Rabu, 18 Juli 2012

Mengubah Paradigma Pengelolaan Perbatasan

Mengubah Paradigma Pengelolaan Perbatasan
M Lukman Hakim ; Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya Malang
SINDO, 18 Juli 2012


Konflik di laut China Selatan kini semakin meningkat intensitasnya. Kehadiran Amerika Serikat pascakegagalan ASEAN dan China dalam menyelesaikan kasus tersebut secara mandiri membuat situasi semakin buruk. 

Terlebih Pulau Atol Spratly yang diperebutkan enam negara, yakni China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, ditengarai kaya akan kandungan mineral, antara lain kandungan minyak bumi yang diperkirakan hingga 213 miliar barel. Intensitas ketegangan itu terlihat dari manuver kapal perang China dan Filipina di laut China Selatan yang mengundang keprihatinan tentang kemungkinan terjadinya provokasi yang dapat memancing konflik terbuka.

Meski dijadikan sebagai salah satu agenda penting dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN pekan lalu di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, persoalan ini tak kunjung dapat dituntaskan. Sebagai negara yang tidak terlibat secara langsung konflik tersebut, ada dua hal yang bisa dilakukan Pemerintah RI. Pertama, modal harmonisnya hubungan Indonesia dengan seluruh negara yang bertikai memungkinkan Indonesia bertindak sebagai mediator. Kedua, memetik pelajaran dari konflik laut China Selatan dengan cara segera mengubah paradigma pengelolaan perbatasan Indonesia dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan pembangunan.

Langkah kedua itu penting mengingat kekalahan Indonesia atas Malaysia pada perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada 2002 sesungguhnya lebih disebabkan pertimbangan efektivitas. Langkah konkret dan tindakan nyata di kawasan perbatasan sangat dibutuhkan untuk meneguhkan kedaulatan suatu kawasan dibandingkan pendekatan keamanan yang selama ini dikedepankan.

Paradigma Baru

Sebagai negara kepulauan, wilayah kontinen RI berbatasan langsung (darat) dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini (PNG), dan Timor Leste. Sementara kawasan perairan RI berbatasan dengan 10 negara. Sebagaimana konflik di laut China Selatan, Indonesia memiliki beragam masalah perbatasan yang hingga kini belum tuntas.Di perbatasan Indonesia- Malaysia misalnya terdapat 10 daerah yang masih menjadi sengketa. Sementara di daerah Wara Smoll (perbatasan Indonesia-PNG), wilayah NKRI itu kini dihuni, diolah,dan dimanfaatkan oleh warga PNG.

Indonesia dan Timor Leste juga belum sepenuhnya sepakat dengan garis batas darat untuk daerah Noel Besi, Manusasi, dan Dilumil/Memo yang saat ini sedang dibicarakan kembali dengan pelibatan masyarakat pemerintahan di Timor Barat. Sementara di perbatasan laut, Indonesia dan Thailand hingga kini juga belum mencapai kesepakatan tentang batas landas kontinen di antara kedua negara.

Persoalan perbatasan tersebut sedianya mendorong Pemerintah RI untuk terus merumuskan langkah serius dalam melindungi kedaulatan kawasannya. Keberadaan warga Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, yang selama ini menggunakan dua mata uang,yakni rupiah dan ringgit Malaysia, dalam melakukan aktivitas perekonomian sehari-hari tidak bisa disederhanakan sebatas persoalan peredaran mata uang.

Di dalamnya tersimpan beragam soal dari soal keamanan— di mana warga demikian mudah keluar masuk negeri jiran––hingga masalah sosialekonomi dalam bentuk pasokan kebutuhan warga di pulau yang berbatasan darat dan laut dengan Tawau tersebut (negara bagian Sabah),yang selama ini justru dipasok Malaysia.

Dalam situasi semacam ini, negara kerap dipersonifikasikan “absen” dalam menjamin kesejahteraan dan pembangunan perbatasan. Sekalipun sejak masa reformasi pemerintah telah memberikan perhatian serius pada kawasan perbatasan melalui berbagai penerbitan kebijakan, di antaranya UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (2000– 2004), UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Perpres No 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), sejumlah kebijakan tersebut belum sepenuhnya dapat mengurai benang kusut persoalan perbatasan.

Lembaga negara macam BNPP yang dibentuk khusus menangani masalah perbatasan tidak dapat berbuat banyak. Lembaga ini dikepalai Menteri Dalam Negeri yang memiliki beban tugas berat di kementeriannya. Lembaga ini juga tidak memiliki legitimasi politik karena hanya dibentuk melalui peraturan presiden dan tidak memiliki lembaga setingkat SKPD di daerah. Bandingkan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dikepalai seorang kepala badan (pejabat setingkat menteri), dibentuk melalui UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan memiliki SKPD hingga tingkat kabupaten.

Lembaga ini juga dilengkapi dengan fungsi koordinasi untuk mengoordinasi seluruh kementerian dan departemen serta fungsi komando untuk mengomandoi seluruh jajaran pemerintahan RI dalam hal penanggulangan bencana. Ketiadaan fungsi BNPP sebagaimana melekat pada BNPB di atas menyebabkan program percepatan pembangunan kawasan perbatasan menjadi tidak fokus. Dijalankan oleh banyak departemen dan lintas kementerian. Untuk mengurai kebuntuan semacam itu setidaknya dibutuhkan tiga langkah. Pertama, meneguhkan BNPP sebagai satu-satunya lembaga pemerintah yang mengurus masalah dan pembangunan perbatasan.

Caranya adalah dengan mengesahkan keberadaan lembaga tersebut melalui formulasi undang-undang pengelolaan perbatasan. Kedua, mengubah paradigma kawasan perbatasan dari pendekatan keamanan (security approach) menjadi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Dalam kaitan ini, pendirian batalion baru di Kepulauan Riau yang diumumkan pertengahan Juni 2012 lalu perlu dipertimbangkan. Ketiga, mengintegrasikan tiga kekuatan utama dalam bentuk kemitraan, yakni masyarakat-organisasi masyarakat sipil perbatasan, pemerintah, dan pasar baik di tingkat lokal maupun internasional.

Melalui ketiga langkah di atas, Pemerintah RI diharapkan dapat membuktikan kehadirannya di kawasan perbatasan sehingga proses pembangunan dapat berjalan seiring dengan kian menguatnya peran kawasan perbatasan sebagai serambi negara—bukan halaman belakang bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar