembada gula 4,2 juta ton hampir pasti tidak akan tercapai tahun 2014 karena persoalan kelembagaan yang melingkupinya terlalu kusut, mulai dari tingkat usaha tani di hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai struktur pasar dan pemasaran yang penuh misteri (Kompas, 9 Juli 2012).

Target swasembada kedelai 2,5 juta ton tahun 2014 juga sulit tercapai karena fenomena ”dekedelaisasi” di Indonesia telah demikian parah, terutama selama 20 tahun terakhir. Areal panen kedelai menurun drastis sampai 6 persen per tahun dan kini hanya tinggal 567.000 hektar.

Sekadar perbandingan, lahan kedelai pernah seluas 1,4 juta hektar dan produksi kedelai pernah mencapai 1,8 juta ton awal tahun 1990-an. Sudah terlalu lama sistem insentif dan kebijakan pada agribisnis kedelai rusak (sengaja dirusak?) karena inkonsistensi pemimpin di negeri ini.

Uraian di atas seharusnya telah memadai menjelaskan kinerja produksi pangan dalam negeri yang buruk akan sangat rentan atas gejolak produksi pangan di luar negeri. Sebagian besar (89 persen) impor kedelai Indonesia yang mencapai hampir 2 juta ton tersebut berasal dari AS.

Solusi kebijakan instan pemerintah dengan menghapus tarif impor bea masuk kedelai mungkin menjadi kosmetik sesaat. Akan tetapi, langkah kebijakan instan tersebut bukanlah opsi yang tepat jika target pemerintah memang ingin mencapai swasembada kedelai.

Kebijakan pangan yang mampu meningkatkan ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa tidak akan pernah dicapai dengan cara potong kompas. Pencapaian tujuan itu memerlukan keteguhan hati pemimpin, konsistensi kebijakan, serta integritas perumus dan pelaksana kebijakan di negeri ini.

Pelajaran penting dari fenomena kekeringan di AS dan respons yang dilakukan oleh analis dan perumus kebijakan adalah bahwa perlindungan dan pemihakan kepada petani wajib terinternalisasi dalam rangkaian kebijakan ekonomi dan politik negara.

Kini, semua pihak berharap pada skema baru Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang sedang dibahas. Idealnya, skema baru itu wajib melindungi petani dan usaha tani atau agribisnisnya, serta mencakup banyak hal, mulai dari sistem asuransi tanaman dan perlindungan gagal panen, sistem pembiayaan dan perbankan pertanian, penyuluhan dan pendampingan petani, sistem lindung nilai sampai penyimpanan, skema resi gudang, dan sebagainya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar