Senin, 02 Juli 2012

Independensi Polri

Independensi Polri
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 01 Juli 2012


Seorang mahasiswa saya, Rama Santana (sengaja saya sebut namanya supaya otentik), dari Program Studi Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana UI, mengadakan studi tentang pelayanan polisi lalu lintas (polantas) untuk tesisnya.

Sebagai kasusnya dia meneliti bagaimana reaksi, proses, dan prosedur dari polantas ketika terjadi kecelakaan kendaraan Avanza yang dikemudikan Saipul Jamil (Ipul) di jalan tol Cipularang, 3 September 2011, yang menewaskan istrinya,Virginia Anggraeni. Seperti kita ketahui,akibat kecelakaan tunggal itu, Ipul dijadikan tersangka dan diajukan ke pengadilan walaupun sebenarnya dia juga korban, kena musibah, sedang berduka.

Siapa sih yang ingin mencelakakan istri yang cantik, baru enam bulan dinikahi,dan sedang hamil? Tapi itulah hukum.Pada waktu penelitian itu dibuat, Ipul dituntut jaksa dengan hukuman penjara 6 tahun. Tapi itu bukan yang ingin saya bahas di sini.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dalam penelitiannya, mahasiswa Rama ternyata menemukan kesalahan pada pihak pengelola jalan, yaitu PT Jasa Marga, yang menyebabkan banyak kecelakaan di titik itu, yaitu tidak memasang garisgaris kejut yang memaksa pengemudi untuk mengurangi laju kendaraannya.

Data ini mendorong mahasiswa peneliti itu untuk menggali lebih jauh seperti apa pelayanan polantas dalam menangani kecelakaan lalu lintas (laka lantas) dan terbukalah bahwa memang sasaran polantas jika terjadi kecelakaan hanya terbatas pada pengemudi, padahal undang undang mengatur juga kemungkinan kesalahan pada pihak lain. Misalnya, truk yang terbalik gara-gara bannya sudah tipis dan meletus, maka pengusaha pemilik truk seharusnya dijerat juga dengan pasal-pasal pelanggaran UU Lalu Lintas.

 Tapi ini tidak pernah terjadi. Yang jadi sasaran tetap para pengemudi saja. Ketika oleh peneliti hal ini ditanyakan kepada para komandan yang bertanggung jawab di lapangan, jawabannya bermacam-macam, dari “tidak tahu”, “repot ngurusnya” sampai ke “terlalu banyak masalah politis”. Faktanya, sudah jadi rahasia umum bahwa polisi, sebagai institusi maupun sebagai oknum, mendapat berbagai fasilitas dari PT Jasa Marga atau PO (perusahaan otobus) untuk biaya operasional mereka.

Bagaimana mungkin jeruk makan mbahnya jeruk? Inilah masalah inti yang menyebabkan polisi sepertinya selalu mati langkah dalam menghadapi berbagai masalah di lapangan.Polri tidak pernah bisa independen dalam melaksanakan fungsinya seharihari di lapangan. Dalam kasus Lady Gaga, misalnya, polisi tidak berdaya untuk menghadang FPI yang berusaha menggagalkan show artis yang dianggap barat dan porno itu.

Padahal banyak kawan saya yang punya rekaman internet yang judulnya “Dangdut Gokil” (saya pernah melihatnya juga, hehehe), yang berisi dua penyanyi dangdut perempuan, diiringi organ tunggal, bernyanyi, bergoyang, sambil mengangkat kaus t-shirt dan menurunkan celana hot-pantsnya sehingga praktis dalam kondisi tabu (tanpa busana), sementara sejumlah laki-laki mengitari kedua penyanyi itu sambil meraba tubuh mereka dan menyelipkan uang saweran di mana saja yang kira-kira uang masih bisa terselip.

Melihat suasananya saya kira TKP-nya (tempat kejadian perkara) adalah daerah pinggiran kota atau perdesaan, tetapi saya tidak tahu persis di mana. Tapi yang jelas,polisi tidak ada di situ,apalagi FPI.

Saya pernah beberapa kali berurusan dengan polantas di luar negeri ketika saya menyewa mobil dan nyopir sendiri (bersama keluarga atau teman). Di Kota Edinburgh, Inggris, mobil saya pernah ditabrak pengendara sepeda motor mabuk. Seorang sopir taksi yang kebetulan melintas memberi tahu polisi lewat radio taksinya, para saksi mata berhenti menunggu, polisi datang, wawancara para saksi dan pelaku serta korban, catat-catat, dan jalan!

Kebetulan tidak ada kerusakan berat sehingga mobil bisa meluncur lagi.Waktu saya kembalikan mobil, petugas sewaan mobil tenang saja karena semua dibayar asuransi. Ketika saya jadi dosen tamu diUniversitasCornell,Amerika, kaca mobil yang saya sopiri kena batu yang meloncat dari truk di depan saya dan pecah.

Waktu saya kembalikan, petugas penyewaan mobil juga tenang saja, semua dibayar asuransi, tetapi saya diminta mengisi formulir laporan laka lantas karena dia mau menuntut ke Dinas Pekerjaan Umum, mengapa di jalanan bisa ada batu besar sampai bisa meretakkan kaca mobil. Di Kanada,saya pernah tertangkap karena mengemudi terlalu cepat. Oleh polisi ditilang dan dipersilakan membayar sebesar 80 dolar Kanada di kantor pos.

Karena segera pulang, saya tidak menggubris denda itu.Ternyata beberapa minggu kemudian datang surat peringatan dari Kanada (entah dari institusi mana) yang meminta saya membayar denda itu sampai pada batas tanggal tertentu.Surat itu dialamatkan ke rumah saya di Jakarta (data saya ada di formulir sewa-menyewa mobil). Saya khawatir juga kalau paspor saya dicekal dsb, maka saya minta kawan saya yang di Kanada untuk membayar denda itu lewat pos dan saya transfer uang itu dari Jakarta ke akun bank dia di Kanada.

Kesimpulan saya, di luar sana, hukum berjalan otomatis dan benar. Setiap orang, dari pengemudi, masyarakat yang lewat, petugas penyewaan mobil sampai polisi dan pemerintah tahu bagaimana aturannya (karena aturan-aturan itu mudah dan logis) dan masingmasing melaksanakan aturan dengan sebaik-baiknya.

Sementara itu di Indonesia, peraturan sudah banyak (bahkan mungkin terlalu banyak), tetapi pengaturannya yang masih terlalu sedikit,kalaupun ada justru tidak sesuai dengan peraturan.Salah satu pengatur itu adalah polisi. Jadi polisi belum mampu menegakkan aturan sebagaimana mestinya. Padahal UU No 2/2002 tentang Kepolisian Indonesia sudah mengatur semua hak dan wewenang Polri, termasuk diskresi kepolisian, yaitu tidak mengikuti hukum untuk kasuskasus tertentu.

Misalnya,polisi bisa menggunakan hak diskresinya untuk tidak melanjutkan perkara Ipul, misalnya dengan alasan bahwa Ipul sendiri pun korban dari kecelakaan ini. Tapi memang, polisi kemudian bisa saja menggunakan wewenang diskresinya untuk tidak menuntut PT Jasa Marga atau perusahaan otobus yang salah memberikan ban butut kepada sopirnya. Masalahnya kemudian melebar ke masalah etika.

Di mana etikanya sehingga polisi tega melanjutkan perkara Ipul, tetapi tidak mempermasalahkan kesalahan PT Jasa Marga? Nah, kalau sudah menyangkut masalah moral dan etika, kaitannya adalah dengan integritas kepribadian anggota dan institusi kepolisian itu sendiri. Anggota atau pimpinan Polri yang berintegritas tinggi bisa mengambil keputusan tegas dan berani mempertanggungjawabkannya, jauh dari sikap ragu-ragu atau membiarkan masalah berlarut-larut sehingga bisa menimbulkan permasalahan baru.

Jadi kesimpulannya, apakah pimpinan dan anggota Polri kurang berintegritas? Tidak juga. Penelitian Zimbardo, seorang psikolog Amerika kondang sejak tahun 1970-an sampai sekarang, membuktikan bahwa orang yang dikondisikan ke situasi tertentu akan bereaksi sesuai dengan situasi tersebut.

Mahasiswa (orang percobaannya) yang diberi peran narapidana dan dijebloskan ke rumah penjara akan berperilaku seperti narapidana sungguhan, sementara mahasiswa lain yang diberi peran sipir penjara akan otomatis bertindak seperti sipir yang galak,bahkan kejam terhadap narapidananya.

Demikian pula halnya dengan Polri. Selama terus disalah-salahkan dan dijadikan kambing hitam dari segala masalah yang ada di negeri ini (termasuk yang kesalahannya bersumber pada keteledoran para bos pembuat hukum, bukan oleh Polri), maka citra diri dan rasa percaya dirinya akan pupus juga akhirnya.

Karena itu kalau kita mau punya negara yang aman, tertib, dan teratur, mau tidak mau kita harus berdayakan Polri, kita bantu Polri agar berani menghadapi pihak-pihak yang ingin menggerogoti wewenangnya. Dirgahayu Polri!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar