Jumat, 20 Juli 2012

Melawan Oligarki Elite Predatorian


Melawan Oligarki Elite Predatorian
Willy Purna Samadhi ; Mahasiswa Magister Fisipol UGM
MEDIA INDONESIA, 19 Juli 2012

SALAH satu ciri kuat demokrasi Indonesia, hingga kini, ialah oligarki elite. Indikasinya terlihat jelas dalam survei Demos pada 2003/2004 (Priyono dkk, 2007). Ketika lembaga yang sama mengulang surveinya pada 2007, indikasinya bahkan semakin jelas sehingga menunjukkan betapa langgengnya oligarki elite dalam praktik demokrasi Indonesia (Samadhi dan Warouw eds, 2009).

Tulisan Airlangga Pribadi di harian ini (Media Indonesia, 5 Juli 2012) lagi-lagi menyoroti gejala yang sama. Airlangga bahkan menyebut para oligark itu sebagai elite predatoris. Kemapanan oligarki jelas merupakan situasi yang ironis dalam sistem demokrasi. Ia menghalangi proses-proses keterwakilan rakyat yang seharus nya menjadi tonggak utama demokrasi. Apa yang salah dalam proses demokrasi kita?

Setelah 1998 dan Indonesia memasuki era demokrasi, proses instalasi sistem demokrasi lebih banyak diletakkan pada aspek prosedural dan perbaikan sistem elektoral. Penataan ulang prosedur-prosedur demokratis dan sistem pemilu tentu saja bukan hal yang sepele. Setelah 30-an tahun masa demokrasi-semu di bawah rezim otoriter Orde Baru, prosedur dan sistem pemilu yang benar-benar demokratis dan menjamin penyaluran kehendak rakyat harus menjadi koreksi total terhadap berbagai aturan ‘demokratis’ yang diterapkan pada masa sebelumnya.

Langkah-langkah itu antara lain ditandai oleh perubahan UU Pemilu dan Partai Politik, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan tidak lagi di bawah Kementerian Dalam Negeri. Perbaikan aspek elektoral bahkan menjangkau hingga pemberlakuan sistem pemilihan langsung untuk posisi presiden dan kepala daerah. Untuk memperkuat upaya-upaya itu dan mempertegas kehendak berdemokrasi, kita bahkan mengawalinya dengan mengamendemen sejumlah pasal UUD 1945. Keseluruhan proses perubahan dan perbaikan itu tak diragukan lagi telah banyak mengubah wajah politik kita menjadi demokratis.

Akan tetapi, perjalanan demokrasi memang tak punya rute pasti. Ia tidak lepas dari diktum abadi dunia politik; power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Mata rantai kedaulatan rakyat yang diatur melalui berbagai peraturan dan prosedur demokrasi tidak lepas dari jalinan relasi kekuasaan. Di sana bukan hanya ada kekuasaan rakyat, ada pula kekuasaan partai, kekuasaan pemimpin partai, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif, dan penguasa-penguasa informal yang berpengaruh pada kinerja kekuasaan politik formal. Demokrasi, betapa pun idealnya, hanya sebuah sistem yang tak lepas dari cara kerja dan dinamika berbagai subsistem yang berada di dalamnya.

Sistem yang Rentan

Sistem kepartaian dan kepemiluan yang kita kembangkan boleh jadi memang sudah baik menurut ukuranukuran prosedur demokrasi. Akan tetapi, sistem itu terbukti rentan terhadap praktik-praktik menyimpang yang membuat timpang relasi-kuasa di antara berbagai penyandang kekuasaan, terutama ketidakseimbangan relasi-kuasa antara para elite pelaku politik dan rakyat.

Sistem itu memberi keistimewaan terlalu besar bagi para pemimpin partai dan pelaku politik lain, baik di lingkup formal maupun nonformal. Merekalah, para elite, yang mendominasi mata rantai kedaulatan rakyat, mulai dari pembuatan dan perbaikan prosedur, pembentukan sistem, penataan kelembagaan, hingga pemangku dan pelaksana kekuasaan. Hubungan antara para elite pelaku politik dan rakyat menjadi seperti hubungan antara produsen dan konsumen. Kehidupan demokrasi bergantung pada ‘barangbarang’ yang dipro duksi oleh para elite, sementara rakyat hanya berpeluang sebagai pembeli.

Mungkin benar, para elite oligark itu mencoba mendesain sebuah sistem demokrasi yang menurut mereka baik, tetapi mereka jelas tidak membangun sebuah sistem yang baik menurut kehendak rakyat. Artinya,  sistem demokrasi cenderung mengakomodasi semata-mata kepentingan-kepentingan subjektif para elite.

Kehidupan Asosiasional

Rakyat sendiri tidak memiliki posisi tawar politik yang cukup untuk berhadapan dengan para elite pelaku politik. Tidak seperti para politikus, rakyat tidak memiliki posisi politik formal sebagai basis bagi aktivitas politik. Boleh dibilang, satu-satunya aktivitas politik rakyat sebagai warga negara ialah hak untuk memilih dalam setiap pemilihan umum. Hak berkala itu pun tidak jarang gagal digunakan rakyat karena kesimpangsiuran data pada penetapan daftar pemilih tetap. Lebih celaka daripada itu, hak rakyat untuk memilih pun seperti tak banyak berarti karena rendahnya kualitas para kandidat yang dapat dipilih.

Selama lebih dari 30 tahun masyarakat kita terbiasa dengan pola korporatisme negara. Organisasi masyarakat bukannya tak ada, tetapi nyaris semua merupakan bentukan negara. Jika pun tidak, kendali organisasi dipegang langsung oleh tokoh-tokoh yang berkelindan dengan berbagai jabatan formal. Pengalaman kita dalam berorganisasi dan kemampuan untuk mengelola organisasi menjadi sangat rendah. Kehidupan asosiasi warga negara atau organisasi populer menjadi sesuatu yang asing.

Minimnya perhatian terhadap pentingnya kehidupan asosiasional dan kurangnya pengalaman serta keterampilan berorganisasi semakin memperburuk situasi keterwakilan rakyat. Kendati secara formal tersedia banyak pilihan saluran aspirasi politik, aksi-aksi nonorganisasional yang dilakukan rakyat tetap berada di antrean paling belakang di dalam saluran politik demokratis. Suara dan aspirasi itu terlalu variatif dan tidak teragregasi menjadi rumusanrumusan agenda politik yang jelas sehingga sulit menerobos jalur-jalur perwakilan.

Selain itu, aspirasi dan kepentingan rakyat yang terlalu beragam dan banyak membuat daya desaknya tidak cukup tinggi. Kepentingan-kepentingan itu lebih dilihat sebagai isuisu tunggal, yang memang tidak akan mungkin diserap satu per satu dalam mekanisme demokrasi perwakilan.

Sebaliknya, para elite pelaku politik, melalui partaipartai dan lembaga-lembaga demokrasi yang mereka kuasai, jauh lebih siap dan sigap memanfaatkan saluransaluran demokrasi formal untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka sebagai agenda politik.

Upaya untuk menerobos tembok oligarki bukannya tidak dilakukan. Sejak Pemilu 1999 ada sejumlah tokoh aktivis yang mencoba masuk partai politik dan lembaga-lembaga demokratis lainnya, termasuk duduk di parlemen. Akan tetapi, inisiatifinisiatif seperti itu tidak cukup efektif untuk menggoyang kekuatan para oligark. Para aktivis itu tidak sepenuhnya dapat melakukan perubahan dari dalam. Sebabnya ialah inisiatif-inisiatif lebih merupakan aksi individual yang tidak dibarengi oleh masuknya basis massa di belakang para aktivis. Mereka direkrut partai semata-mata berdasar atas ketokohan, dengan harapan agar basis-basis massa yang menjadi pendukung para aktivis itu akan menjadi pendukung partai. Alih-alih memperoleh posisi tawar yang kuat, masuknya para aktivis justru berdampak pada semakin terfragmentasinya kekuatan rakyat.

Tak ada lain cara untuk melakukan demonopoli dan melawan oligarki elite predatorian kecuali dengan menggalang kekuatan rakyat melalui menyosialisasikan kehidupan asosiasional. Kita perlu membiasakan cara hidup berorganisasi, berserikat, agar demokrasi benar-benar bisa dibangun dari bawah.

Organisasi dan asosiasi rakyat harus dibangun dan dikembalikan pengertiannya sebagai unitunit kesatuan warga negara yang memiliki hak berkumpul, berserikat, dan berorganisasi. Tentu saja tidak semua organisasi harus menjadi organisasi politik, tetapi dapat berfungsi sebagai subsaluran dari variasi kepentingan dan aspirasi rakyat sebelum dikompetisikan dengan kepentingan-kepentingan lain untuk masuk ke saluran politik demokratis.

Organisasi dan asosiasi juga memiliki daya tawar yang cukup, yaitu massa yang menjadi anggota-anggotanya, untuk berhadap an dengan organisasi-organisasi politik yang dikuasai elite predatorian. Dengan cara itu mata rantai kedaulatan rakyat bisa terbentang jelas tanpa ada penumpukan kekuasaan di salah satu bagiannya saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar