Selasa, 10 Juli 2012

Kuliner Penjara Tanpa HaliNar


Kuliner Penjara Tanpa HaliNar
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM, 
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
 
SINDO, 10 Juli 2012


Ini bukan cerita 1001 malam. Ini hanya kisah lima malam di Waingapu, Samarinda, Balikpapan, dan Pekalongan. Bukan pula soal cita rasa kuliner di empat kota tersebut, melainkan soal cita upaya untuk penjara kami tanpa HaLiNar (hape, pungli, dan narkoba). 

Kita mulai Rabu petang di Waingapu. Saya berpisah jalan dengan Bapak Dahlan Iskan, menteri BUMN. Pak Dahlan memutuskan tidur di peternakan sapi di tengah padang savana, Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya memilih menghabiskan waktu dengan petugas Lapas Waingapu. Kami memutuskan tidak tidur di tempat yang disiapkan bagi rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama berkunjung di Provinsi NTT.

Rabu malam, di Lapas Waingapu, kondisinya masih relatif baik.Tidak ada persoalan kelebihan kuota hunian sebagaimana banyak dialami lapas dan rutan di kota-kota besar di Tanah Air, meski dari kapasitas 300,sudah pula dihuni oleh 284 warga binaan.Pak Nengah,Kalapas Waingapu, hanya meminta perhatian biaya perawatan lapas yang minim serta mobil dinas yang tua sehingga biaya pemeliharaannya menjadi lebih tinggi.

Sambil berjalan mengelilingi blok-blok lapas,saya mendengarkan laporan Pak Nengah. Para warga binaan sudah duduk rapi berjajar di setiap sel yang saya kunjungi.Terlihat jelas mereka sudah tahu saya akan datang. Dalam kondisi demikian, sulit untuk mendapatkan masukan apa adanya dari warga binaan. Setelah mengelilingi seluruh blok saya putuskan untuk lebih santai bicara dengan kepala dan petugas lapas. Kunjungan malam itu berujung dengan makanan seafood di pinggir Dermaga Lama Waingapu.

Mengunjungi lapas dan rutan memang menjadi menu wajib saya setiap kali ke daerah. Itu sebabnya ketika mendarat di Balikpapan pada Kamis malamnya, Jumat malam lalu saya sudah menuju Rutan Samarinda. Kali ini kunjungan saya kelihatannya tidak diketahui. Berbeda dengan Kalapas Waingapu yang sudah siap menerima saya dengan jajarannya, Karutan Samarinda tidak berada di tempat, dan baru muncul setelah saya hampir mengakhiri kunjungan.

Tidak mengherankan saya masih menemukan kondisi Rutan Samarinda yang kotor,mati lampu di beberapa lorong sel, bau pesing menyengat di sekitar tangga,dan beberapa penghuni yang dengan asyik memainkan telepon genggamnya. Dari bahasa tubuhnya yang santai, patut diduga kepemilikan hape bukan merupakan hal yang menakutkan di rutan tersebut.

Meskipun petugas kemudian membentak dan meminta hapediserahkan,saya yakin bentakan garang demikian tidak ada jika saya tidak hadir. Maka sambil menyantap nasi kuning khas Samarinda,di sekitar Jalan Lambung Mangkurat, saya berikan arahanarahan perbaikan yang harus dilakukan Karutan Samarinda. Sabtu malamnya, sebelum kembali ke Jakarta, saya sempatkan mendatangi Lapas dan Rutan Balikpapan.

Rutan Balikpapan perlu perhatian ekstra karena seminggu sebelumnya aparat kepolisian menciduk warga binaan yang mengatur peredaran 1,07 kg sabu. Ironisnya, di dalam sel sang pengedar tidak hanya ditemukan telepon genggam, yang sudah pasti dimiliki para bandar dari balik penjara, tapi ditemukan pula laptop dan alat penguat sinyal Wi-Fi. Sudah pasti ada keterlibatan oknum petugas dalam menyelundupkan alat-alat komunikasi tersebut.

Maka itu, kunjungan malam itu saya akhiri dengan memberikan arahan kepada karutan sambil menikmati kepiting Tarakan, di dekat Bandara Balikpapan. Kunjungan penjara saya belum berakhir, Minggu malam, setelah siangnya berbicara dalam diskusi di Semarang, saya kunjungi pula rutan dan lapas di Kota Pekalongan. Kali ini para petugas terlihat sudah siap dengan kedatangan saya. Terbukti para penghuni mengatakan mereka sudah tahu saya akan hadir beberapa hari sebelumnya.

Karutan yang awalnya mencoba mengatakan tidak tahu kehadiran saya, tersipu malu. Tidak mengherankan kondisi rutan dan lapas sudah bersih dan rapi. Walaupun di Lapas Pekalongan sekitar 90 orang penghuni baru kasus narkoba, yang baru datang dari Jakarta tetap mengeluhkan minimnya ketersediaan air. Kepada mereka, saya titipkan nomor hape saya sambil berpesan untuk langsung melapor jika persoalan air tersebut tidak juga terselesaikan.

Kunjungan itu berakhir tengah malam dengan santapan soto tauto serta beberapa biji durian di sekitar alun-alun Kota Pekalongan. Itulah sekelumit kunjungan saya ke beberapa lapas dan rutan beberapa waktu terakhir. Tentu saya tidak bermaksud menonjolkan makanan khas di setiap tempat yang saya kunjungi karena memang bukan itu inti tulisan ini. Fokus saya ketika berbicara lapas dan rutan adalah upaya perbaikan yang terus-menerus tanpa henti.

Kunjungan terus setiap kali ke daerah adalah sejumput ikhtiar untuk langsung mengetahui kondisi lapangan. Tantangan petugas penjara pasti tidak ringan. Kekurangan petugas terjadi di semua lapas dan rutan, seiring dengan persoalan over capacity yang melanda hampir semua penjara. Namun, persoalan demikian tidak boleh menjadi alasan pembenar terjadi penyimpangan. Maka itu, di setiap kesempatan bertemu, sambil santai menikmati kuliner setempat, saya selalu luangkan waktu berbicara berdua saja dengan pimpinan lapas dan rutan. Kepada mereka, saya tegaskan untuk menegakkan tiga no yaitu: no hape, nopungli, dan nonarkoba.

Menegakkan bersih HaLiNar (hape, pungli, dan narkoba). Bagi saya, rumusnya sederhana, jika ditemukan hape di dalam penjara, dapat dipastikan beredar pula narkoba, dan sudah pasti pungli masih merebak. Karena itu, kepada masing-masing kalapas dan karutan, saya tantang untuk membersihkan penjara mereka dari tiga hal tersebut. Saya meyakini, jika HaLiNar (hape, pungli, dan narkoba) dapat disterilkan dari penjara,penyimpangan- penyimpangan lainnya juga akan lebih mudah diatasi.

Kepada kalapas dan karutan yang berhasil melaksanakan sterilisasi HaLiNar (hape, pungli, dan narkoba) tentu perlu diberikan apresiasi dan penghargaan berupa promosi jabatan. Sebaliknya, bagi yang gagal, perlu dipertimbangkan mendapatkan sanksi dan demosi. Itu sistem reward and punishment yang standar dilakukan di setiap organisasi dan lingkungan kerja mana pun. Lalu bagaimana cara saya mengontrol pelaksanaan instruksi itu di lapangan? Tidak sulit.

Apalagi di era teknologi komunikasi canggih seperti saat ini. Saya memanfaatkan semua jalur. Untuk mengantisipasi kedatangan saya sudah diketahui, di setiap kota kunjungan saya mencari mantan napi yang baru saja keluar penjara. Dari mantan napi tersebut saya memperoleh informasi lebih lengkap tentang kondisi penjara, termasuk berbagai kemungkinan penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Pascakunjungan, saya memelihara komunikasi dengan semua pemangku kepentingan.

Nomor hape saya sebarkan kepada penghuni penjara, petugas, jurnalis, aktivis LSM, dan masyarakat setempat. Maka itu, sangat mudah bagi saya untuk mengontrol kondisi terakhir suatu penjara. Apalagi saya meyakini, dalam setiap unit kerja, pasti selalu ada orang baik yang dengan penuh semangat dan dedikasi ingin mendorong adanya perbaikan.

Dari merekalah, saya sering mendapatkan laporan berbagai persoalan melalui SMS, BBM, atau bahkan Twitter. Itulah makna kuliner penjara tanpa HaLiNar yaitu upaya tanpa henti untuk terus membersihkan lapas dan rutan kami dari hape, pungli, dan narkoba. Untuk kontribusi kami bagi Indonesia yang lebih baik. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar