Senin, 16 Juli 2012

RUU Perguruan Tinggi yang Problematik

RUU Perguruan Tinggi yang Problematik
Darmaningtyas ; Penulis Buku ‘Tirani Kapital dalam Pendidikan’
KORAN TEMPO, 16 Juli 2012


Dewan Perwakilan Rakyat RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) pada 13 Juli 2012 dalam suatu sidang yang singkat, sehingga para mahasiswa yang berencana melakukan aksi penolakan pun kecele: RUU PT itu telah disahkan ketika mahasiswa baru memasuki pintu gerbang DPR untuk menggelar demo penolakan. Info yang diterima sebelumnya adalah RUU PT akan disahkan setelah Jumatan, tapi ternyata sebelum Jumatan telah disahkan. Ini menunjukkan bahwa proses pengesahan RUU PT tersebut seperti main kucing-kucingan. 

Meskipun telah disahkan menjadi UU, resistansi terhadap keberadaan UU PT ini tetap tinggi. Bahkan resistansi itu semakin besar. Yang menarik adalah perkembangan kelompok yang menolak RUU PT. Sampai April 2012, kelompok yang menolak RUU PT itu hanya berasal dari mahasiswa dan aktivis yang dulu juga menolak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Tapi, setelah April, kelompok penolak itu bertambah, dari para civitas academica perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Menariknya lagi, dasar penolakan keduanya adalah pada kata “otonomi”. 

Kelompok pertama, yang sejak awal menolak RUU PT, menilai UU PT ini merupakan jelmaan baru dari UU BHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Kata “otonomi” yang ada dalam UU PT dipersepsikan akan menimbulkan komersialisasi pendidikan tinggi. Persepsi tersebut tidak salah karena didasari pengalaman satu dekade terakhir terhadap pelaksanaan PT BHMN. Anggapan itu cukup mendasar karena beberapa pasal dalam UU PT masih mengakomodasi pasal-pasal dalam UU BHP, hanya dengan perubahan kalimat, seperti pembentukan badan hukum (pendidikan tinggi), badan usaha, penerimaan mahasiswa baru dengan jalur lain di luar seleksi bersama, dan penerapan kontrak kerja dosen. Kelompok ini meyakini bahwa pengesahan RUU PT hanya melegitimasi praktek-praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini diperankan oleh PT BHMN. Dengan dalih otonomi kampus, PT BHMN memiliki kebebasan menerima mahasiswa melalui jalur mandiri yang mahal itu. 

Bagi kelompok kedua, setidaknya ini direpresentasikan oleh sejumlah akademisi dari Universitas Indonesia dan ITB, menolak keberadaan UU PT ini karena dinilai terlalu mengekang otonomi kampus. Bagi mereka, otonomi perguruan tinggi itu bersifat kodrati, melekat pada keberadaan perguruan tinggi itu sendiri. Artinya, sesuatu yang given, seperti hak asasi manusia. Sebagai hal yang sifatnya kodrati, negara (baca: pemerintah) tidak bisa melarang, tapi sebaliknya, justru harus mendorong, memfasilitasi, dan menjamin otonomi kampus. Otonomi tersebut mencakup otonomi akademik (kebebasan akademik) maupun non-akademik (anggaran, pengelolaan keuangan, staf, dll). 

Kelompok ini meyakini bahwa intervensi pemerintah yang terlalu jauh akan mengerdilkan keberadaan perguruan tinggi, yang mempunyai tugas mencari kebenaran. Mereka khawatir kebebasan akademik pun akan terancam, seperti pada masa Orde Baru dulu, bila negara terlalu mengintervensi. Dengan kata lain, kelompok kedua ini menolak UU PT justru karena otonomi dikebiri oleh pemerintah. Ini berbeda sekali dengan kelompok pertama, yang menolak UU PT justru karena menilai negara terlalu memberi kebebasan kepada PTN, terutama BHMN, sehingga PTN-PTN tersebut semakin sulit diakses oleh publik karena terlalu mahal. Jadi sama-sama menolak keberadaan UU PT dengan berpangkal pada kata “otonomi”, tapi dengan persepsi yang berbeda. Yang pertama, mempersepsikan otonomi sebagai bentuk komersialisasi dan itu didasarkan pada pengalaman; sedangkan yang kedua justru berjuang tentang pentingnya otonomi perguruan tinggi untuk kemajuan pendidikan tinggi itu sendiri.

Problematik

Pertanyaan yang selalu dikemukakan kepada penulis oleh para jurnalis adalah mengapa RUU/UU PT ini ditolak? UU PT ini sebetulnya jelmaan dari UU BHP yang telah dibatalkan oleh MK guna memberi payung hukum kepada PT BHMN yang selama ini hanya didasari peraturan pemerintah (PP) di masing-masing PTN. Payung hukum yang kuat itu semula didapatkan pada UU BHP. Tapi, karena UU BHP dibatalkan oleh MK, kembali pada PP di masing-masing PTN. Dan, melalui PP Nomor 66/2010, pemerintah mengamanatkan agar PT BHMN kembali menjadi PTN dengan masa transisi dua tahun, atau terakhir adalah 31 Desember 2012. 

Amanat untuk kembali ke PTN itu ternyata menimbulkan resistansi terhadap para pimpinan PT BHMN. Karena itu, mereka kemudian mendesak DPR segera membuatkan payung hukum baru sebelum masa transisi tersebut terlaksana. Maka, sejak akhir 2010, muncullah konsep RUU tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi, sebagai pengganti UU BHP, yang hanya mengatur masalah tata kelola. Tapi, pada perkembangannya, muncul perluasan konsep, RUU tersebut bukan hanya mengatur masalah tata kelola, tapi juga keseluruhan persoalan di perguruan tinggi. Maka kemudian nama RUU-nya pun berubah menjadi RUU tentang Perguruan Tinggi, dan selanjutnya berubah lagi menjadi RUU Pendidikan Tinggi. Ditargetkan, RUU tersebut dapat disahkan paling lambat pada Desember 2011. Tapi, karena berbagai kendala, hal itu ditunda. Bila kemudian RUU tersebut disahkan pada Juli 2012, ini tidak lain agar sah dan siap diimplementasikan sebelum akhir 2012. Dengan adanya UU PT yang baru ini, maka PT BHMN yang seharusnya balik menjadi PTN, tidak perlu terjadi. Mereka tetap berstatus sebagai PT BHMN. Bahkan PT BHMN yang saat ini telah kembali menjadi PTN, seperti ITB dan UI, dengan adanya UU PT ini, mereka diamanatkan kembali menjadi PT BHMN dengan masa transisi maksimal dua tahun.

Pengesahan RUU PT menjadi UU ini bagi publik sebetulnya menimbulkan problem. Pertama, pengesahan RUU PT menjadi UU baru tidak memberi perubahan kondisi yang lebih baik dari yang ada sekarang, kecuali melegitimasi praktek-praktek yang telah dijalankan oleh PT BHMN ataupun PTN-PTN umumnya yang sudah mulai mematok biaya masuk kuliah cukup tinggi dengan menerapkan sistem penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri. Keberadaan pasal yang mengatur bahwa PTN-PT BHMN wajib menerima sekurang-kurangnya 20 persen dari keluarga tidak mampu sesungguhnya makin memperkuat persepsi publik bahwa PT BHMN hanya untuk yang kaya. UU PT ini dapat bermakna bagi publik bila ada satu pasal saja yang dapat menjamin kepala SD/SMP dapat menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran dengan biaya yang terjangkau seperti pada masa lalu. Dengan kata lain, ada UU PT atau tidak, sama sekali tidak berdampak apa-apa terhadap masyarakat luas. 

Kedua, bagi PT BHMN sendiri, UU PT ini menjadi problematik ketika masalah penyusunan statuta saja harus mendapat pengesahan dari menteri. Di satu sisi, PT BHMN diberi kebebasan melalui otonomi yang luas, tapi di sisi lain otonomi mereka dikendalikan oleh menteri melalui PP atau peraturan menteri.

Ketiga, pengaturan mengenai tenaga dosen dan administrasi yang didasarkan pada sistem kontrak tidak akan menjamin kualitas PTN menjadi lebih baik, sebaliknya bisa menurun. Keterbatasan dana PT yang bersangkutan menyebabkan PT tersebut tidak mampu membayar gaji dosen secara profesional dan mampu menyekolahkan sampai tingkat doktor. Pengalaman para tenaga PT BHMN selama ini, mereka ternyata memperoleh gaji lebih rendah daripada gaji dosen PNS, dan kesempatan untuk bersekolah harus mereka cari sendiri dengan berburu beasiswa dari luar negeri. Jadi, baik gaji maupun imbalan lain yang diterima oleh para dosen PT BHMN sangat tidak menarik. Siapa yang akan tertarik menjadi dosen? 

Kondisi yang sama buruk dialami oleh perguruan tinggi swasta (PTS). Bagi PTS, ada atau tidak ada UU PT sama sekali tidak akan membuat perhatian pemerintah terhadap PTS meningkat. Yang terjadi sebaliknya, pemerintah justru menegerikan PTS-PTS yang sudah maju. Karena problematik, tidak terelakkan bila pengesahan RUU PT ini akan berakhir di Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar