Selasa, 03 Juli 2012

Kesantunan dalam Politik

Kesantunan dalam Politik
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
KOMPAS, 03 Juli 2012


TMohammad Hilmi Faiq ”Bahaya Politik Santun” di Kompas, 26 Juni 2012, tak cukup sekali (..?).

Saya bahkan mengucapkan selamat via SMS kepada penulisnya dan berharap tulisan-tulisan yang mendorong orang untuk merenung secara mendalam tentang kondisi bangsa dan negara ini agar lebih sering muncul. Bukan untuk apa-apa, apalagi menghasut, tetapi semata-mata agar rakyat dibebaskan dari kultur abu-abu yang begitu sering menyesatkan.

Sebagai warga negara tua, saya sebenarnya tidak keberatan bangsa ini merayakan kultur santun dalam berpolitik, tetapi dengan tujuan mulia, seperti untuk menegakkan konstitusi secara berani, melaksanakan sumpah jabatan dengan sungguh-sungguh, berlaku jujur, dan tidak memberi ruang kepada sikap ”perseteruan” antara kata dan laku. Inilah kepribadian pemimpin sejati dengan karakter yang kokoh, tak terbelah. Tipe pemimpin model inilah yang amat diperlukan Indonesia menghadapi persaingan global yang dahsyat sekarang.

Kesantunan untuk Tujuan Mulia

Dalam dokumen Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 hasil penelitian dan kerja keras RM AB Kusuma (Penerbit Fakultas Hukum UI, 2009, edisi revisi), kita dapat mengikuti proses perdebatan panjang dan panas, tetapi santun, yang diperagakan para pendiri negara dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Mei-Juli 1945.

Dalam bacaan saya hanya seorang anggota saja yang pernah memukul meja saat terjadi perdebatan tentang dasar negara yang seperti menghadapi jalan buntu. Di antara pendiri negara yang berdebat ada Radjiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, AA Maramis, Agus Salim, Wachid Hasjim, Masjkoer, Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abdul Kahar Moezakkir, Soesanto Tirtoprodjo, PA Hoesein Djajadiningrat, Ahmad Sanoesi, Soekiman, Liem Koen Hian, PF Dahler, Oei Tjong Hauw, J Latuharhary, Otto Iskandardinata, Oei Tiang Tjoe, Ulfah Santosa, Parada Harahap, dan sederet nama besar lain.

Sidang-sidang itu terjadi saat Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang, beberapa minggu menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Seluruh energi pemimpin bangsa di saat kritikal itu tertuju pada momen kemerdekaan secepat-cepatnya. Sekalipun situasi politik sangat mencekam, kesantunan politik di antara mereka tetap terjaga. Argumen diadu dengan bebas, tegas, tetapi tetap dalam batas kesopanan orang Timur. Kultur berpura-pura tak dirasakan. Dengan kata lain, kesantunan dan kesopanan benar-benar untuk meraih tujuan besar: kemerdekaan bangsa. Atau menghalau kolonialisme dan imperialisme dan memenangkan nasionalisme!

Ya, itu rekaman sejarah masa dulu. Adapun politik santun yang disorot Bung Donny berlaku pada zaman yang lain sama sekali, saat kemerdekaan Indonesia sudah hampir berusia 67 tahun. Sebuah negara-bangsa telah berdiri melalui perjuangan panjang para idealis, bahkan jauh sebelum lahirnya BPUPK, saat idealisme kebangsaan masih mengawal perilaku politik.

Hari ini, semua telah berubah secara dramatis, jika bukan tragis. Susah kita menemukan sekarang idealisme seorang negarawan. Kesantunan politik tak jarang dipakai untuk menutup keculasan, kepalsuan, dan kegagalan. Pragmatisme konyol karena gila kekuasaan adalah fenomena telanjang yang dipertontonkan saban hari.

Megakorupsi dan kebohongan politik dengan mudah dapat dibaca melalui layar ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketika ada lembaga Amerika memasukkan Indonesia dalam kategori negara ”dalam bahaya”, politisi papan atas umumnya bersikap reaktif dan defensif, bukan introspektif dan mau berkaca diri. Seakan-akan negara ini masih berjalan di atas rel yang benar secara konstitusional.

Kaum pragmatis ini rupanya tidak peduli lagi apakah bangsa dan negara ini akan bertahan lama dengan kedaulatan penuh atau tidak. Bagi mereka, semua itu tidak penting. Pusat perhatian mereka tertuju kepada permainan asyik di ranah kekuasaan agar APBN/APBD dan BUMN tetap menjadi sapi perahan. Maka, Komisi Pemberantasan Korupsi—satu di antara institusi penegak hukum yang masih dihormati sekalipun belum efektif—sudah dicecar agar posisinya dikebiri bahkan dibubarkan.

Kita sudah kehilangan sesuatu yang sangat mendasar dalam kultur politik: hati nurani, akal sehat, dan rasa tanggung jawab. Jika perilaku kumuh yang sarat dusta ini mau ditutupi juga dengan sikap santun dan sopan, mari ikut kata Bung Karno, ”Berangkatlah ke neraka dengan kesantunan dan kesopananmu itu!”

Energi Nurani Harus Bangkit

Namun, sebagai bangsa dan negara yang ber-Pancasila, kita jangan sekali-kali menyerah pada tatanan dan perilaku politik amoral ini. Seluruh energi nurani dan stamina akal sehat yang masih dimiliki bangsa ini harus bangkit serentak untuk menyatakan ”tidak” kepada segala bentuk kultur hitam yang lagi berada di atas angin kekuasaan. Saya belum percaya bangsa ini sudah berada dalam posisi tak dapat ditolong lagi sebagaimana almarhum S Tasrif pernah menyatakan dalam ungkapan ”v” kepada situasi moral kita yang sudah sangat parah. Calon negarawan yang berpotensi pasti tidak kurang yang bisa ditampilkan dari sekitar 241 juta rakyat Indonesia. Roda sejarah harus bergerak untuk memberikan peluang kepada mereka mengembalikan kedaulatan bangsa.

Cobalah amati dengan cermat, siapa yang menguasai lahan pertambangan, perbankan, dan perkebunan kita jika bukan pihak asing bersama agen-agen domestiknya yang sedang melelang kedaulatan bangsa dan negara ini dengan harga murah. Mungkin tidak salah pengamatan sejarawan UGM, Dr Bambang Purwanto, yang kira-kira formula paradoksalnya berbunyi: ”Kolonialisme telah melahirkan nasionalisme, tetapi nasionalisme melahirkan kolonialisme dalam jubah baru”.

Tentu jangan hanya menyalahkan rezim sekarang, sebab malapetaka itu telah dimulai sejak 1967, saat Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya untuk investor asing, demi melawan inflasi yang parah saat itu. Rezim sekarang—di balik kesantunan politik—hanyalah memperparah situasi dan mungkin menikmati cengkeraman asing itu. Sangat tragis!

Terserahlah kepada bangsa ini, apakah drama buram ini mau dilanjutkan atau secara radikal kembali ke arah yang diperintahkan oleh konstitusi. Saya memilih jalan konstitusi, sebab inilah jalan lurus yang menjadi perjuangan para pendiri bangsa dan negara untuk kemerdekaan.

Agar kita tidak kehilangan perspektif dan untuk menyegarkan kembali ingatan kita tentang bahaya kolonialisme dan imperialisme dalam jubah barunya, mohon dibuka lagi pidato pembelaan Bung Hatta berjudul ”Indonesia Merdeka” di depan pengadilan Belanda di Den Haag tahun 1928 atau pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial di Bandung tahun 1930 dengan tajuk ”Indonesia Menggugat”. Keduanya adalah dokumen politik teramat penting bagi nasionalisme Indonesia dan untuk menjawab pertanyaan mengapa kita mesti merdeka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar