Selasa, 10 Juli 2012

Mosi Tidak Percaya untuk Bea dan Cukai


Mosi Tidak Percaya untuk Bea dan Cukai
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI,
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
MEDIA INDONESIA, 10 Juli 2012


KEJAHATAN terhadap negara yang dilakukan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini sudah sangat mencemaskan. Rakyat kecewa karena remunerasi gagal memperbaiki akhlak dan moral mereka. Itu menjadi kewajiban Menteri Keuangan (Menkeu) untuk memperkecil celah pencurian di pos-pos penerimaan negara.

Pada 27 tahun lalu, Departemen Keuangan (kini Kemenkeu) menerima sanksi sangat ekstrem, yakni mosi tidak percaya dari presiden Republik Indonesia. Pada pekan pertama April 1985, Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 4/1985 untuk melucuti hampir semua wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC) Departemen Keuangan. Inpres itu terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaan Presiden terhadap Ditjen BC sebagai administrator kepabeanan di Republik tercinta ini.

Ditjen BC dituduh sebagai institusi paling korup dengan birokrasi rumit, yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Fungsi dan tugas kepabeanan Ditjen BC kemudian dipercayakan dan diserahkan kepada SGS (Societe Generale de Surveillance), surveyor dari Swiss yang seabad lebih berpengalaman mengawasi lalu lintas ekspor impor. Untuk jasa SGS pemerintah membayar ratusan miliar rupiah per tahunnya.

Agar Ditjen BC tidak menjadi institusi yang menganggur, pemerintah tetap memberi pekerjaan ala kadarnya berupa layanan impor senjata, peluru, dan perlengkapan ABRI (kini TNI), komoditas dagang bernilai kurang dari US$5.000, minyak bumi mentah, barang pindahan, permata, barang kesenian, dan logam mulia.

Sementara pegawai Ditjen BC meradang, komunitas ekspor-impor bersorak-sorai menyambut pemberlakuan Inpres tersebut. Sebelum Inpres itu diterbitkan, proses mengurus dokumen ekspor-impor di Ditjen BC sangat rumit dan menghabiskan biaya tidak sedikit. Anda harus melintasi lebih dari 50 meja dan setiap meja adalah biaya.

Saat itu, pegawai Ditjen BC digambarkan sebagai PNS yang ugal-ugalan dalam menjalankan tugas dan wewenang. Inpres No 4/1985 diterbitkan untuk mengoreksi perilaku ugal-ugalan itu. Bagi sebagian orang, koreksi itu memang sangat menyakitkan. Namun, inisiatif perbaikan saat itu harus digagas dan Presiden Soeharto berani ambil keputusan.

Baru pada April 1997, fungsi Ditjen BC dipulihkan lagi bersamaan dengan lahirnya UU No 10/1995 tentang Kepabeanan.

Ugal-ugalan Lagi

Saat ini sektor kepabeanan pun mulai terlihat ugal-ugalan lagi. Namun, tidak berarti semua PNS pada Ditjen BC berperilaku buruk. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka tetaplah pribadi-pribadi terpuji yang bekerja keras mengabdi kepada negara. Itu sebabnya, kontribusi cukai dari tahun-tahun terus dinaikkan dan kerja keras mereka berhasil memenuhi target yang dipatok APBN. Publik juga mencatat kualitas pelayanan aparatur pajak dan cukai terus membaik dari waktu ke waktu.

Namun, sudah terbukti bahwa prestasi gemilang institusi kepabeanan terlalu sering dicoreng perilaku tak terpuji segelintir pegawai pada institusi mereka sendiri. Situasi tersebut menjadi semakin tidak mengenakkan bagi jajaran Ditjen BC.

Masyarakat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menyimak pemberitaan tentang rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan sejumlah PNS di Kemenkeu dalam tahun-tahun belakangan ini. Pengungkapan kasusnya silih berganti. Dari kasus Bahasyim Assifie berlanjut ke kasus Gayus Tambunan. Seusai kasus Gayus, terungkap kasus Dhana Widyatmika. Belum tuntas kasus Dhana, KPK menangkap dua pegawai Ditjen BC yang diduga menerima suap untuk mengeluarkan barang sitaan dari gudang Bandara Soekarno-Hatta.

Itu kasus-kasus yang sudah terungkap. Orang dalam di Ditjen BC menduga masih banyak kasus yang belum diungkap penegak hukum. Kejahatan di sektor kepabeanan ditandai dengan tingginya gelombang penyelundupan. Penyelundupan produk yang mengandung racun, produk kategori sampah, produk manufaktur kualitas rendah, hingga narkotika dimasukkan ke pasar dalam negeri nyaris tanpa hambatan.

Di sisi lain, keberhasilan BC menggagalkan penyelundupan tetap harus diapresiasi. Namun harus juga diakui bahwa intensitas arus penyelundupan aneka barang ke pasar dalam negeri tetap tinggi.

Dalam sebuah kesempatan belum lama ini, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan penyelundupan bukan masalah yang ringan untuk diatasi.

Membuka Akses

Untuk memperkuat pernyataan itu, sebuah asosiasi dagang mengungkapkan, di pasar dalam negeri saat ini, beredar sejumlah produk impor selundupan yang tidak memenuhi persyaratan, meliputi produk makanan-minuman, produk elektronik, hortikultura, tekstil, dan kosmetik. Aneka produk itu didatangkan dari China, India, Prancis, dan Malaysia.

Maraknya penyelundupan akhir-akhir ini menimbulkan persepsi yang buruk bagi aparat Ditjen BC. Diasumsikan, sebelum Inpres No 4/1985 diberlakukan 27 tahun lalu, pegawai Ditjen BC memburu uang sogok atau pungutan liar.
Kini, mereka dicurigai ngobyek dengan cara membuka akses untuk penyelundupan. Dampak kejahatan tersebut sangatlah serius. Tidak hanya membunuh produk dalam negeri, itu juga menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.

Kejahatan oleh PNS di sektor kepabeanan sudah sangat mencemaskan. Karena itu, Menkeu tidak cukup hanya prihatin menyaksikan rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan PNS di Kemenkeu. Ini pos penting yang mengelola pendapatan negara. Dari rangkaian kejahatan itu, publik dengan mudah berasumsi potensi pendapatan negara dari cukai jauh lebih besar jika ruang bagi PNS melakukan kejahatan bisa diperkecil.

Tentu saja, sejarah mosi tidak percaya terhadap Ditjen BC 27 tahun lalu itu tidak perlu diulangi. Akan tetapi, aparatur Ditjen BC harus juga realistis bahwa kepercayaan publik terhadap institusi yang mengelola pendapatan negara ini terus merosot. Kasus demi kasus penyalahgunaan wewenang terus terungkap. Rakyat sangat kecewa karena remunerasi yang menghabiskan anggaran sangat besar itu terkesan sama sekali tidak efektif memperbaiki akhlak dan moral banyak PNS.

Karena itu, harus ada upaya dari pimpinan Kemenkeu untuk mensterilkan pos-pos pengelolaan pendapatan negara dari pegawai yang berperilaku korup. Diperlukan kemauan dan keberanian melancarkan gerakan sapu bersih terhadap PNS dengan perilaku tak terpuji.

Selain itu, kecenderungan tersebut harus diperangi secara konsisten dan tegas. Bagi mereka yang terbukti korup dan divonis oleh pengadilan, jatuhkan sanksi seberat-beratnya. Pemerintah bersama penegak hukum harus berani merumuskan sanksi hukum dan sanksi sosial yang efektif menumbuhkan efek jera.

2 komentar:

  1. DPR sebelum bicara ngaca dulu, DPR jauh lebih bobrok! PNS bc adalah rakyat indonesia yang jumlah nya sangat bnyak, yang artinya remunerasi diberikan kepada pns bc dari anggaran negara berarti untuk rakyat banyak, daripada anggaran di korup masing pribadi anggota DPR. ini jauh lebih baik!

    BalasHapus
  2. Bener banget ngga DPR ngga PNS Bea Cukai dan PNS lainnya sama-sama korup, sebagai rakyat saya sudah tidak percaya lagi, terserah negara ini mau dibawa kemana kalau bisa ditenggelemin aja. *peace*

    BalasHapus