Tender
Pupuk dan Keterbukaan Informasi
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (Aepi); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
(2010-2014); Penulis Buku Ironi Negeri Beras
KORAN
TEMPO, 30 Juli 2012
Negeri ini memiliki banyak ritual
tahunan. Ironisnya, ritual tahunan itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.
Salah satunya adalah masalah pupuk anorganik bersubsidi. Kalau tidak langka,
harga pupuk bersubsidi melambung tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET),
atau diselewengkan, baik diekspor ke luar negeri maupun dialirkan ke pihak lain
yang tidak berhak menerima subsidi. Kini, sepertinya ritual tahunan tersebut
menular ke subsidi pupuk organik (dekomposer dan pupuk hayati).
Seperti diberitakan sejumlah
media, termasuk koran ini, dalam tender bantuan langsung pupuk (BLP) organik
tahun 2012 yang tengah dilakukan Kementerian Pertanian diduga ada permainan.
Bahkan, tender pupuk senilai Rp 400 miliar yang terbagi atas empat paket itu
terindikasi ada korupsi. Salah satu indikasinya, tender paket C (pupuk hayati
cair) untuk wilayah Jawa senilai Rp 81 miliar dimenangi PT Daya Merry Persada.
PT Daya Merry Persada pernah dipakai terpidana kasus Wisma Atlet, Muhammad
Nazaruddin, untuk memenangkan salah satu proyeknya di Universitas Sriwijaya, Palembang,
Sumatera Selatan.
Benar-tidaknya ada korupsi dalam
tender saat ini belum bisa dipastikan. Semua baru dugaan. Dugaan itu pula yang
ramai ditulis di media. Sebagai penjaga kepentingan publik, media selalu
menjadi anjing penjaga (watch dog) terhadap berbagai penyelewengan di
negeri ini, termasuk korupsi. Apalagi tender subsidi pupuk organik ini
menyangkut hajat hidup orang banyak: para petani padi. Dengan menjadi anjing
penjaga, diharapkan panitia tender lebih berhati-hati dan transparan. Setitik pun
noda memberi peluang media untuk mengendusnya. Di sisi lain, pemberitaan soal
dugaan adanya korupsi itu seharusnya mendorong penegak hukum, terutama Komisi
Pemberantasan Korupsi, segera bertindak.
Kesigapan penegak hukum ini
penting. Sebab, pemberitaan itu telah memberi efek psikologis yang besar. Salah
satunya, tertunda-tundanya tender subsidi pupuk. Indikasinya, penetapan
pemenang tender paket A (dekomposer padat) untuk wilayah Jawa senilai Rp 250
miliar--seperti diumumkan dalam laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik
Kementerian Pertanian (www.lpse.deptan.go.id, diakses pada 28 Juli
2012)--ditunda hingga 13 kali tanpa alasan yang jelas. Akankah tender pupuk
tahun ini gagal?
Keterbukaan informasi merupakan
kunci dalam pengadaan barang/jasa, termasuk proses tender. Dengan informasi
yang terbuka, publik dan peserta tender bisa bersaing adil dan sehat. Peluang
dan potensi korupsi dalam tender bisa dicegah. Keterbukaan informasi dalam
tender merupakan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008.
Pejabat Pembuat Komitmen wajib memberi informasi ihwal pengadaan barang/jasa
yang ada dalam kewenangannya kepada publik yang memerlukan. Sebab, proses dan
hasil pengadaan atau tender tidak termasuk informasi yang dikecualikan.
Menurut UU Nomor 14/2008 dan
Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, publik bisa
mendapatkan hasil data evaluasi. Misalnya, mengapa perusahaan A kalah dan
mengapa B yang menang? Hasil tender juga wajib diumumkan di kementerian/lembaga
dan papan pengumuman resmi. Bila publik atau peserta tender menilai ada
kecurangan, bisa melapor ke Inspektorat Pengawas Internal Pemerintah atau ke
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Lembaga ini akan
memberi rekomendasi terkait dengan keputusan atau hasil tender. LKPP tidak
berwenang menjatuhkan sanksi. Di luar itu, panitia tender bisa proaktif
menghadirkan KPK di setiap tahapan pengadaan barang/jasa: lelang, tender, dan
pelaksanaan. Langkah-langkah di atas dipandang penting. Sebab, jika sampai
tender tertunda-tunda hingga subsidi pupuk organik gagal disalurkan, ada hak
yang dilanggar: hak petani untuk mendapat subsidi.
Bagi Kementerian Pertanian,
apabila penyaluran subsidi pupuk organik gagal, itu menjadi ancaman komitmen go organic. Komitmen go organic dicanangkan karena disadari bahwa
kualitas tanahnya, terutama sawah, telah mengalami degradasi akut. Ini ditandai
oleh respons tanaman terhadap pemupukan yang terus melandai (leveling off).
Meskipun takaran pupuk diperbesar, tingkat produktivitasnya tidak sebanding
dengan penambahan input pupuk. Dalam bahasa ekonomi ini
dikenal dengan the law of
diminishing return. Ini terjadi karena tanah sudah jenuh dan keletihan (soil
fatigue), bahkan sakit (sick soil).
Menurut Balai Besar Litbang
Sumber Daya Lahan Pertanian, sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta
hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik
< 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan
4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan
kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang
sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki
kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat kritis (Simarmata,
2012). Untuk mendongkrak produktivitas, kesuburan lahan harus dipulihkan.
Kondisi inilah yang, antara lain,
mendorong Kementerian Pertanian menggulirkan program Pemulihan Kesuburan Lahan
Sawah Berkelanjutan (PKLSB). Program ini dimulai pada 2010 dengan besaran
subsidi pupuk organik Rp 300 miliar. Hasil evaluasi oleh Balai Besar Litbang
Pertanian pada 2011 di delapan provinsi pada 30 titik sampel menunjukkan,
terdapat perbaikan signifikan pada sifat biologis tanah. Termasuk kenaikan
kandungan C-organik dan nilai tukar kation. Kenaikan itu tidak berbeda nyata
dengan sebelum aplikasi. Ini bisa dipahami karena aplikasi kompos jerami dan
pupuk hayati baru sekali dilakukan. Padahal, secara teoretis, kesehatan dan kesuburan
tanah baru pulih setelah enam musim tanam berturut-turut (Simarmata, 2012).
Karena itu, keberlanjutan program ini menjadi penting. Jangan sampai kegagalan
pelaksanaan tahun 2011 terulang pada tahun ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar