Senin, 02 Juli 2012

Dilema Bhayangkara Negara

Dilema Bhayangkara Negara
Irjen Budi Gunawan ; Kapolda Bali
MEDIA INDONESIA, 30 Juni 2012


SUDAH banyak cercaan yang di tujukan kepada institusi kami, mulai dari yang sedikit seram sampai yang sangat seram, caci maki, sumpah serapah, seakan kami tidak ada gunanya....“

Ucapan tersebut seakan ungkapan yang merayap keluar dari insan kepolisian, tetapi tak hendak menggapai uluran tangan. Curahan perasaan yang tertuang di situs Kompasiana itu memang sekadar senandung lirih, tak berharap bergema jadi warta, tak mengharap ada pintu yang terketuk oleh desahan tersebut.
Ia sadar akan batas--sebagaimana ditulisnya seakan kami polisi selalu salah--tak akan ada yang mau mendengar dan peduli.

Tentu tak seutuhnya benar jika tak ada yang peduli dengan rintihan tersebut. Namun, juga tak sepenuhnya keliru jika harapan akan empati seolah pupus di tengah berbagai deraan cerca yang datang terus-menerus. Selama polisi masih dibutuhkan masyarakat, itu pertanda masih banyak yang peduli.

Sebuah stigma kerap lahir dari cermin yang buram sehingga orang tak dapat memandang dengan jernih. Polisi lalu lintas selalu dilabel dengan istilah prit jigo bahwa polantas selalu menjebak pengendara yang salah masuk rambu larangan. Pada saat kami mau menilang, selalu dirayu dengan mohon kebijaksanaan. Kalau yang punya beking, mereka mengeluarkan kartu nama atau menelepon kerabat. Padahal kami telah bertugas dari pagi buta. Orang kerap menggeneralisasi penyimpangan dan dari situlah sebuah stigma bermula.

Memang tak mudah menjadi polisi. Berbagai dilema selalu mewarnai tugas kepolisian. Oleh karena itulah para pakar kepolisian, seperti Herman Goldstein dan David Bayley, selalu mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan peran polisi karena begitu rumit. Suatu kerumitan yang tidak direncanakan, tetapi tercipta dan hadir dengan sendirinya.

Bagi polisi, menjalankan kompleksitas peran yang diemban memang tak mudah. Selain rumit, tugas polisi dipenuhi kontradiksi. Sebagai contoh, ketika mengawal demo, di satu sisi polisi harus menghormati hak para pendemo. Di sisi lain, polisi harus menjaga ketertiban dan melindungi hak serta keselamatan masyarakat lainnya. Hal yang tak kalah penting, polisi harus melindungi keselamatan dirinya sendiri.

Namun ironisnya, setiap a anarkisme yang terjadi dari ekspresi demo tersebut, polisilah yang selalu dituding sebagai pemantik. Itulah dilema polisi. Pada akhirnya, semua pihak memang harus belajar memahami kompleksitas tugas dan tanggung jawab kepolisian. Kurangnya pemahaman hanya akan mereduksi kompleksitas tersebut dan membuat orang bersikap sinis kepada polisi.

Ada sebuah contoh lain dari seorang kriminolog ternama, George Kirkham. Menurut profesor pada Florida State University tersebut, polisi ialah kumpulan manusia biasa yang luar biasa. Kesimpulan Kirkham tersebut tidak datang begitu saja, tetapi melalui sebuah pengalaman fenomenal. Sebelumnya, pandangan Kirkham terhadap kepolisian tak kurang sinis. Namun, perubahan drastis terjadi ketika ia memutuskan untuk menjadi polisi dalam arti sebenarnya. Pengalaman langsung terjun sebagai polisi di jalanan Jaksonville yang keras membuat Kirkham melihat dan merasakan pengorbanan luar biasa aparat kepolisian.

Langkah Kirkham memang fenomenal dan dapat menjadi inspirasi, sekaligus kritik bagi kita yang gemar memandang sinis kepolisian. Karena tak puas sebagai ilmuwan yang hanya menarik kesimpulan dari sebuah perspektif, ia mengambil cuti sebagai dosen lalu mendaftarkan diri di akademi kepolisian dan diterima. Sebagai polisi biasa, ia ditempatkan pada kawasan yang terkenal rawan. Kirkham berubah dan menyadari betapa berat pengabdian kepolisian.

Dengan latar belakang sebagai intelektual, semula sikapnya sangat akomodatif dalam penanganan kejahatan. Namun, perjalanan waktu dan situasi yang dihadapi mengajarkan sikap lunak dan akomodatif justru akan membahayakan dirinya dan rekan kerjanya. Belakangan sikap Kirkham berubah, menjadi keras dan mudah curiga terhadap setiap orang yang memiliki karakteristik penjahat.

Jika dikaji lebih jauh, perubahan sikap yang dialami Kirkham mencerminkan situasi dan kondisi yang juga dihadapi anggota kepolisian.

Selama ini teori kriminologi hanya mengedepankan pendekatan sosiologis dan yuridis dalam mengkaji berbagai perilaku penyimpangan oknum kepolisian. Akibatnya masyarakat sulit untuk memahami mengapa misconduct atau malapraktik kepolisian bisa terjadi. Secara sosiologis dan yuridis, polisi merupakan penegak hukum yang seharusnya tunduk dan patuh hukum.

Pemahaman terhadap tugas polisi dengan kacamata sosiologis dan yuridis saja akan menyudutkan aparat. Berdasarkan pengalaman Kirkham, pendekatan ekologis seharusnya digunakan untuk memahami penyebab terjadinya malapraktik kepolisian.

Dengan pendekatan ekologis, kita dapat memahami bagaimana tajamnya pengaruh lingkungan terhadap performa anggota kepolisian. Tugas sehari-hari yang selalu akrab dengan dunia kejahatan dan penjahat-sebagaimana juga dialami Kirkham-akan menyebabkan perilaku aparat berubah keras dan mewaspadai semua orang.

Dampak negatif lingkungan itulah yang kerap luput dari pengamatan. Setidaknya ada tiga pengaruh ekologis terhadap sikap aparat kepolisian. Pertama, sikap reaktif terhadap lingkungan yang keras dan berbahaya. Hal itu menyebabkan sikap polisi menjadi kurang lembut dan bersahabat. Kedua, sikap adaptif terhadap lingkungan kejahatan dan para penjahat itu sendiri. Konteks adaptif di sini ialah terinfeksi atau tertular oleh perilaku para kriminalis tersebut. Tak mengherankan jika tak sedikit aparat yang menjadi pemakai narkoba atau melakukan misconduct lainnya.

Ketiga, sikap apatis terhadap lingkungan yang selalu sarat dengan cerca. Jika berbuat baik pun tetap dicerca hanya karena stigma yang telah telanjur melekat, tentu akan timbul demoralisasi.

Ketiga pengaruh ekologis itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan karakter tersebut, sebagaimana juga dialami Kirkham.

Kita memiliki peluang untuk mengubah polisi sebagaimana yang kita inginkan jika memahami tugas polisi dan menggunakan pendekatan kritis yang tepat. Kritik terhadap kepoli sian memang diperlukan sebagai alat kontrol, tetapi sekali waktu masyarakat pun perlu mendengar kritik dari kepolisian.

Di Hari Bhayangkara ke-66 tentu tak perlu lagi terdengar ekspresi apatis dari polisi Indonesia. Pertama, karena pengabdian bhayangkara negara sejati tak mengenal batas. Selain itu, filosofi universal kepolisian ialah vigilat quiscant, yang bermakna polisi bekerja sepanjang waktu agar masyarakat dapat melakukan aktivitas dengan aman dan nyaman.

Kedua, mayoritas anggota masyarakat masih mau mendengar dan peduli akan nasib kepolisian. Masyarakat bahkan bangga memiliki kepolisian yang ingin menjadikan anggotanya sebagai `rastrasewakottama' abdi utama bangsa dan negara. Dirgahayu Polri!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar