Senin, 02 Juli 2012

Sekolah, Kita, Indonesia

Sekolah, Kita, Indonesia
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
KORAN TEMPO, 01 Juli 2012


Orang-orang kita lahir dari sekolah, tampil mengusung ide-ide modern, memainkan peran sebagai lokomotif dalam pergerakan kemerdekaan.

Orang-orang besar bisa lahir dari sejarah bersekolah. Institusi pendidikan ini membentuk, menyulut, dan mengantarkan orang melakukan ziarah intelektual untuk menggapai cita. Sekolah mirip titian berkah: menjadikan orang sumringah menata hidup dan mengangankan nasib. Sejarah sekolah pun terseret dalam biografi diri, dikenang dan dipuja sebagai almamater, disimpan dalam deretan peristiwa-peristiwa terpenting dalam hidup. Orang mau sekolah, orang mau mengubah nasib.

Bagaimana sekolah turut mendefinisikan kita dan Indonesia? Lembaran-lembaran sejarah sekolah tampak lengket, jarang tersentuh dan terbacakan, mendekam dalam ruang sempit dengan bisikan-bisikan tak terdengar. Sekolah sebagai sistem, struktur, ideologi, dan nilai merupakan “pemberian” Eropa. Sekolah adalah agen pembaratan ditilik dari sejarah misi dan kolonialisme. Mampir dan menyebar di penjuru Nusantara, membentuk pola pendefinisian dengan menjauh dari akar kultural-lokal dan mengeja diri dalam mata-epistemologis Barat.

Sartono Kartodirdjo (1987) menyebut sejarah kita dalam sejarah sekolah pada masa kolonial adalah bentuk detradisionalisasi. Sekolah model Barat pada awal abad XX di Hindia Belanda melahirkan kaum elite dengan risiko tak terelakkan, kondisi dilematis untuk mengafirmasi “kemadjoean” atau terikat dengan sumber tradisi-lokal. Kaum elite terserap dalam pendidikan dan keprofesian ala Barat, mengalami pelunturan atas penghayatan tradisi. Risiko dalam bingkai kultural Jawa adalah elite kehilangan asosiasi kesusastraan dan kesarjanaan tradisional sebagai basis memartabatkan diri.

Pembaratan

Jejak sejarah sekolah masih belum terang. Konon, sekolah dalam format Barat sudah ada di Ternate pada 1536. Sekolah-sekolah di Indonesia bagian timur dibentuk pada abad XVII, Sumatera dan Jawa pada abad XIX. Pamrih pendirian sekolah itu bergantung pada situasi lokal dan pencapaian misi. Para pemula identik dengan afiliasi politik dan agama. Proyek peradaban ini seolah ingin meninggikan derajat kaum pribumi dengan afirmasi atas agama-agama samawi dan keberimanan atas nalar Barat. Klasifikasi sekolah muncul untuk pembedaan atas pemberlakuan sistem dan identitas murid.

Risiko sekolah tampak di Koto Gadang (Sumatera) pada permulaan abad XX. Kultur pertanian, peternakan, atau kerajinan digantikan dengan pengenalan profesi amtenar, juru tulis, jaksa, guru, atau mantri. Sekolah ala Barat berterima di Koto Gadang sebagai titian mengusung perubahan. Afirmasi ini membuat Koto Gadang merupakan gudang para tokoh intelektual. Mereka lahir dari rahim sekolah modern. Mereka adalah Agus Salim, Sjahrir, Abdul Muis, dan Rohana Kudus. Azizah Etek, Mursjid A.M., dan Arfan B.R. dalam Koto Gadang Masa Kolonial (2007) menjelaskan bahwa Koto Gadang kuat memegang-merawat adat sekaligus merupakan daerah awal penerima pengaruh Barat. Perubahan dilangsungkan, kemodernan diserap, dan adat bergerak dalam dilema.

Risiko sekolah juga dialami oleh murid-murid di Jawa. Sekolah-sekolah umum di Jawa didirikan pada 1849. Sekolah lanjutan untuk jadi guru didirikan di Solo pada 1852. Jawa pun jadi pusat pergolakan untuk mengusik tradisi dan menebar godaan Barat. Koentjaraningrat (1984) dalam olahan pelbagai sumber penelitian dari sarjana asing menyebutkan bahwa kultur agraris, lokalitas, tradisi klasik memudar oleh gairah mendefinisikan diri atas nama modernitas, perubahan dalam takdir zaman. Jawa menjadi “negeri sekolah” karena mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indonesia pada 1901 memiliki 1.021 sekolah negeri dan pada 1907 memiliki 122 sekolah desa. Mayoritas sekolah-sekolah itu ada di Jawa dengan murid dari pelbagai daerah. Sekolah di Jawa menjelma jadi kawah candradimuka untuk perubahan nasib dan proyek identitas dalam tarikan tradisi, agama, nasionalisme, atau globalisasi. Sekolah dalam orbit kolonial seolah mendominasi ketimbang gerakan “sekolah-sekolah liar” dengan ikon Taman Siswa. Resistensi pembaratan dilakukan kendati dihantui kekalahan.

Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas (2007) justru mengungkapkan bahwa anak laki-laki priayi didikan di sekolah Eropa khusus atau sekolah Belanda pribumi bakal berdiri di tengah pusaran kultural: diterjang surutnya arus pengaruh Barat dan pasangnya arus tradisi Jawa. Simpulan metaforik juga diungkapkan oleh M.A.M. Renes-Boldingh dalam novel Adat, kisah mengenai geliat perubahan di Batak. Pengarang asal Belanda ini mengungkapkan: “Kaum muda berpendidikan Barat menempati sebuah semenandjung kecil... mencabut dan sekaligus menabur kecemasan.” Mereka mengalami kontradiksi diri: mengikat diri dengan tradisi (adat) atau melenggang girang dengan gagasan-gagasan Barat. Sekolah adalah jalan ke Barat, jalan meninggalkan rumah-kultural di bumi sendiri.

Tokoh

Sejarah sekolah dalam biografi para tokoh bakal menginformasikan tentang imajinasi perubahan, angan mengubah nasib, dan keajaiban zaman. Mereka sekolah untuk meraup berkah. Mohammad Hatta memilih melanjutkan sekolah ke Jawa agar bisa bergerak di bisnis-ekonomi. Sutan Sjahrir memilih sekolah ke AMS di Bandung, sekolah termahal dengan kualitas eksklusif. Sjahrir pun kelak moncer: menjelma sebagai ikon keintelektualan di Indonesia. Mereka mau merantau dari tanah kelahiran, merasai hidup di Jawa sebagai murid, mengubah nasib melalui sekolah.

Sultan Hamengku Buwono IX pada waktu bocah bersekolah di HBS Semarang, jauh dari keluarga di Keraton Yogyakarta. Hidup dalam keluarga dan kultur Barat, menyerap kemodernan, serta fasih dalam bahasa Belanda untuk menunjang pelajaran. Sekolah membentuk dan mengubah Hamengku Buwono IX menjelma jadi manusia modern kendati tak melepaskan akar-akar tradisi dalam laku politik dan kultural. Sartono Kartodirdjo memerlukan melanjutkan sekolah ke HIS di Solo, hijrah dari Wonogiri untuk meluaskan pengetahuan dan pergaulan. Mereka tumbuh dan besar dipengaruhi oleh sekolah pada masa kolonialisme. Pendefinisian diri dan Indonesia bergerak dari kisah-kisah sekolah.

Tbangsaan, dan menabur ilmu dalam lini sastra, ekonomi, politik, sejarah, bahasa, hukum, atau teknik. Kita mewarisi sejarah mereka, meneruskan mekanisme membentuk diri dalam ideologisasi sekolah. Institusi modern ini, dari zaman ke zaman, terus terbayangi oleh model pembaratan. Berkah dan petaka menyeruak hari ini, sekolah-sekolah masuk dalam persaingan sengit untuk melabeli diri bertaraf internasional, standardisasi memusat ke Barat dijadikan ukuran kualitatif dan pamor. Sejarah kita dan sejarah Indonesia seolah akumulasi dari pasrah dan gairah menjadi Barat. Sekolah mengubah dan mendefinisikan kita. Sekolah adalah sumber gagasan untuk mengonstruksi dan menggerakkan Indonesia. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar