Jumat, 20 Juli 2012

Memaknai Bonus Demografi


Memaknai Bonus Demografi
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 20 Juli 2012

PADA 2020-2030 Indonesia diperkirakan mendapat bonus demografi, yang berarti selama kurun waktu itu jumlah penduduk usia produktif (15-60 tahun) lebih tinggi daripada yang berusia nonproduktif. Fakta itu memungkinkan masyarakat mencapai kemakmuran tinggi.

Ada dua kecemasan yang menghadang kita berkaitan dengan prediksi tersebut. Pertama, sejak reformasi program KB tidak berjalan seintens sebelumnya, yang membuat angka-angka untuk ramalan bonus demografi bisa meleset. Kedua, seandainya memang akan tersedia penduduk produktif sesuai dengan ramalan, apakah bekal pendidikan formal dan pengalaman mereka memadai untuk beban yang dihadapi, yakni memakmurkan masyarakat?

Ekologi Sosial

Ekologi sosial memfokuskan perhatian pada hubungan antar anggota masyarakat, antara masyarakat dan lingkungan hidupnya serta antara masyarakat dan kegiatan-kegiatan sosial mereka. Pendekatan itu menjelaskan sekalipun lingkungan memang penting untuk mengubah perilaku manusia, pada akhirnya perilaku manusia sendiri yang menentukan perubahan lingkungannya.

Dalam masyarakat yang belum maju, kesederhanaan lembaga-lembaga yang dibentuk hanya memungkinkan mereka mengadaptasikan diri dengan lingkungan. Memang kriteria untuk mengidentifikasi kebudayaan primitif ialah bila budaya itu tidak mampu mengadakan perubahan yang berarti terhadap lingkungan biologis maupun geofisiknya. Penduduk harus mencari nafkah dari alam sekitar dan berpindah tempat bila lingkungan tidak lagi mendukung mereka. Perubahan berangsur akan terjadi sesuai dengan peningkatan taraf budaya masyarakat.

Sekadar untuk retrospeksi, kerusuhan dan keresahan yang terjadi di Papua akhir-akhir ini membuat kita berpikir, apa arti pembebasan mereka dari kekuasaan Belanda? Apa arti kemerdekaan NKRI bagi me reka? Wilayah Papua luasnya empat kali wilayah Jawa, dengan penduduk diperkirakan sebesar 3,5 juta jiwa (sekitar 1/42 jumlah penduduk Jawa), menggunakan 300 bahasa, dan tersebar di daerah Papua yang belum seluruhnya terbuka. Apakah kita memiliki daya dan dana untuk perubahan revolusioner di wilayah itu? Apakah penduduk Papua siap untuk itu?

Pengkajian Situasi Lapangan

Salah satu faktor yang kurang untuk pengkajian tentang kreativitas masyarakat dalam rangka pembangunan negara ialah informasi lapangan yang lengkap. Misalnya, tidak semua usaha dan kegiatan sosial mempertimbangkan situasi demografi; sekalipun dari situasi kependudukan tecermin kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan penduduk maupun kemampuan yang mereka miliki. Apabila informasi situasi lapangan lengkap, masyarakat bisa memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan bisa disusun konfigurasi untuk mengantisipasinya.

Dalam kaitan ini, lembaga-lembaga pengkajian sosial tentunya mampu mengembangkan kegiatan mereka sehingga mencakup antisipasi untuk masa depan; tidak terbatas hanya menjadi sumber informasi untuk kebutuhan sekarang--seperti yang dilakukan lembaga-lembaga survei yang sedang populer. Sumber-sumber informasi untuk landasan perkiraan masa depan memang jauh lebih luas daripada yang digarap untuk kebutuhan sekarang, tetapi hasilnya akan jauh memadai. Lebih-lebih sekarang kebutuhan itu terasa mendesak, bila kita tidak ingin tertinggal terlalu jauh dari negara-negara maju di Asia lainnya.

Untuk menghadapi masa depan, misalnya, isu paling mendesak apa yang perlu kita bicarakan? Apalagi kalau bukan isu pendidikan. Pendidikan yang bagaimana yang tepat dan relevan untuk masyarakat dengan kondisi seperti sekarang? Itulah yang perlu dikaji secara luas dan teliti dengan memasukkan unsur demograļ¬ . Jepang bisa semaju sekarang terutama berkat antusiasme di bidang pendidikan. Sejak Restorasi Meiji hampir satu setengah abad yang lalu, yang mengubah konstitusi Jepang secara revolusioner dan membebaskan Jepang dari isolasi dan memodernisasi diri, Jepang memang mengejar kemajuan dunia Barat dengan tidak jemu-jemunya menimba ilmu dan pengetahuan modern. Ribuan buku asing, khususnya dari Amerika dan Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.

Jejak tersebut diikuti Korea Selatan yang tumbuh pesat karena penggiatan pendidikan sejak Perang Dunia II. China pun menjadi maju seperti sekarang karena sejak jauh-jauh hari mengirimkan anak-anak sekolah mereka ke Amerika, tanpa khawatir pikiran anak-anak itu diserapi ideologi Barat.

Dilema yang kita hadapi sekarang ialah membuat pilihan antara menyelenggarakan pemerataan pendidikan atau menjatah pendidikan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan negara? Bila kita memilih jawaban kedua, apakah pertimbangan politik memungkinkan kita menjatah pendidikan? Dalam masyarakat demokrasi, semua warga berhak menuntut pendidikan yang diinginkan. Tentu tidak gampang mengelompokkan mereka sesuai dengan struktur sosial masa lampau: masyarakat petani/buruh di bawah, lalu masyarakat pengusaha/dagang di tengah, dan masyarakat intelektual atau elite politik di atas--itu sekadar contoh.

Yang sejak awal harus disadari para pemegang keputusan: peningkatan pendidikan bukan berarti sama dengan peningkatan pemanfaatan pendidikan. Belum lagi bila memikirkan dana dan penyebarannya; dan kenyataan bahwa masyarakat kita umumnya masih tersandera oleh struktur sosial masa lampau. Itu menarik untuk dikaji demi kepentingan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar