Melawan
Oligarki Elite Predatorian
Willy Purna Samadhi ; Mahasiswa Magister Fisipol UGM
MEDIA
INDONESIA, 19 Juli 2012
SALAH
satu ciri kuat demokrasi Indonesia, hingga kini, ialah oligarki elite.
Indikasinya terlihat jelas dalam survei Demos pada 2003/2004 (Priyono dkk,
2007). Ketika lembaga yang sama mengulang surveinya pada 2007, indikasinya
bahkan semakin jelas sehingga menunjukkan betapa langgengnya oligarki elite
dalam praktik demokrasi Indonesia (Samadhi
dan Warouw eds, 2009).
Tulisan
Airlangga Pribadi di harian ini (Media Indonesia, 5 Juli 2012) lagi-lagi
menyoroti gejala yang sama. Airlangga bahkan menyebut para oligark itu sebagai
elite predatoris. Kemapanan oligarki jelas merupakan situasi yang ironis dalam
sistem demokrasi. Ia menghalangi proses-proses keterwakilan rakyat yang seharus
nya menjadi tonggak utama demokrasi. Apa yang salah dalam proses demokrasi
kita?
Setelah
1998 dan Indonesia memasuki era demokrasi, proses instalasi sistem demokrasi
lebih banyak diletakkan pada aspek prosedural dan perbaikan sistem elektoral.
Penataan ulang prosedur-prosedur demokratis dan sistem pemilu tentu saja bukan
hal yang sepele. Setelah 30-an tahun masa demokrasi-semu di bawah rezim
otoriter Orde Baru, prosedur dan sistem pemilu yang benar-benar demokratis dan
menjamin penyaluran kehendak rakyat harus menjadi koreksi total terhadap
berbagai aturan ‘demokratis’ yang diterapkan pada masa sebelumnya.
Langkah-langkah
itu antara lain ditandai oleh perubahan UU Pemilu dan Partai Politik,
pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan tidak lagi di bawah
Kementerian Dalam Negeri. Perbaikan aspek elektoral bahkan menjangkau hingga
pemberlakuan sistem pemilihan langsung untuk posisi presiden dan kepala daerah.
Untuk memperkuat upaya-upaya itu dan mempertegas kehendak berdemokrasi, kita
bahkan mengawalinya dengan mengamendemen sejumlah pasal UUD 1945. Keseluruhan
proses perubahan dan perbaikan itu tak diragukan lagi telah banyak mengubah
wajah politik kita menjadi demokratis.
Akan
tetapi, perjalanan demokrasi memang tak punya rute pasti. Ia tidak lepas dari
diktum abadi dunia politik; power tends
to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Mata rantai kedaulatan
rakyat yang diatur melalui berbagai peraturan dan prosedur demokrasi tidak
lepas dari jalinan relasi kekuasaan. Di sana bukan hanya ada kekuasaan rakyat,
ada pula kekuasaan partai, kekuasaan pemimpin partai, kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif, dan penguasa-penguasa informal yang
berpengaruh pada kinerja kekuasaan politik formal. Demokrasi, betapa pun
idealnya, hanya sebuah sistem yang tak lepas dari cara kerja dan dinamika
berbagai subsistem yang berada di dalamnya.
Sistem yang Rentan
Sistem
kepartaian dan kepemiluan yang kita kembangkan boleh jadi memang sudah baik
menurut ukuranukuran prosedur demokrasi. Akan tetapi, sistem itu terbukti
rentan terhadap praktik-praktik menyimpang yang membuat timpang relasi-kuasa di
antara berbagai penyandang kekuasaan, terutama ketidakseimbangan relasi-kuasa
antara para elite pelaku politik dan rakyat.
Sistem
itu memberi keistimewaan terlalu besar bagi para pemimpin partai dan pelaku
politik lain, baik di lingkup formal maupun nonformal. Merekalah, para elite,
yang mendominasi mata rantai kedaulatan rakyat, mulai dari pembuatan dan
perbaikan prosedur, pembentukan sistem, penataan kelembagaan, hingga pemangku
dan pelaksana kekuasaan. Hubungan antara para elite pelaku politik dan rakyat
menjadi seperti hubungan antara produsen dan konsumen. Kehidupan demokrasi
bergantung pada ‘barangbarang’ yang dipro duksi oleh para elite, sementara
rakyat hanya berpeluang sebagai pembeli.
Mungkin
benar, para elite oligark itu mencoba mendesain sebuah sistem demokrasi yang
menurut mereka baik, tetapi mereka jelas tidak membangun sebuah sistem yang
baik menurut kehendak rakyat. Artinya, sistem demokrasi cenderung mengakomodasi
semata-mata kepentingan-kepentingan subjektif para elite.
Kehidupan Asosiasional
Rakyat
sendiri tidak memiliki posisi tawar politik yang cukup untuk berhadapan dengan
para elite pelaku politik. Tidak seperti para politikus, rakyat tidak memiliki
posisi politik formal sebagai basis bagi aktivitas politik. Boleh dibilang,
satu-satunya aktivitas politik rakyat sebagai warga negara ialah hak untuk
memilih dalam setiap pemilihan umum. Hak berkala itu pun tidak jarang gagal
digunakan rakyat karena kesimpangsiuran data pada penetapan daftar pemilih
tetap. Lebih celaka daripada itu, hak rakyat untuk memilih pun seperti tak
banyak berarti karena rendahnya kualitas para kandidat yang dapat dipilih.
Selama
lebih dari 30 tahun masyarakat kita terbiasa dengan pola korporatisme negara.
Organisasi masyarakat bukannya tak ada, tetapi nyaris semua merupakan bentukan
negara. Jika pun tidak, kendali organisasi dipegang langsung oleh tokoh-tokoh
yang berkelindan dengan berbagai jabatan formal. Pengalaman kita dalam
berorganisasi dan kemampuan untuk mengelola organisasi menjadi sangat rendah.
Kehidupan asosiasi warga negara atau organisasi populer menjadi sesuatu yang
asing.
Minimnya
perhatian terhadap pentingnya kehidupan asosiasional dan kurangnya pengalaman
serta keterampilan berorganisasi semakin memperburuk situasi keterwakilan
rakyat. Kendati secara formal tersedia banyak pilihan saluran aspirasi politik,
aksi-aksi nonorganisasional yang dilakukan rakyat tetap berada di antrean
paling belakang di dalam saluran politik demokratis. Suara dan aspirasi itu
terlalu variatif dan tidak teragregasi menjadi rumusanrumusan agenda politik
yang jelas sehingga sulit menerobos jalur-jalur perwakilan.
Selain
itu, aspirasi dan kepentingan rakyat yang terlalu beragam dan banyak membuat
daya desaknya tidak cukup tinggi. Kepentingan-kepentingan itu lebih dilihat
sebagai isuisu tunggal, yang memang tidak akan mungkin diserap satu per satu
dalam mekanisme demokrasi perwakilan.
Sebaliknya,
para elite pelaku politik, melalui partaipartai dan lembaga-lembaga demokrasi
yang mereka kuasai, jauh lebih siap dan sigap memanfaatkan saluransaluran
demokrasi formal untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka sebagai agenda
politik.
Upaya
untuk menerobos tembok oligarki bukannya tidak dilakukan. Sejak Pemilu 1999 ada
sejumlah tokoh aktivis yang mencoba masuk partai politik dan lembaga-lembaga
demokratis lainnya, termasuk duduk di parlemen. Akan tetapi, inisiatifinisiatif
seperti itu tidak cukup efektif untuk menggoyang kekuatan para oligark. Para
aktivis itu tidak sepenuhnya dapat melakukan perubahan dari dalam. Sebabnya
ialah inisiatif-inisiatif lebih merupakan aksi individual yang tidak dibarengi
oleh masuknya basis massa di belakang para aktivis. Mereka direkrut partai
semata-mata berdasar atas ketokohan, dengan harapan agar basis-basis massa yang
menjadi pendukung para aktivis itu akan menjadi pendukung partai. Alih-alih
memperoleh posisi tawar yang kuat, masuknya para aktivis justru berdampak pada
semakin terfragmentasinya kekuatan rakyat.
Tak
ada lain cara untuk melakukan demonopoli dan melawan oligarki elite predatorian
kecuali dengan menggalang kekuatan rakyat melalui menyosialisasikan kehidupan
asosiasional. Kita perlu membiasakan cara hidup berorganisasi, berserikat, agar
demokrasi benar-benar bisa dibangun dari bawah.
Organisasi
dan asosiasi rakyat harus dibangun dan dikembalikan pengertiannya sebagai
unitunit kesatuan warga negara yang memiliki hak berkumpul, berserikat, dan
berorganisasi. Tentu saja tidak semua organisasi harus menjadi organisasi
politik, tetapi dapat berfungsi sebagai subsaluran dari variasi kepentingan dan
aspirasi rakyat sebelum dikompetisikan dengan kepentingan-kepentingan lain
untuk masuk ke saluran politik demokratis.
Organisasi dan asosiasi juga memiliki daya
tawar yang cukup, yaitu massa yang menjadi anggota-anggotanya, untuk berhadap
an dengan organisasi-organisasi politik yang dikuasai elite predatorian. Dengan
cara itu mata rantai kedaulatan rakyat bisa terbentang jelas tanpa ada
penumpukan kekuasaan di salah satu bagiannya saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar