Polisi
Independen, Mungkinkah?
Bambang
Widodo Umar ; Pengamat
Kepolisian
KOMPAS, 03 Juli 2012
Selama 66 tahun citra Polri terus berubah.
Namun, gambaran sebagai aparat penjamin kekuasaan kolonial yang
dikonfrontasikan dengan rakyat ternyata hingga kini masih aktual.
Reformasi Polri yang telah berjalan 13 tahun
tampaknya belum berdampak signifikan terhadap lembaga, terutama dalam hal
kemandirian menjalankan tugas. Struktur kokoh ketatanegaraan sebagai negara
organik (integralistik) adalah salah satu penyebab sulitnya independensi polisi
dalam menjalankan tugas, apalagi kontrol eksternal tidak dilembagakan.
Hasil jajak pendapat Kompas (1 Juli 2010)
terhadap 814 responden di 33 provinsi menunjukkan bahwa polisi belum mampu
bersikap independen dalam menjalankan tugas (67,6 persen terhadap pejabat
negara; 67,2 persen terhadap aparat penegak hukum; 63,8 persen terhadap warga
masyarakat). Bahkan, dari beberapa peristiwa, tampak kecenderungan Polri yang
masih terseret kepentingan politik.
Kasus ”VCD Banjarnegara” pada Pemilu 2004
adalah contoh dugaan keterlibatan Polri dalam politik praktis. Seorang kapolwil
dengan terang-terangan mengumpulkan purnawirawan polisi dan mengarahkan agar
memilih calon presiden tertentu.
Demikian pula kasus perseteruan Kapolri
Jenderal (Pol) Bimantoro dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Upaya Presiden Gus
Dur menerobos aturan dengan meminta persetujuan DPR untuk mengangkat Komisaris
Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai pemangku Kapolri mendapat perlawanan dari
Jenderal (Pol) Bimantoro yang didukung DPR. Inilah salah satu dasar
melaksanakan sidang istimewa melengserkan Gus Dur dari jabatan Presiden RI.
Seharusnya fungsi kepolisian untuk mengontrol
perilaku masyarakat dalam menjaga moral kolektif, bukan untuk kepentingan
politik partai tertentu. Maka, cemoohan sering muncul ketika masyarakat
menuntut polisi agar bertindak adil, padahal kenyataannya terseret pada pihak
tertentu yang sembunyi-sembunyi memanfaatkan kekuasaannya.
Beban Berat
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Polri, yang merumuskan tugas polisi menjaga keamanan dalam negeri dengan
kepercayaan dan kekuasaan besar seperti diatur Pasal 15, 16, dan 18, bisa jadi
malah menjadi pendorong tindakan polisi untuk melanggar hukum. Dapat dikatakan,
tidak ada lembaga di luar Polri yang memiliki legitimasi untuk melanggar
privasi dan kebebasan warga negara.
Pasal 8 (1) undang-undang tersebut juga
menetapkan posisi Polri di bawah presiden tanpa pembatasan tegas. Posisi itu
sangat membuka peluang untuk menggunakan polisi sebagai alat kepentingan
politik presiden atau menjadi kekuatan dominan yang memonopoli penggunaan
kekerasan secara sah secara politis.
Pasal 11 (1) undang-undang yang sama mengatur
pengangkatan dan pemberhentian kepala Polri harus lewat persetujuan DPR. Hal
tersebut memberi peluang politisasi terhadap Polri dan mendorong Polri untuk
ikut-ikutan bermain politik praktis.
Dari aspek struktural, posisi Polri dalam
konteks kebijakan pemerintah dapat menjadi dilema bagi pengelola organisasi
Polri. Kesulitan muncul jika kondisi itu menjadi alasan memperlakukan polisi
yang seharusnya sebagai penegak hukum dan pengelola kamtibmas menjadi penjaga
stabilitas pembangunan.
Seringnya pemanggilan dari DPR terhadap Polri
atas penyelesaian kasus juga bisa mengganggu konsentrasi Polri dalam
menjalankan tugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Pemanggilan
itu sesungguhnya justru menurunkan kadar DPR yang seharusnya berorientasi pada
pemikiran strategis dalam membangun keamanan nasional.
Tanggung Jawab Menteri
Ketidakjelasan atau kemungkinan ada
penyimpangan dalam penanganan kasus yang dilakukan Polri seharusnya menjadi
tanggung jawab menteri atasan Kapolri. Sebab, sebenarnya Polri itu merupakan
lembaga teknis yang berada di bawah menteri.
Karena itu, jika kondisi keamanan di dalam
negeri tidak kondusif atau carut-marut, pembuat kebijakan keamanan itu yang
seharusnya dipanggil dulu. Dalam hal ini tentunya menteri sebagai pembantu
presiden, bukan lembaga pelaksana teknis (Polri).
Hal tersebut menunjukkan, antara lembaga
kepolisian dan lingkungan saling memengaruhi dengan pelbagai kebijakannya.
Dalam kondisi ini, kepolisian mengalami berbagai pengaruh besar di tengah
masyarakat yang dapat menyebabkan tindakan-tindakan polisi, baik individu
maupun institusi, melakukan pilihan rasional, bagaimana membangun kedekatan
dengan kelompok-kelompok politik tertentu untuk menjaga keamanan status ataupun
lembaganya.
Ini diuntungkan pula oleh posisinya sebagai
bagian dari penyelenggara pemerintahan, di mana Polri memiliki hubungan erat
dengan sumber dan simbol kekuasaan. Kondisi inilah yang menyebabkan
independensi polisi sulit diharapkan sehingga wajar jika ada kekhawatiran
polisi sebagai lembaga penegak hukum terseret pada kepentingan politik praktis.
Dari keberadaan polisi di tengah-tengah arus
kekuatan yang saling menarik, yaitu arus penguasa dan arus yang dikuasai, lewat
pilihan logis polisi tampaknya lebih berpihak kepada yang berkuasa secara
politis.
Di tengah Arus Kontradiksi
Berdiri di tengah-tengah arus kontradiksi
bagi Polri sebenarnya cukup membingungkan meskipun mereka selalu mengatakan
tidak ada masalah. Dilema yang merantai dirinya adalah manakala partai politik
menyusupkan kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi.
Yang terjadi selanjutnya adalah, fungsi
kepolisian sebagai penegak hukum menjadi kabur dan menjadi tidak lebih sebagai
alat kepentingan golongan politik tertentu yang akan merefleksikan
kebijakan-kebijakannya dalam perilaku polisi keseharian. Di sinilah kerawanan
Polri dalam konteks politik praktis.
Tuduhan yang ditujukan kepada Polri sebagai
alat pemerintah sesungguhnya merupakan kekecewaan masyarakat terhadap sistem
yang kurang memberi peluang bagi mereka untuk menyalurkan aspirasi lewat arus
komunikasi dua arah.
Adanya Kompolnas juga belum menunjukkan
fungsionalisasi sebagai lembaga kontrol eksternal. Masalah ini perlu dicermati
oleh para pemegang kebijakan karena kondisi sosial sekarang berada diambang
rawan. Bisa jadi kondisi struktur ketatanegaraan saat ini ada yang menyimpang
dari konsensus dan cita-cita bersama yang secara potensial bersifat labil.
Karena itu, untuk membangun Polri yang
independen perlu ada regulasi yang mengikat kebijakan penggunaan kekuatan Polri
(disertai sanksi) agar tidak diintervensi oleh kepentingan kelompok politik
tertentu.
Menghadapi kondisi struktur tersebut
sesungguhnya Polri memahami hal itu, tetapi pembenahan hanya bisa dilakukan
lewat konsensus dan cita-cita bersama. ●
saat parati penguasa atau orangnya penguasa terindikasi melanggar hukum ,saat itulah kita ingin polisi independent , kalau lah penguasa sebagai standar moral ,tauladan kita tidak akan risau polisi di bawah dia
BalasHapus