Selasa, 17 Juli 2012

Lembaga Survei Merangkap Konsultan Politik


Lembaga Survei Merangkap Konsultan Politik
Tjipta Lesmana ; Dosen Metode Penelitian Sosial UPH
SINAR HARAPAN, 16 Juli 2012


Tidak lama setelah quick count beberapa lembaga survei selesai pada 11 Juli petang, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi menggelar jumpa pers di “markas” mereka. Tidak banyak pernyataan yang diberikan kepada media. Tapi, satu kalimat sempat keluar dari mulut petahana, Fauzi Bowo (Foke), “Kenapa kita kalah?”

Dari perspektif komunikasi politik, kalimat singkat ini mengandung makna sangat dalam. Pertama, Foke-Nara sungguh kaget setelah mengetahui perolehan suara mereka di bawah perolehan suara pasangan Jokowi-Basuki yang diusung PDIP-Gerindra.
Kedua, “Kenapa kita kalah?” juga berarti teriakan tidak percaya; sekali lagi, tidak percaya! melihat angka-angka yang disajikan di layar televisi.

Teriakan ini sebenarnya lebih ditujukan kepada pemimpin sejumlah lembaga survei yang selama ini secara konsisten menempatkan pasangan Foke-Nara jauh sekali mengungguli semua kontestan lain, termasuk pasangan Jokowi-Basuki. Seolah Foke menggugat, “Anda semua selama berminggu-minggu mengatakan kami unggul dan unggul, tapi kenyataan kami kalah. Mengapa?”

Ketiga, kalimat singkat Foke juga mengandung makna bahwa selama ini pasangan yang diusung Demokrat itu sangat yakin mereka akan menang, bahkan menang dalam satu putaran! Apa sebenarnya yang terjadi pada Pilkada Gubernur Jakarta 11 Juli lalu? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita cermati lagi angka-angka tiga lembaga survei “terkemuka” yang menunjukkan prediksi mereka dan hasil hitung cepat yang mereka lakukan.

Mengenai prediksi perolehan suara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, ketiga lembaga survei mempunyai satu persamaan: semua memberikan 43-49 persen kepada petahana dan hanya 14-16 persen kepada Jokowi-Ahok.

Tapi, kenyataannya, menurut hasil quick count, Foke-Nara hanya memperoleh 33 persen plus dan Jokowi-Ahok 43 persen plus. Jokowi mampu mengungguli petahana sekitar 9 persen. Kesalahan perhitungan 25 persen lebih antara prediksi dan perhitungan riil tidak bisa dianggap enteng, atau sekadar membela diri “situasi anomali”. Prediksi yang meleset jauh harus diakui dapat mencoreng kredibilitas lembaga survei kita.

Memang banyak pihak yang sudah lama meragukan kredibilitas lemnbaga survei kita. Ada faktor XYZ yang menyebabkan hasil survei mereka meleset jauh. Faktor utamanya: kecurigaan bahwa survei dilakukan karena pesanan pihak tertentu. Karena memperoleh dana dari pihak yang meminta survei, dengan sendirinya survei itu diarahkan ke titik yang diinginkan penyandang dana.

Maka, saya sering mengatakan kepada publik, soal hasil polling atau survei sekadar untuk “diketahui” saja; jangan ditelan bulat-bulat dalam hati!

Baru 1,5 bulan yang lalu tiba-tiba sejumlah lembaga survei hampir berbarengan mengeluarkan hasil survei mereka tentang siapa calon terkuat presiden Indonesia untuk pemilihan presiden 2014. Inilah hasilnya.

Lembaga survei X mengatakan Megawati Soekarnoputri calon terkuat dan Aburizal Bakrie hanya peringkat ketiga. Lembaga survei Y merilis hasil surveinya: Prabowo Subianto berada pada peringkat teratas, Megawati ke-3. Lembaga survei Z: Aburizal Bakrie calon terkuat, disusul oleh Megawati. Aneh, kan? Ya, orang awam menjawab kenapa hasil survei berbeda jauh? Yang mana yang mendekati kebenaran?

Menurut saya, perbedaan jauh ini tidak usah dipandang aneh. Kebenaran hasil survei dan polling sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Misalnya, bagaimana Anda menjaring responden, bagaimana penyebaran responden, kapan survei dilakukan.

Jika dilakukan beberapa hari setelah ribuan massa Sidoarjo “menyerbu” Jakarta menuntut Ical bertanggung jawab atas korban lumpur panas Sidoarjo, tentu saja nama Ical babak belur dalam survei itu.

Bagaimana pertanyaan disusun (wording)? Urutan-urutan pertanyaannya bagaimana? Apakah dalam survei tentang Prabowo juga ditanyakan soal kerusuhan Mei 1998? Apakah ada pertanyaan bahwa Prabowo harus bertanggung jawab tentang kerusuhan Mei 1998? Tapi jika pertanyaan ini ditujukan kepada responden yang berusia 18-25 tahun, mereka tentu tidak tahu apa itu kerusuhan Mei 1998.

Bagaimana pula responden ditanya? Apakah mereka sedang jalan terburu-buru di depan mal, duduk santai, atau sedang buruk mood-nya? Tentu semua ini menentukan “kualitas” jawaban responden. Jika Anda bertanya lewat telepon, apa ada jaminan responden menjawab secara serius atau “waras”? Atau ia sedang menonton televisi atau bermesraan dengan pacarnya di dalam kamar sehingga ia menjawab asal globlek?

Begitu banyak faktor yang memengaruhi hasil survei sehingga hasilnya pun bisa berbeda-beda. Multifaktor inilah yang dengan gampang “dimainkan” lembaga survei, entah sengaja atau tidak disengaja.

Anda masih ingat hasil survei sebuah lembaga menjelang pemilihan umum 2009? Gerindra dikatakan akan memperoleh sekitar 26 persen suara, padahal perolehan suara Gerindra jauh di bawah 10 persen! Celakanya, Prabowo Subianto selaku pemimpin tertinggi “telanjur” menggelar pesta di sebuah hotel super mewah di Kuningan sebagai manifestasi kegembiraan karena diprediksi dapat meraih suara lebih dari 25 persen.
Kalau saja keberadaan lembaga survei harus pakai izin, izin lembaga survei ini mungkin perlu dicabut, sebab hasil kerja mereka amat menyesatkan publik.

Kembali ke masalah “kagetnya” Fauzi Bowo melihat suaranya disalib jauh oleh Jokowi, saya yakin tidak ada satu pun lembaga survei yang menanyakan pendapat responden tentang kinerja pemerintahan petahana.

Tanya dong bagaimana pendapat responden tentang pemerintahan Foke. Berikan daftar permasalahannya, seperti kemacetan, banjir, asongan, parkir, portal, keamanan, dan lain-lain. Hampir dipastikan yang jelek-jelek tentang pemerintah daerah DKI sekarang tidak ditanyakan, atau disembunyikan dari responden.

Sebaliknya, responden ditanya: menurut Anda, mana calon paling populer? Tentu saja, Foke sebagai gubernur paling populer, sebab dirinya setiap hari, setiap jam, hadir di publik. Gubernur berpidato, meresmikan proyek, hadir di suatu acara, semua pasti dipublikasikan/disiarkan kepada publik sehingga wajah sosok yang satu ini sangat dikenal masyarakat Jakarta, termasuk anak-anak SD sekali pun.

Wording pertanyaan yang kerap direkayasa sedemikian rupa demi keuntungan satu pihak juga karena posisi pemimpin lembaga survei yang kerap sekaligus sebagai konsultan politik. Konsultan politik inilah yang kerap menempatkan lembaga survei dalam posisi ambivalen.

Di satu sisi lembaga survei harus betul-betul independen dan bekerja di bawah kaidah-kaidah ilmiah (khususnya metodologi). Tapi di sisi lain, konsultan politik mencari fulus sebesar-besarnya.

Konsultan politik harus memberikan advise sekaligus strategi untuk memenangkan pertarungan politik. Salah satu strategi untuk itu tidak lain adalah memainkan opini publik; terus-menerus mempropagandakan jagonya di posisi teratas. Harapannya, dengan propaganda seperti itu, publik “termakan” dan percaya kandidat X memang paling layak memimpin kota atau kabupaten kita.

Tapi, konsultan politik lupa kebenaran pada akhirnya tidak bisa dimanipulasi. Rakyat pada akhirnya bisa membedakan antara yang jelek dan yang bagus. Manipulasi untuk sementara dan untuk kelompok tertentu bisa berhasil, kata Abraham Lincoln; namun untuk jangka panjang, no way!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar