Fauzy
yang Berijazah vs Jokowi yang Autodidak
M Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO,
30 Juli 2012
Menurut Agus Darmawan, kekalahan Fauzi dari Jokowi
bukan kekalahan kepercayaan, yang di dalamnya menyangkut kapabilitas,
integritas,dan moralitas. Alasannya, Fauzi orang yang paling tahu tentang
Jakarta dan paling bisa membenahi Jakarta.
Dia ahli tata kota dan
memiliki ijazah luar negeri. Selebihnya dia sukses menunjukkan integritas luar
biasa dalam pembangunan Jakarta lewat fakta bahwa dia sudah tiga puluh tahun
jungkir balik membenahi Jakarta.Dia juga tergolong gubernur bersih. Birokrasi
pemerintahan DKI tidak korup. Sementara Jokowi, sarjana kehutanan, hanya
mengenal Solo, dan dalam urusan menata kota dianggap autodidak (Kompas, Rabu,
25 Juli 2012).
Tulisan Agus berangkat dari kekaguman anak remaja—biarpun dia bukan remaja lagi— pada orang yang lebih dewasa. Jika hal ini keliru, setidaknya semangatnya terasa sebagai orang berkampanye. Ungkapannya tentang Fauzi—yang dikagumi atau dikampanyekannya— tampak “serbasuperlatif”. Penggunaan kata “paling” dan “luar biasa” dalam analisisnya menjelaskan kekaguman atau semangat kampanye itu.
Tetapi, argumen pendukungnya tak cukup meyakinkan. Penilaian bahwa Fauzi sukses menunjukkan integritas luar biasa, ternyata penjelasan Agus hanya menyatakan: “tiga puluh tahun” jungkir balik membenahi Jakarta. Tiga puluh tahun itu rentang waktu, bukan ukuran sukses. Selama menjadi wakil Bang Yos—Pak Setyoso—dia praktis tenggelam di balik bayangan bosnya. Perannya tak terasa. Suaranya tak terdengar. Boleh dikata, selama masa itu, “adanya” sama dengan “tidak adanya” karena publik tahu di Balai Kota itu hanya sang bos yang dikenal orang.
Ungkapan Serbasuperlatif
Dalam hal “lamanya waktu” ini orang bergurau: Onta sudah beribu-ribu tahun di Mekkah dan Madinah, tapi tak seekor pun yang menjadi haji. Ini menggambarkan secara telak bahwa waktu sering bukan ukuran apa-apa. Lima tahun belakangan ini Fauzi menjadi gubernur, tapi hampir tidak “bunyi” sama sekali. Tak ada perkara besar, dan strategis di DKI, yang dia sentuh secara meyakinkan. Pernyataan-pernyataannya di media tak menggambarkan jiwa pemimpin yang sedang “take the lead” dalam arti sebenarnya.
Birokrasi DKI tidak korup? Saya mendengar keluhan orang-orang perguruan tinggi yang berbeda-beda tentang resek-nya menangani “proyek” di DKI. Sejak 1980-an, para penerima proyek mengeluh karena dana yang diterima secara riil, jauh lebih kecil dari aslinya, tapi di kuitansi tanda tangannya harus tetap “full”. Wagub Prijanto memaparkan dengan jelas korupsi di jajaran birokrasi kantornya. Ini kritik tajam pada atasannya. Maka, agak sulit saya mempercayai ungkapan “serbasuperlatif” yang dibuat Agus Darmawan.
Orang Berijazah vs Orang Autodidak
Banyak profesi yang secara telak melecehkan ijazah resmi. Di bidang media, orang lebih mempersolkan apa yang bisa dikerjakan seseorang daripada “mengagumi” selembar kertas yang bernama ijazah. Sarjana dengan ijazahnya dianggap sepi jika tak disertai kompetensi teknis memadai. Sejak dulu terbukti,wartawan lulusan sekolah resmi “publisistik” tidak lebih baik dari mereka yang autodidak.
Dalam banyak kasus orang-orang autodidak bahkan jauh lebih hebat. Sastrawan lulusan Fakultas Sastra sering hanya terampil menganalisis anatomi suatu karya sastra, tapi tidak unggul dalam menulis puisi, novel, film atau esai, dan karya sastra lainnya. Orang-orang autodidak lebih unggul di bidang ini. Diplomat lulusan “angkasa luar” sekalipun, di negeri kita, siapa yang mengalahkan Pak Agus Salim yang legendaris itu?
Para ustad lulusan resmi sekolah agama, yang ahli berteori tentang dakwah,ada yang bisa menjadi dai memesona, melebihi kualitas Buya Hamka, yang tidak sekolah, tapi dihormati dan diakui sebagai profesor? Apa gunanya ijazah, selain di kalangan birokrasi pemerintah? DKI itu memang juga pemerintah. Tapi, gubernurnya dituntut bukan oleh keharusan memiliki ijazah, melainkan lebih oleh kompetensi teknis dan “leadership”, yang tak ada sekolahnya, dan dengan sendirinya juga tak ada ijazahnya.
Di sini apa perlunya ijazah, selain sekadar untuk didokumentasikan oleh bagian kepegawaian? Untuk apa Agus Darmawan melebih-lebihkan arti ijazah dan kelewat mengunggulkan Fauzi semata karena ia berijazah, sambil memandang sebelah mata Jokowi, yang dianggap autodidak dalam perkara tata kota? Supaya tak terlalu jauh salah paham, patut dicatat dulu bahwa gubernur tak diminta menata kota secara fisik.
Hal itu cukup diserahkan pada otoritas lebih rendah, dan yang mengurus perkara lebih teknis. Bang Yos itu mungkin tak pernah menyimpan ijazah apa pun karena “the art of leadership” sebagai kompetensi yang dimilikinya, tak diperoleh dari suatu jenis sekolahan tertentu. Sekolahnya di alam. Dia orang autodidak.
Sama dengan Jokowi, bukan? Bang Yos yang sekolah di alam sukses memimpin DKI, dan bawahannya, yang kemudian menjadi gubernur, dengan ijazah luar negeri itu, mana bukti suksesnya menata kota? Apa yang ada di DKI saat ini semua hasil peninggalan Bang Ali dan Bang Yos. Lima tahun berlalu, apa hasilnya? Dan apa korelasi antara ijazah, dengan prestasi? Mengapa di sini ijazah bungkam hampir seribu bahasa? Kita tak pernah lupa bahwa gubernur itu jabatan politik. Ijazah ada gunanya untuk membanggakan diri jika diperlukan.
Tapi, tuntutan utama dalam jabatan politik bukan kemampuan teknis di suatu bidang, melainkan kemampuan menyeluruh, dalam bidang “leadership” yang tak ada sekolahannya, seperti sudah disebut di atas tadi. Jokowi memang hanya wali kota, hanya tahu Solo (?) dan autodidak dalam urusan tata kota. Tapi, kemenangan telaknya dalam putaran pertama ini menyatakan banyak hal. Orang sudah merasa jenuh melihat orang yang begitu-begitu saja. Karena itu, muncul dambaan akan suatu perubahan mendasar di DKI.
Rakyat tidak buta. Setelah terkecoh beberapa kali, memilih hanya orang rapi dan sopan, yang kerjanya tidak rapi dan tidak sopan kepada rakyat, sekarang muncul kesadaran: memilih orang yang memiliki kompetensi. Orang Solo atau orang Jakarta, tak penting. Orangnya punya ijazah apa autodidak, bukan faktor penentu. DKI butuh gubernur yang bekerja, gubernur sungguhan, yang mengabdi warganya, dengan hati dan tulus, bukan dengan ijazah. ●
Tulisan Agus berangkat dari kekaguman anak remaja—biarpun dia bukan remaja lagi— pada orang yang lebih dewasa. Jika hal ini keliru, setidaknya semangatnya terasa sebagai orang berkampanye. Ungkapannya tentang Fauzi—yang dikagumi atau dikampanyekannya— tampak “serbasuperlatif”. Penggunaan kata “paling” dan “luar biasa” dalam analisisnya menjelaskan kekaguman atau semangat kampanye itu.
Tetapi, argumen pendukungnya tak cukup meyakinkan. Penilaian bahwa Fauzi sukses menunjukkan integritas luar biasa, ternyata penjelasan Agus hanya menyatakan: “tiga puluh tahun” jungkir balik membenahi Jakarta. Tiga puluh tahun itu rentang waktu, bukan ukuran sukses. Selama menjadi wakil Bang Yos—Pak Setyoso—dia praktis tenggelam di balik bayangan bosnya. Perannya tak terasa. Suaranya tak terdengar. Boleh dikata, selama masa itu, “adanya” sama dengan “tidak adanya” karena publik tahu di Balai Kota itu hanya sang bos yang dikenal orang.
Ungkapan Serbasuperlatif
Dalam hal “lamanya waktu” ini orang bergurau: Onta sudah beribu-ribu tahun di Mekkah dan Madinah, tapi tak seekor pun yang menjadi haji. Ini menggambarkan secara telak bahwa waktu sering bukan ukuran apa-apa. Lima tahun belakangan ini Fauzi menjadi gubernur, tapi hampir tidak “bunyi” sama sekali. Tak ada perkara besar, dan strategis di DKI, yang dia sentuh secara meyakinkan. Pernyataan-pernyataannya di media tak menggambarkan jiwa pemimpin yang sedang “take the lead” dalam arti sebenarnya.
Birokrasi DKI tidak korup? Saya mendengar keluhan orang-orang perguruan tinggi yang berbeda-beda tentang resek-nya menangani “proyek” di DKI. Sejak 1980-an, para penerima proyek mengeluh karena dana yang diterima secara riil, jauh lebih kecil dari aslinya, tapi di kuitansi tanda tangannya harus tetap “full”. Wagub Prijanto memaparkan dengan jelas korupsi di jajaran birokrasi kantornya. Ini kritik tajam pada atasannya. Maka, agak sulit saya mempercayai ungkapan “serbasuperlatif” yang dibuat Agus Darmawan.
Orang Berijazah vs Orang Autodidak
Banyak profesi yang secara telak melecehkan ijazah resmi. Di bidang media, orang lebih mempersolkan apa yang bisa dikerjakan seseorang daripada “mengagumi” selembar kertas yang bernama ijazah. Sarjana dengan ijazahnya dianggap sepi jika tak disertai kompetensi teknis memadai. Sejak dulu terbukti,wartawan lulusan sekolah resmi “publisistik” tidak lebih baik dari mereka yang autodidak.
Dalam banyak kasus orang-orang autodidak bahkan jauh lebih hebat. Sastrawan lulusan Fakultas Sastra sering hanya terampil menganalisis anatomi suatu karya sastra, tapi tidak unggul dalam menulis puisi, novel, film atau esai, dan karya sastra lainnya. Orang-orang autodidak lebih unggul di bidang ini. Diplomat lulusan “angkasa luar” sekalipun, di negeri kita, siapa yang mengalahkan Pak Agus Salim yang legendaris itu?
Para ustad lulusan resmi sekolah agama, yang ahli berteori tentang dakwah,ada yang bisa menjadi dai memesona, melebihi kualitas Buya Hamka, yang tidak sekolah, tapi dihormati dan diakui sebagai profesor? Apa gunanya ijazah, selain di kalangan birokrasi pemerintah? DKI itu memang juga pemerintah. Tapi, gubernurnya dituntut bukan oleh keharusan memiliki ijazah, melainkan lebih oleh kompetensi teknis dan “leadership”, yang tak ada sekolahnya, dan dengan sendirinya juga tak ada ijazahnya.
Di sini apa perlunya ijazah, selain sekadar untuk didokumentasikan oleh bagian kepegawaian? Untuk apa Agus Darmawan melebih-lebihkan arti ijazah dan kelewat mengunggulkan Fauzi semata karena ia berijazah, sambil memandang sebelah mata Jokowi, yang dianggap autodidak dalam perkara tata kota? Supaya tak terlalu jauh salah paham, patut dicatat dulu bahwa gubernur tak diminta menata kota secara fisik.
Hal itu cukup diserahkan pada otoritas lebih rendah, dan yang mengurus perkara lebih teknis. Bang Yos itu mungkin tak pernah menyimpan ijazah apa pun karena “the art of leadership” sebagai kompetensi yang dimilikinya, tak diperoleh dari suatu jenis sekolahan tertentu. Sekolahnya di alam. Dia orang autodidak.
Sama dengan Jokowi, bukan? Bang Yos yang sekolah di alam sukses memimpin DKI, dan bawahannya, yang kemudian menjadi gubernur, dengan ijazah luar negeri itu, mana bukti suksesnya menata kota? Apa yang ada di DKI saat ini semua hasil peninggalan Bang Ali dan Bang Yos. Lima tahun berlalu, apa hasilnya? Dan apa korelasi antara ijazah, dengan prestasi? Mengapa di sini ijazah bungkam hampir seribu bahasa? Kita tak pernah lupa bahwa gubernur itu jabatan politik. Ijazah ada gunanya untuk membanggakan diri jika diperlukan.
Tapi, tuntutan utama dalam jabatan politik bukan kemampuan teknis di suatu bidang, melainkan kemampuan menyeluruh, dalam bidang “leadership” yang tak ada sekolahannya, seperti sudah disebut di atas tadi. Jokowi memang hanya wali kota, hanya tahu Solo (?) dan autodidak dalam urusan tata kota. Tapi, kemenangan telaknya dalam putaran pertama ini menyatakan banyak hal. Orang sudah merasa jenuh melihat orang yang begitu-begitu saja. Karena itu, muncul dambaan akan suatu perubahan mendasar di DKI.
Rakyat tidak buta. Setelah terkecoh beberapa kali, memilih hanya orang rapi dan sopan, yang kerjanya tidak rapi dan tidak sopan kepada rakyat, sekarang muncul kesadaran: memilih orang yang memiliki kompetensi. Orang Solo atau orang Jakarta, tak penting. Orangnya punya ijazah apa autodidak, bukan faktor penentu. DKI butuh gubernur yang bekerja, gubernur sungguhan, yang mengabdi warganya, dengan hati dan tulus, bukan dengan ijazah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar