Senin, 02 Juli 2012

Mengatur Importir, Melindungi Konsumen dan Petani


Mengatur Importir,
Melindungi Konsumen dan Petani
Abdul Salam Taba ; Alumnus School of Economics, The University of Newcastle, Australia
KORAN TEMPO, 30 Juni 2012


Penundaan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dari 15 Juni menjadi 28 September 2012 telah menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat.

Pemerintah (Kementerian Perdagangan dan importir), sebagai pihak yang pro, beranggapan penundaan merupakan upaya memberikan waktu sosialisasi dan pemahaman peraturan tersebut kepada pemangku kepentingan, penyiapan infrastruktur bagi importir, dan notifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sementara itu, yang kontra menilai alasan penundaan mengada-ada dan membiarkan masyarakat mengkonsumsi buah dan sayur (hortikultura) beracun. Selain itu, keputusan penundaan menunjukkan bahwa pemerintah tidak berpihak pada produk hortikultura lokal yang berdampak menggerus peluang pasar dan daya saing produk petani lokal.

Menjadi pertanyaan, apa sebenarnya alasan yang mendasari penundaan berlakunya Permendag Nomor 30/2012? Apa benar penundaan tersebut merupakan kebijakan yang menyengsarakan masyarakat (konsumen) dan wujud ketidakberpihakan pemerintah pada produk hortikultura lokal? Terlepas benar atau tidak, apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan keabsahannya secara yuridis--dalam arti, tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku?

Sepintas lalu, penilaian yang menyatakan penundaan penerapan Permendag Nomor 30/2012 merupakan keputusan yang merugikan masyarakat, secara faktual kebenarannya tidak bisa disangkal. Pasalnya, hasil pemeriksaan Badan Karantina Kementerian Pertanian selama dua tahun terakhir telah menemukan 19 penyakit dan unsur berbahaya yang terkandung dalam buah jeruk dan apel asing yang dipasarkan di Indonesia (Detikfinance, 18 Juni 2012).

Demikian pula anggapan yang menilai penundaan merupakan kebijakan yang tidak berpihak pada produk hortikultura lokal, juga cukup beralasan. Sebab, nilai produk hortikultura asing yang dikonsumsi masyarakat mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Terbukti, data Biro Pusat Statistik menunjukkan nilai produk buah dan sayur asing pada 2008 baru berjumlah US$ 881,6 juta, tapi pada 2011 sudah mencapai US$ 1,7 miliar.

Bila dicermati, peningkatan konsumsi masyarakat ini akibat tidak terkontrolnya infiltrasi produk buah dan sayur asing ke pasar lokal dan lokasi pemasarannya yang merambah ke tingkat RW dan RT di pedesaan. Tampilan produk lokal yang kurang menarik dan perlakuan diskriminatif retail modern terhadap produk buah dan sayur lokal juga turut memicu tingginya konsumsi produk buah dan sayur asing, termasuk pemberian kredit ekspor (subsidi) dari negara produsen kepada importir, sehingga harga produk yang dipasarkannya lebih murah.

Berbagai fenomena tersebut tidak hanya membuat produk lokal kurang diminati konsumen dan menjadikan sentra produksinya mati suri, tapi juga mempercepat petani lokal gulung tikar dan mengikis keberadaan pasar tradisional.

Secara yuridis, penundaan Permendag Nomor 30/2012 sejatinya tidak melanggar aturan yang berlaku. Pasalnya, upaya tersebut merupakan amanat ketentuan Permendag Nomor 30/2012--yang mewajibkan importir produk hortikultura memperoleh izin impor berupa rekomendasi Menteri Pertanian dan membuat gudang penyimpanan (cold storage), sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (1) dan 13, termasuk sinkronisasi kode harmonized system (HS) beberapa produk dan penunjukan distributor yang notabene realisasinya memerlukan waktu.

Upaya penundaan juga merupakan konsekuensi logis keanggotaan Indonesia di WTO yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1994, dan karena itu menjadi bagian legislasi nasional. Artinya, sebagai negara anggota WTO, Indonesia berkewajiban menotifikasi kebijakan impornya (Permendag Nomor 30/2012), sebagaimana ditetapkan dalam Annex A General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang mengatur tentang Import License Agreement (ILA).

Proses notifikasi--yang disampaikan ke Committee on Import License dengan tembusan ke Sekretariat WTO--memakan waktu 60 hari, jika tidak ada keberatan dari negara yang berkepentingan. Secara fungsional, notifikasi sejatinya bertujuan menghindari terjadinya tindakan pembalasan (retaliation) dari negara produsen hortikultura asing, yang dapat berupa larangan atau pembatasan ekspor barang maupun jasa milik Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penundaan bukan merupakan wujud ketidakberpihakan pemerintah kepada petani lokal dan produknya, melainkan upaya menciptakan win-win solution berbagai pihak dan demi kepentingan yang lebih luas. Sebab, jika tidak ditunda, akan melanggar amanat Permendag Nomor 30/2012 dan menghambat kelancaran ekspor barang maupun jasa dari Indonesia, bahkan bisa diboikot negara yang merasa dirugikan.

Namun maraknya peredaran produk hortikultura asing yang mengandung unsur beracun harus dicegah dan diatasi oleh para pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan petani lokal, dengan berbagai cara. Pertama, mengawasi secara ketat pelaksanaan Permendag Nomor 30/2012 dan peraturan terkait lainnya agar peredaran produk hortikultura asing dapat terkontrol.

Kedua, memoles tampilan produk hortikultura lokal agar lebih menarik konsumen dan membatasi peredaran produk asing berdasarkan zona tertentu, serta meminta retail modern tidak berperilaku diskriminatif dalam pemasaran Permendag Nomor 30/2012.

Ketiga, Kementerian Pertanian dan instansi terkait perlu aktif mencari solusi atas hambatan pasokan produk hortikultura lokal (khususnya buah dan sayur) akibat faktor musim dengan memberdayakan petani lokal dan sentra produksinya yang kurang produktif.

Keempat, meningkatkan kepekaan pemerintah (pusat maupun daerah) serta konsumen terhadap nasib petani lokal dan keberadaan sentra produksinya, termasuk sosialisasi kepada masyarakat agar mengkonsumsi produk lokal serta berhati-hati dalam membeli buah dan sayur asing yang banyak mengandung zat kimia dan unsur berbahaya lainnya.

Cara terakhir ialah melakukan pengawasan secara sistematis dan terencana untuk mencegah masuknya produk hortikultura asing yang berbahaya bagi kesehatan. Sebab, ada indikasi banyak produk tersebut masuk ke pasar lokal secara ilegal, dengan melibatkan instansi terkait (Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian) dan penegak hukum serta masyarakat pada umumnya.

Kemampuan para pemangku kepentingan merealisasi berbagai upaya tersebut setidaknya akan berimplikasi ganda. Selain dapat mengatasi, minimal mengurangi maraknya peredaran produk hortikultura asing yang membahayakan kesehatan konsumen, juga meningkatkan daya saing produk lokal dan para petaninya, sehingga mencegah terkikisnya pasar tradisional dan matinya sentra produksi buah dan sayur lokal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar