Rabu, 18 Juli 2012

Joki Pintar Keblinger

Joki Pintar Keblinger
Saratri Wilonoyudho ; Dosen Universitas Negeri Semarang,
Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah
JAWA POS, 18 Juli 2012


SAYA tidak tahu pasti mengapa penangkapan 52 joki pada ujian masuk di Fakultas Kedokteran UGM tidak disikapi heboh. Tak seheboh, misalnya, ditemukannya lemak babi dalam kosmetik atau makanan. Lihat saja jika ada kasus lemak babi, misalnya, akan terjadi demo besar-besaran selama berhari-hari. Demikian pula jika ada penjual miras di warung-warung kecil menjelang Ramadan. Mereka akan diberantas habis-habisan. Sebaliknya, kasus-kasus korupsi, perjokian, atau perusakan lingkungan dan sebagainya disikapi biasa saja, seolah itu tidak berpengaruh. Padahal, semua kasus tersebut memengaruhi kehidupan manusia, kehidupan kita.

Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari kasus perjokian itu. Pertama, dunia pendidikan (tinggi) di tanah air sudah berada dalam keadaan darurat alias SOS. Kasus perjokian itu membuktikan tiadanya hubungan yang linier antara tingkat kecerdasan seseorang dengan tingkat moralitasnya. Justru banyak kasus, semakin tinggi pendidikan seseorang, makin ahli pula dia mengorupsi uang rakyat.

Hampir dapat dipastikan 52 joki tersebut adalah orang-orang yang pintar. Sebab, kalau mereka orang bodoh, mana mungkin bisa mengerjakan soal-soal yang sulit untuk masuk fakultas kedokteran. Mereka adalah potret kecil dari sinyalemen Marzuki Alie beberapa waktu lalu bahwa para koruptor atau kecurangan umumnya dimotori oleh mereka yang lulus dari dunia pendidikan tinggi. Artinya, kecerdasan kognitif ataupun IQ tidak lagi dapat dijadikan simbol kebanggaan. 

Celakanya, hanya faktor itulah yang masih dijadikan ukuran di dunia pendidikan kita sejak SD hingga perguruan tinggi. Ujian nasional adalah salah satu contoh hal yang tidak menghargai kecerdasan yang lain. Buktinya, sehebat apa pun nilai mata pelajaran seorang siswa, jika nilai pelajaran matematikanya di bawah 4 (empat), dia otomatis tidak lulus ujian.

Kasus perjokian tersebut juga menunjukkan belum jelasnya konsep pendidikan karakter yang kini diwacanakan untuk dikembangkan di dunia pendidikan tanah air. Tudingan itu dapat dibuktikan dari belum jelasnya definisi, bahkan konsep tentang karakter tersebut. Sebab, karakter itu hanya kata benda dan dapat disifati dengan berbagai kata sifat dan kata keterangan. Contohnya, orang itu ganteng, sayang karakternya jelek.

Fenomena perjokian juga menunjukkan betapa miskinnya pengetahuan para siswa tentang jenis-jenis lapangan pekerjaan yang dapat dijadikan profesi yang serius. Itu tidak dipahami para siswa sejak tingkat TK. Coba saja iseng-iseng bertanya kepada anak, baik anak TK, SD, SMP, hingga SMA. Jika ditanya apa cita-cita mereka, mereka hanya menjawab dengan serius ingin jadi dokter, insinyur, pilot, dan seterusnya. 

Padahal, banyak profesi yang membutuhkan banyak keahlian di dunia kerja dan menjanjikan masa depan yang baik, misalnya profesi chef atau juru boga, desainer pakaian, wartawan, seniman, komposer, dan koreografer. Bahkan, untuk profesi tukang "membaui" tembakau di pabrik rokok terkenal pun, tidak sembarangan orang bisa melakukan dan mereka digaji luar biasa.

Miskinnya pengetahuan tentang jenis-jenis pekerjaan itu juga berakibat kurang baik. Siswa sejak TK hingga SMA dalam bercita-cita dan memilih jurusan di universitas selalu saja dihubungkan dengan uang atau materi dan bukan untuk mengembangkan kepribadian, hobi, atau keilmuan. 

Mengapa ingin jadi dokter, dapat ditebak jawabnya: ya jelas untuk menjadi orang kaya. Sebab, begitulah yang mereka lihat selama ini. Akibatnya, di antara orang-orang yang masuk fakultas kedokteran, misalnya, boleh jadi kebanyakan bukan orang yang menyukai profesi itu, melainkan hanya mencintai hasil dari profesi tersebut, yakni uang dan kekayaan.

Karena itu, banyak di antara mereka adalah orang pintar yang tidak menghayati profesi dokter, melainkan orang pintar yang memanfaatkan profesi dokter untuk memperkaya diri. Maka, mereka berbondong-bondong masuk fakultas itu dengan berbagai upaya, termasuk mau membayar mahal dan curang dengan menggunakan joki. Banyak orang tua yang memaksakan anaknya masuk fakultas tersebut bukan untuk mendorong anaknya agar dapat menolong banyak orang, melainkan sekadar demi kebanggaan dan menjadi "mesin" pencari uang.

Kasus perjokian itu harus diselesaikan secara tegas dan adil. Tegas dalam hal ini adalah mereka yang berprofesi sebagai joki harus dihukum berat karena telah menipu dan nanti berpotensi mencelakakan masyarakat. Kalau para joki itu berhasil, dapat dibayangkan berapa ratus orang dokter "asli tapi palsu". Asli karena secara de jure mereka mendapat ijazah dokter, palsu karena sesungguhnya mereka tidak berhak untuk masuk fakultas itu. Akibatnya nanti berdampak bagi masyarakat pengguna jasa tersebut.

Ada setidaknya tiga bidang yang tidak boleh dijadikan ladang penghasilan, apalagi mesin pengeruk uang, namun hanya boleh menerima imbalan karena hubungan moral atau akhlak. Tiga bidang itu ialah pendidikan (ilmu), agama, dan kesehatan. Jadi, seorang ustad, misalnya, tidak boleh memperdagangkan kepintarannya berdakwah untuk mengeruk uang dengan manajemen ala pabrik. Demikian pula dokter, guru, atau dosen. Mereka menerima imbalan hanya karena terkait dengan masalah akhlak. Honor atau penghasilan hanyalah efek samping dari apa yang mereka lakukan dan bukan tujuan utama.

Karena itu, baik si joki maupun yang dituntun olehnya (calon mahasiswa kedokteran) harus dihukum berat. Mereka harus di-blacklist untuk masuk ke jurusan mana saja agar menumbuhkan efek jera bagi yang lain. Seperti langkah Rektor UGM Prof Pratikno mem-blacklist dan mengirim mereka ke Polres Sleman. Bila perlakuan tegas itu berjalan, semoga kelak kita lebih jarang mendengar adanya kasus orang lulus tes karena "naik" joki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar