“Requiem”
untuk Tempe
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
KOMPAS,
30 Juli 2012
Di tengah perubahan iklim
dunia yang menyebabkan terjadinya kekeringan di sejumlah negara dunia, ancaman
yang segera terasa adalah kebutuhan pangan seperti yang dialami Indonesia
ketika kebutuhan impor kedelai meningkat karena menurunnya pasokan dari Amerika
Serikat. Kekeringan karena perubahan suhu global menyebabkan pasokan kedelai
tertahan.
Perubahan iklim global
memang tak bisa diabaikan begitu saja. Perlu upaya kerja sama internasional
untuk menanggulangi perubahan iklim yang bisa mengganggu kehidupan manusia.
Perubahan iklim ini sama dahsyatnya dengan bencana alam ataupun bencana buatan
manusia, seperti perang.
Ketika pasokan kedelai
menurun, terjadi peningkatan harga tahu dan tempe, dan rakyat kebanyakan pun
panik. Tahu dan tempe untuk negara seperti Indonesia menjadi makanan pokok dan
tersedia secara murah di mana-mana. Tahu sendiri menjadi makanan terkenal di
kalangan bangsa Asia walaupun tak menjadi menu utama seperti di Indonesia.
Para ilmuwan cuaca
memperkirakan, meningkatnya pemanasan global pada akhir abad ke-20 lalu harus
dicermati secara serius. Disebutkan, jika berbagai faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan iklim tetap tak berubah dalam satu dekade ke depan,
diperkirakan hasil pertanian dunia untuk beras, jagung, dan kedelai akan
menurun sampai 30-40 persen.
Tekanan Pangan
Prediksi Malthusisme
(mengikuti tulisan Thomas Malthus tahun 1798 dalam bukunya An Essay on the Principle of Population) bahwa pertumbuhan penduduk
tanpa henti akan melampaui produksi pangan dan kelaparan akan terjadi di
seluruh dunia. Kondisi ini datang dan pergi bersamaan dengan meningkatnya
kemampuan petani dunia untuk menggelar teknologi baru guna meningkatkan produksi
pangan.
Kemajuan teknologi
sebenarnya mampu memproduksi cukup makanan bagi setiap orang di planet bumi
ini. Namun, kenyataan bahwa masih ada satu miliar lebih orang yang tetap
kelaparan patut diduga ada kesalahan pada sistem distribusi pangan dunia. Karena
permintaan terus tumbuh bersamaan dengan laju demografi populasi dunia, sistem
produksi juga harus ditingkatkan.
Populasi dunia akan
berkembang menjadi sembilan miliar jiwa pada 2050, dan sebagian besar
pertambahan ini akan terjadi di China, India, serta negara-negara yang standar
hidupnya meningkat pesat. Kenyataan ini juga menyebabkan produksi pangan global
perlu meningkat 70-100 persen.
Ini adalah tantangan besar
dan mengancam keamanan pangan dunia. Terbatasnya ketersediaan air dunia,
ataupun meningkatnya kebutuhan bahan bakar hayati serta pola perubahan iklim
dunia, membuat tekanan terhadap persediaan dan distribusi produksi pangan juga
meningkat.
Krisis Pangan
Keamanan pangan
negara-negara Asia Timur dan Tenggara tidak hanya terkait tahu dan tempe, tetapi
juga beras yang menjadi menu pokok bangsa Asia. Merosotnya sistem keuangan
global pada 2008 memang telah menyeret turun harga panen produk pangan, tetapi
tetap berada pada tingkat harga yang tinggi dalam sejarah harga panen global.
Sementara tuntutan akan
pangan masih terjadi di mana-mana dan akan terus meningkat walau sistem
perekonomian dunia pulih kembali. Ketika terjadi krisis pangan tahun 2008,
penyebabnya adalah kekeringan dan gagal panen gandum di Rusia, yang memicu
naiknya harga gandum di pasar dunia dan kemudian memicu kerusuhan di Mozambik
karena kekurangan roti.
Selama ini memang belum
pernah terdengar adanya kerusuhan karena tempe atau tahu. Namun, anehnya, di
tengah krisis keamanan pangan ini, Indonesia lebih memilih mengundang Foxconn
membuat iPhone dan iPad ketimbang investasi pertanian menghasilkan gandum atau
jagung.
Ini dilema globalisasi yang
dihadapi para penguasa yang terlena kecemerlangan pertumbuhan ekonomi, tetapi
tak melihat kegelapan dan kemiskinan sebagai persoalan masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar