Senin, 02 Juli 2012

Membungkus Keberlanjutan

Membungkus Keberlanjutan
Fachrudin Majeri Mangunjaya ; Research Associate Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM ) Universitas Nasional, Jakarta
KORAN TEMPO, 30 Juni 2012


Pertemuan Rio+20, bertema “Pembangunan Berkelanjutan yang Menentukan Masa Depan yang Kita Inginkan”, telah usai. Pertemuan intensif agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi kedua tersebut kemudian harus mendapat tindak lanjut di negara masing-masing. Belajar dari 20 tahun yang lalu, perasaan membuncah dan optimisme ingin mewujudkan pembangunan berkelanjutan bergema di mana-mana. Namun, kali ini, kelihatannya sambutan terhadap perhelatan ini dingin, terlebih negara adidaya "polisi dunia" Amerika Serikat tidak menghadirkan kepala negara mereka dalam pertemuan itu.

Adapun hasil yang penting pertemuan tersebut adalah bagaimana masing-masing negara dapat membungkus serta membawa komitmen Rio+20 dan kelanjutannya di masa mendatang, baik pada taraf nasional maupun pada tingkat internasional. Pertemuan Rio+20 merupakan pertemuan tidak mengikat, dan hanya menghasilkan agenda sukarela dari masing-masing negara. Hasil pertemuan ini tertuang dalam deklarasi yang terdiri atas 283 butir klausul berisi visi kita bersama (our common vision) berupa: pembaruan komitmen politik, ekonomi hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan masyarakat miskin, kerangka institusi dalam pembangunan berkelanjutan, kerangka aksi untuk tindak lanjut, serta registrasi atas komitmen sukarela dari masing-masing negara dalam memenuhi perjanjian bersama tersebut.

Salah satu klausul tersebut juga menyebutkan bahwa pengentasan masyarakat miskin adalah merupakan tantangan global yang paling besar sekarang ini. Karena itu, komitmen untuk membebaskan manusia dari kelaparan dan kemiskinan merupakan target yang sangat mendesak. Di samping pengentasan masyarakat miskin, dokumen yang diberi judul The Future We Want itu menyebutkan pula keharusan perubahan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Perlindungan sumber daya alam merupakan upaya penting yang harus dilakukan untuk mempertahankan basis pembangunan ekonomi dan sosial yang merupakan tujuan menyeluruh dari pada esensi pembangunan berkelanjutan.

Kesadaran tentang kondisi bumi yang benar-benar berubah sejak KTT Bumi di Rio pada 1992 telah disadari sepenuhnya oleh semua bangsa. Dampak keberadaan manusia telah terlihat di laut dan di darat, antara lain terjadinya kerusakan terutama pada unsur vital yang disebut sebagai modal alam (natural capital), yaitu ekosistem di darat dan di laut, termasuk sumber-sumber air bersih kita. Kerusakan ini tidak pernah separah ini sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ironisnya, sementara kita menggunakan ekosistem untuk memperoleh keuntungan modal bagi aset manusia, di pihak lain kita menguras sumber daya alam (stok ekosistem yang mengalir secara gratis-dari alam) tanpa meninggalkan kesan kerugian atas kawasan tersebut.

Tantangan

Mewujudkan keberlanjutan memang sangat kompleks sehingga, dalam catatan perjalanan peradaban umat manusia, sejak deklarasi pembangunan berkelanjutan tahun 1992--mengusung keseimbangan segitiga pembangunan: ekologi, ekonomi dan sosial--faktanya masih disuguhkan hal-hal yang jauh dari cita-cita pembangunan berkelanjutan. Penduduk bumi bergantung pada sumber daya alam secara sangat masif, sehingga secara global manusia mengkonsumsi 54 persen air mengalir di permukaan bumi. Di samping itu, pertambangan dan banyak bahan material yang kita kuras melebihi kapasitas daya dukung bumi. Industri dan gaya hidup manusia mencemari dan menumpuk lebih dari 15 juta ton karbon ke atmosfer, dan merusak 466 juta km persegi hutan hujan tropis, menciptakan 155 juta km penggurunan baru, memusnahkan setidaknya 74 spesies tanaman selamanya, serta menggerus--disebabkan oleh erosi--hampir 70-80 ton top soil yang mempunyai nilai kesuburan tanah untuk tanaman pangan, juga memompa 1.400 ton CFC yang menyebabkan perusakan lapisan ozon ke stratosfer bumi.

Pengendalian lingkungan yang tidak memadai di Indonesia menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang signifikan, termasuk peralihan lahan yang mengancam potensi ketahanan pangan, laju konversi lahan pangan yang tak terkendali yang mencapai 100 ribu hektare per tahun. Tercatat pula bahwa jumlah petani berkurang 7,24 persen atau sekitar 3,1 juta pada 2011. Adapun akibat perubahan iklim, frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240 -300 hari menjadi hanya 160-180 hari.

Ironisnya lagi, ketergantungan pada sektor ekstraktif--tidak terbarukan dan tidak berkelanjutan--malah semakin masif dengan adanya otonomi daerah. Lahan hutan lindung mendapatkan pengesahan untuk ditambang secara legal di berbagai tempat di Indonesia. Dampaknya, sampai Januari 2012, dikeluarkan 10.234 izin pengerukan tambang, 2.475 di antaranya di Kalimantan. Adapun 1.212 dari jumlah konsesi tersebut berada di Kalimantan Timur dengan luas 4,4 juta ha, yang meliputi 22,1 persen luas provinsi. Pertambangan telah mengancam keragaman hayati pada sedikitnya 3,97 juta hektare kawasan hutan lindung (Kompas, 12 Juni).

Ekonomi Hijau

Pertemuan Rio+20 berfokus pada dua perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan: pertama, tentang ekonomi hijau (green economies), yang banyak memicu kecurigaan dan perdebatan tentang “wajah baru ekonomi” yang lebih ramah lingkungan. Ekonomi hijau sesungguhnya ini baru merupakan suatu elemen dan diskusi baru yang mengemuka pada agenda internasional secara formal dan definisinya pun masih dalam pertanyaan.

Kedua, dalam arena Rio+20 ada upaya merumuskan kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan. Diskusi tentang kerangka ini sebenarnya telah berlangsung lebih dari satu dekade, tanpa ada suatu solusi dan batasan yang jelas. Perdebatan yang terjadi ketika forum berlangsung adalah bagaimana sesungguhnya transisi menuju ekonomi hijau dapat dilakukan, sementara negara berkembang terus memacu diri untuk mengejar pertumbuhan yang berkelanjutan, yang harus dipacu oleh publik dan sektor swasta yang terkadang tak disertai upaya untuk menurunkan polusi dan emisi karbon.

Negara maju mengatakan bahwa semua negara diingatkan untuk dapat memenuhi tantangan global, misalnya penggerusan pada sumber daya alam dan ledakan penduduk. Negara-negara Eropa, khususnya, telah mengarahkan kebijakan ekonominya pada sebuah road map untuk mengarah pada transisi sebuah ekonomi hijau. Akan tetapi negara-negara berkembang, di lain pihak, merasa khawatir dengan mengatakan bahwa hal tersebut akan menghambat perkembangan ekonomi mereka. Karena itu, tuntutan mereka adalah negara maju harus menyediakan bantuan pendanaan serta teknologi, jika mereka dikehendaki menuju pada arah ekonomi hijau tersebut.

Dalam konteks nasional dan lokal, pertanyaan inti yang harus dibungkus dari komitmen Rio+20 bagi Indonesia adalah: mampukah kita membawa negara untuk dalam jangka panjang tidak bergantung pada sumber daya alamnya yang tidak terbarukan, seperti penambangan batu bara, minyak, emas, dan merusak hutan alam yang menjadi basis jasa ekosistem sebagai modal alam (natural capital) sembari mengentaskan masyarakat miskin kita? Optimisme harus dijawab dengan kesadaran bahwa keberlanjutan akan sangat bergantung pada kemampuan semua pihak untuk menahan diri dari keserakahan dan pola konsumsi serta gaya hidup (lifestyle) untuk kepentingan sesaat yang tidak mempunyai visi pada masa depan bangsa. Komitmen Rio+20 seharusnya tidak hanya berada di tingkat pusat, tetapi juga harus tertular pada kebijakan pemimpin politik dan pimpinan daerah--karena otonomi--yang telah banyak memberi andil dan memperparah kerusakan alam Indonesia. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar