Senin, 30 Juli 2012

Mengubah Kultur Birokrasi

Mengubah Kultur Birokrasi
Eko Prasojo ; Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB)
JAWA POS, 30 Juli 2012


BIROKRASI dan politik kita, rasanya, tidak henti-hentinya dihebohkan kasus korupsi. Dua ranah ini baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelindan merupakan sumber dan wadah korupsi. Tidak hanya menyentuh birokrat biasa, tetapi juga para menteri. Banyak kasus korupsi klasik birokrasi yang melibatkan birokrat (sebagai pemegang otoritas kuasa pengguna anggaran) dan para politisi (pemilik kekuasaan untuk menentukan alokasi anggaran). Jika tidak berhati-hati, dapat saja para menteri yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman birokrasi serta tidak memiliki niat untuk korupsi menjadi korban. 

Mengapa berbagai reformasi birokrasi oleh pemerintah, tampaknya, tidak memberikan dampak bagi perubahan birokrasi yang bersih dan melayani? 

Masalah dasar dalam birokrasi yang korup pada umumnya menyangkut sistem dan budaya. Prosedur yang tidak jelas, tumpang tindih, kontradiksi satu sama lain, jelas akan menghidupkan corruption by system (korupsi karena dipaksa). Misalnya saja sistem rekrutmen dan promosi jabatan yang tertutup dan kolutif. Demikian pula sistem penggajian yang tidak berbasis kinerja, keadilan, dan kecukupan akan menghasilkan corruption by needs (korupsi karena terpaksa). Jika dua jenis korupsi ini terhubung dengan kepentingan politik, akan tercipta corruption by greedy (korupsi yang memaksa).

Untuk penyebab masalah budaya, umumnya terjadi pembiaran perilaku korup di birokrasi. Misal, pemalsuan dokumen perjalanan dinas diterima secara umum. Dana-dana taktis yang diperoleh dari berbagai sumber pungutan pelayanan publik juga dianggap biasa. Sering pelanggaran disiplin dan kode etik, juga pelanggaraan etika dan integritas, tidak diberi sanksi yang menjerakan. Ada semacam rasa sungkan atau rasa tidak enak menjatuhkan sanksi kepada bawahan. Akumulasi terhadap pembiaran perilaku koruptif ini lama-kelamaan mengakibatkannya menjadi budaya yang diterima. Apalagi sikap mental masyarakat juga membiarkannya.

Persoalan sistem dan budaya dalam birokrasi ini memang sangat kompleks. Maka, perubahannya pun harus bersifat resiprokal dan secara paralel. Sistem yang baik dan unggul akan mengurangi atau mencegah praktik budaya yang korup dan mempercepat pembentukan sistem yang paripurna. 

Kesulitan reformasi birokrasi adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sistem dan budaya secara bersamaan. Perubahan budaya tidak bisa dilakukan secara instan dan sering hasilnya bersifat intangible (tidak berwujud). Demikian pula perubahan sistem birokrasi sangat juga dipengaruhi oleh sistem politik, sistem penegakan hukum, dan budaya masyarakat. 

Inilah Strateginya 

Strategi akselerasi reformasi birokrasi difokuskan untuk menyelesaikan persoalan sistem dan budaya birokrasi. Memang tidak mudah. Struktur pemerintahan sudah sangat desentralistik, yakni praktik birokrasi di pemerintahan daerah sangat fragmented. Kesulitan mengubah birokrasi juga disebabkan kuatnya pengaruh politik. Pada sisi lainnya, sebagian agenda reformasi birokrasi bertujuan jangka panjang dan baru dirasakan 10 sampai 15 tahun. Juga ada yang bertujuan jangka pendek untuk memperoleh kepercayaana masyarakat yang secepat-cepatnya, bahwa birokrasi telah berubah. 

Karena itu, pendekatan reformasi birokrasi menggabungkan strategi pada level makro maupun mikro. Di tingkat makro reformasi sistem dan budaya dilakukan dengan perbaikan berbagai kerangka regulasi nasional, baik dalam bentuk UU maupun PP. Selain itu, secara makro juga dilakukan melalui pengembangan sistem yang terintegrasi dari berbagai macam subsistem dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 

Di tingkat mikro, reformasi birokrasi harus dilakukan oleh masing-masing kementerian/lembaga dan pemda. Bentuknya mulai dari perubahan mindset                                        dan culture set, perubahan sistem manajemen sumber daya aparatur, perubahan sistem akuntabilitas dan transparansi, hingga perubahan proses bisnis pelayanan.

Ada beberapa strategi yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemanfaatan TIK untuk membangun berbagai macam sistem dan menutup celah sistem yang memungkinkan terjadinya corruption by system. Misal, pemanfaatan TIK dalam layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik (LPSE) atau e-procurement, optimalisasi pelayanan publik berbasis IT dalam pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), pemanfaatan TIK dalam rekrutmen PNS melalui computer assisted test (CAT), dan manajemen sumber daya pemerintahan yang terintegrasi (integrated planning, budgeting, delivering, and reporting system). Aplikasi TIK dalam birokrasi diharapkan akan mengurangi interaksi dan transaksi perilaku menyimpang dalam birokrasi.

Strategi kedua adalah penguatan kontrol masyarakat terhadap birokrasi melalui participative governance. Kultur birokrasi akan berubah jika ada tekanan politik dari masyarakat dalam pelayanan, pemerintahan, dan pembangunan. Penguatan kontrol masyarakat dilakukan melalui pembentukan sistem pengaduan masyarakat, penetapan maklumat pelayanan, pengukuran indeks kepuasaan masyarakat dan keterbukaan informasi publik (public disclosure). Perangkat hukum yang tersedia, antara lain, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU 37/2007 tentang Ombudsman RI.

Strategi ketiga adalah pembentukan sistem sumber daya aparatur negara yang berbasis kompetensi dan terbuka. Perilaku korup dimulai dari proses rekrutmen hingga promosi jabatan. Upaya untuk mengubahnya, diciptakan sistem rekrutmen PNS yang terbuka, independen, dan profesional. Sistem promosi jabatan harus dilakukan secara terbuka dan memberikan kesempatan kepada setiap calon yang memenuhi syarat kompetensi jabatan untuk melamar. Bukan sekadar kepangkatan dan senioritas. Dalam konteks NKRI dan dalam rangka mengurangi kooptasi politik, sistem promosi jabatan kelak akan dibuka antarinstansi, baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dengan mempergunakan instrumen assessment centre.

Strategi keempat memperkuat akuntabilitas dan integritas aparatur negara melalui konsep zona integritas menuju wilayah birokrasi bersih dan melayani. Wujudnya melalui pelaporan harta kekayaan untuk semua aparat birokrasi, penegakan kode etik, penanganan konflik kepentingan, pembentukan whistleblower system, post-employment policy, serta penelusuran transaksi rekening yang tidak wajar. Banyaknya petugas pajak yang tertangkap akhir-akhir ini bisa pula dipandang positif hasil whistleblower di Kementerian Keuangan.

Untuk mendukung akuntabilitas dan integritas birokrat, perubahan sistem penggajian yang adil, layak, dan berbasis kinerja juga merupakan kunci perubahan kultur dalam birokrasi. Strategi ini gabungan antara perubahan sistem dan perubahan budaya secara bersama-sama. Tidak ada jalan pintas dalam reformasi birokrasi, tetapi berbagai strategi ini diharapkan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar