Senin, 16 Juli 2012

Ketertutupan Pungutan di Arena Pendidikan

Ketertutupan Pungutan di Arena Pendidikan
Muhammad Safrodin ; Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 16 Juli 2012


IBU paruh baya, Musnada, 35, yang sehari-hari berjualan jamu gendong, pada Selasa, 26 Juli 2011, mendatangi Sekolah Dasar Negeri Kotakusuma, Sangkapura, Gresik, Jawa Timur. Tak lupa ia menjinjing sebuah kursi plastik warna biru yang ia beli secara kredit untuk disumbangkan ke sekolah.

Musnada tidak tahu-menahu bahwa sekolah tempat putranya, Andika Imam Taufik, 9, belajar, memungut uang Rp55 ribu guna pembelian kursi plastik. Keputusan itu konon sudah final dan disepakati antara wali murid dan sekolah. Kebetulan pada pertemuan yang membahas sumbangan sekolah, Musnada tidak bisa hadir karena harus berjualan jamu.

Menurut penuturan putranya, sekolah juga menarik iuran sebesar Rp324.000 yang Musnada tidak mengetahui peruntukannya. Awalnya ia takut saat dipanggil ke sekolah. Ia takut jika dimintai uang yang tak akan sanggup ia bayar. Akhirnya, setelah didampingi LSM Gerbang Bawean, Musnada memberanikan diri ke sekolah. Di sekolah ia memohon keringanan biaya. Tampaknya negosiasi itu tak membuahkan hasil. Sekolah hanya menyarankan Musnada, yang merupakan orangtua tunggal, membuat surat keterangan tidak mampu dari desa setempat. Tak lupa Musnada menyerahkan Rp200 ribu untuk mencicil sumbangan sekolah yang ia peroleh dari para dermawan.

Miris memang. Musnada hanya rakyat kecil yang bisa makan dalam sehari saja sudah untung. Meski demikian, sebagai orangtua, ia tak rela anaknya bodoh lantaran tak sekolah. Dengan cara apa pun ia bertekad menyekolahkan anaknya, kalau perlu sampai ke perguruan tinggi.

Orang seperti ia pasti akan bahagia saat melihat tayangan televisi yang mengabarkan bahwa sekolah sudah digratiskan. Musnada dan ribuan orang kecil seperti dirinya pasti juga lega karena mengira kaum seperti mereka bisa menyekolahkan anak tanpa harus memikirkan biaya.

Namun, ternyata kabar yang didengarnya dari stasiun televisi salah. Bayangan bahwa anaknya kelak menjadi orang pintar sirna sudah. Sebab, ternyata sekolah tak lebih dari lintah darat. Sekolah selalu memungut biaya-biaya yang kadang tak dipahami para orangtua untuk apa sebenarnya uang yang mereka setorkan. Musyawarah yang diadakan pihak sekolah hanya formalitas. Pasalnya, dalam musyawarah tidak ada tawar-menawar atau negosiasi, melainkan langsung ketok palu.

Kita tahu apa yang menimpa Musnada hanya fenomena puncak gunung es. Masih ada ribuan kasus serupa yang tak pernah mencuat ke publik. Oleh masyarakat, pungutan sekolah sudah dianggap sebagai kewajaran. Para orangtua pun, lantaran tingkat pendidikannya rata-rata rendah, sering kali manut mengikuti apa saja kebijakan sekolah.

Gertak Sambal

Praktik pungutan liar (pungli) di sekolah saat penerimaan siswa baru (PSB) dan tahun ajaran baru tampaknya sulit dihi langkan. Kendati pemerintah tegas melarang sekolah menarik iuran bagi siswa di sekolah penerima dana bantuan operasional sekolah (BOS), pungli tetap terjadi. Biasanya pungli mengatasnamakan bantuan `sukarela' (tetapi memaksa) untuk pembangunan sekolah, pembelian seragam, lembar kerja siswa (LKS), subsidi, dan lain-lain.

Menurut ketentuan Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud), bantuan dari masyarakat sifatnya sukarela, tidak mengikat, dan jumlah tidak boleh ditetapkan. Waktu pelaksanaannya pun bisa kapan saja, tidak harus menunggu momentum tahun ajaran baru (fleksibel). Pendek kata, tidak ada kewajiban bagi orangtua menyetor uang dalam jumlah tertentu, apalagi dengan tujuan agar anaknya lolos seleksi PSB.

Setiap tahun menjelang tahun ajaran baru, tak lupa Kemendikbud mengeluarkan surat edaran yang melarang sekolah menarik iuran dari orangtua. Tidak sekali-dua kali Kemendikbud ataupun dinas pendidikan daerah berjanji akan menindak tegas sekolah yang melanggar saat ada pengaduan dari masyarakat soal praktik pungli. Hasilnya? Nihil. Pungli tetap marak, bahkan dinas pendidikan daerah atau kepala daerah yang diamanati mengawasi aturan itu terkesan menutup-nutupi. Komitmen pemerintah untuk menghapus pungli di sekolah tak lebih dari gertak sambal.

Sangat disayangkan jika sampai detik ini praktik pungli saat PSB masih marak. Tampaknya pemerintah kurang tegas mener tibkan aksi tersebut. Biasa nya, jika enggan membayar, calon siswa tidak diterima meski nilai ujiannya bagus.

Selain membebani para orangtua, pungli juga menyalahi aturan. Sekolah, dengan begitu, berubah menjadi ajang komersialisasi atau memupuk keuntungan. Padahal, pemerintah sudah berjanji akan menggratiskan biaya pendidikan melalui dana BOS. Lantas ke mana jargon pemerintah yang katanya `sekolah sudah gratis' itu, jika untuk masuk SD saja harus menyetor ratusan hingga jutaan rupiah?

Sialnya lagi, banyak sekolah yang menarik uang seragam yang kelewat mahal. Tidak hanya pada kisaran ratusan ribu, melainkan hingga jutaan rupiah. Padahal, para orang tua masih harus mem beli keperluan lain seperti buku, tas, dan sepatu. Tidak mengherankan jika setiap tahun ajaran baru, banyak orangtua yang kelimpungan mencari pinjaman uang.

Salah Paham

Sejak awal, kata `gratis' dimaknai beragam oleh masyarakat. Ada yang memahami bahwa bersekolah tak perlu keluar uang sepeser pun. Hal demikian tentu disambut sangat antusias oleh masyarakat.

Mereka mengira untuk bersekolah, siswa tak perlu bayar apa pun karena segala biaya sudah ditanggung.

Namun, gratis yang dimaksud ialah bebas biaya SPP, uang masuk, dan biaya operasional sekolah. Adapun untuk uang seragam, buku, alat tulis, uang saku, tetap harus ditanggung orangtua. Pemahaman yang berbeda tersebut bisa jadi karena sosialisasi kebijakan BOS dan 13 poin cakupan kegiatan yang dibiayai dengan dana itu tidak disampaikan kepada orangtua dan masyarakat secara terbuka.

Kita menduga sekolah gratis lebih berbau politis ketimbang komitmen pemerintah membenahi pendidikan dalam negeri. Pemerintah getol memasang iklan sekolah gratis di berbagai media supaya dianggap pendidikan kita membaik. Hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pembodohan publik dan mengumbar dusta.

Pungutan tinggi juga dikeluhkan para orangtua yang hendak menyekolahkan anak di sekolah bertaraf internasional. Kendati terus dikritik, sekolah-sekolah tersebut bergeming. Mereka terus saja mematok harga yang hanya mampu dijangkau kalangan berduit. Padahal, orangtua dengan kemampuan ekonomi pas-pasan harus gigit jari dan bermimpi bisa menyekolahkan anak di sana.

Laporan keuangan di sekolah bertaraf internasional perihal iuran orangtua juga tidak disampaikan secara transparan. Orangtua tidak diberi tahu secara detail peruntukan uang yang mereka bayarkan. Itulah yang selama ini dirisaukan banyak pihak. Bisa jadi ada semacam praktik korupsi terselubung terkait dana tersebut. Ada dugaan biaya tersebut sebagian disetor ke dinas pendidikan daerah setempat dan untuk melobi anggota dewan daerah agar diberi bantuan dana.

Dunia pendidikan kita memang dilematis. Di satu sisi, pendidikan berkualitas membutuhkan perangkat belajar yang memadai seperti sarana internet, laboratorium, perpustakaan, dan guru yang profesional. Semua itu bisa dicapai jika didukung dengan anggaran besar.

Di sisi lain, anggaran dari pemerintah untuk biaya operasional sekolah sangatlah kecil. Ujung-ujungnya para orangtua dikenai pungutan yang terkadang tak sanggup mereka bayar.

Kita berharap pemerintah lebih tegas menghapus aksi pungli di sekolah-sekolah. Biar bagaimanapun, pungli ibarat penyakit yang harus dienyahkan. Pemberian sanksi bagi sekolah yang melanggar jangan hanya retorika. Para orangtua semestinya ikut berperan. Mereka bisa melaporkan kepada dinas terkait jika mengetahui ada pungli di sekolah agar ditindaklanjuti. Semoga ke depan tidak ada lagi pembiaran seperti saat ini. Andai uang negara tak banyak yang dicuri (dikorupsi), tentu kita optimistis kelak sekolah bisa benar-benar gratis sehingga orangtua tak perlu lagi pusing memikirkan biaya pendidikan anaknya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar