Swa
Sembada Kedelai?
Pande Radja Silalahi ; Ekonom CSIS
SUARA
KARYA, 31 Juli 2012
Kenaikan harga berbagai komoditas yang terjadi belakangan
ini tampaknya perlu mendapat perhatian serius terutama dari para pembuat
keputusan. Semula pemberitaan perihal kenaikan harga terutama pangan kurang
menarik perhatian karena biasa terjadi menjelang dan selama bulan puasa.
Tetapi, menyusul pernyataan yang dilontarkan oleh aparat pemerintah dan
dihubungkan dengan tindakan yang dilakukannya, siapa pun akan menjadi prihatin.
Pejabat yang satu menyatakan bahwa kenaikan harga merupakan
ulah para spekulan. Tetapi, sampai saat ini belum ada pemberitaan mengenai
spekulan yang ditangkap atau didakwa melakukan tindakan melawan hukum. Pejabat
yang lain menyatakan bahwa untuk menghadapi kenaikan harga, perlu dilakukan
operasi pasar. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, pejabat yang bersangkutan
mengemukakan dalam beberapa waktu belakangan ini bahwa pasokan komoditas yang
harganya naik mengalami penurunan.
Lebih memprihatinkan lagi, di tengah terjadinya kenaikan
harga muncul gagasan agar bea masuk untuk komoditas tertentu ditiadakan atau
dikurangi. Sementara di sisi lain muncul desakan agar Bulog diberi peran yang
lebih besar untuk menstabilkan harga.
Di mana pun di dunia ini kenaikan harga suatu komoditas
tidak bersifat netral. Untuk Indonesia, misalnya, kenaikan harga padi akan
menguntungkan sebagian petani di wilayah tertentu, tetapi menambah beban atau
mengurangi daya beli sebagian besar masyarakat. Kenaikan harga kedelai akan menguntungkan
sebagian petani, tetapi dapat mereduksi pendapatan produsen tempe dan dapat
menambah beban bagi konsumen tempe serta dapat berakibat pengalihan penggunaan
lahan.
Data statistik yang dipublikasikan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) dengan jelas menunjukkan pada tahun 2011 produksi kedelai di
Indonesia mengalami penurunan 55.745 ton dan tahun 2012 ini diperkirakan turun
lagi sekitar 71.545 ton, sehingga perkiraan produksi tahun ini akan berkisar
779.741 ton. Penurunan itu berbarengan dengan terjadinya penurunan luas panen,
yaitu tahun 2011 sebesar 5,84 persen dan tahun ini diperkirakan lebih besar
lagi sekitar 8,93 persen.
Sudah umum diketahui bahwa Indonesia masih mengimpor kacang
kedelai dalam jumlah besar dan menurut Menteri Pertanian sekitar 60 persen dari
seluruh kebutuhan. Dengan kata lain, produksi dalam negeri hanya dapat memenuhi
40 persen dari kebutuhan. Dengan keadaan seperti ini, pemantauan terhadap
negara eksportir kedelai sudah menjadi keharusan bagi Kementerian Pertanian.
Karena jumlah produksi sangat dipengaruhi iklim, maka perkembangan iklim di
negara eksportir menjadi sangat penting dan tidak dapat diabaikan.
Setelah mempertimbangkan berbagai
faktor yang berpengaruh, hampir dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak akan
mungkin swasembada kedelai dalam waktu singkat. Tanpa mengelola harga secara
tepat, penggerusan lahan untuk produksi kedelai akan terus terjadi. Dengan
kecenderungan seperti ini, apakah tepat apabila harga kedelai dipertahankan
rendah sehingga petani kedelai akan terus beralih menjadi petani jagung, dan
selanjutnya apakah kebijakan peniadaan bea masuk kedelai bukan kebijakan yang
bertentangan dengan usaha merangsang petani menanam kedelai? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar