Sabtu, 14 Juli 2012

Koperasi dan Ekonomi Humanistik

Koperasi dan Ekonomi Humanistik
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar UI; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS, 12 Juli 2012


Ekonomi liberal-kapitalistik digerakkan oleh para homo-economicus, yaitu makhluk ekonomi rakus yang insting dan perilakunya mencari kepuasan dan keuntungan maksimal. Mereka menjadi ahli dalam hal meminimumkan biaya dan memaksimalkan perolehan.

Sedangkan homo-socius adalah makhluk sosial yang menjaga kerukunan antarsesama dan bekerja sama untuk kepentingan bersama. Homo-socius cenderung menjadi homo-ethicus, homo-religious, sekaligus homo-humanus, yang mengemban etika dan moralitas rukun agawé santosa, saling solider bekerja sama tolong-menolong, dalam kearifan lokal paro-édhing atau sithik-édhing, bukan yang saling bersaing, bermuslihat, dan bertarung menang-menangan sebagaimana homo-economicus.

Dalam berekonomi dikenal paham kompetitivisme (competition-based) dan paham kooperativisme (cooperation-based). Nalar kompetitivisme adalah bersaing untuk mencapai efisiensi ekonomi, dasar ideologinya kebebasan pribadi (individual liberty). Persaingan mendorong kerja keras. Yang bertahan hidup yang kuat, yang lemah tersingkir. Sedangkan nalar kooperativisme adalah bekerja sama membentuk kekuatan lipat ganda bersinergi. Sendiri-sendiri orang tak akan mampu mengangkut benda berat, kerja sama dua orang bisa mengangkat berpuluh kali benda berat. Inilah cooperation-based economy, membentuk sinergi untuk mencapai efisiensi.

Banyak ketidakpahaman soal sistem ekonomi Indonesia. Ada yang mencari-cari, ada yang ambivalen, lalu secara keliru menganggap sebagai sistem ”jalan tengah” (tulisan saya, Kompas 16/8/2005). UUD kita Pasal 33 Ayat 1 merumuskan ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan” tak lain karena paham ekonomi nasional kita mengutamakan kooperativisme. Lebih dari itu ditegaskan dalam penjelasan Pasal 33: ”…bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi…”. UUD 2002 (amandemen) tak memiliki penjelasan, tetapi untuk pasal atau ayat-ayat UUD 1945 (asli) yang tak diamandemen, penjelasan tetap berlaku dan dibenarkan Prof Maria Farida (kini anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi). Berarti kata ”koperasi” tak hilang.

Perkataan ”perekonomian”, sebagaimana bunyi Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945, tentu meliputi keseluruhan usaha ekonomi: formal, informal, ekonomi rakyat, swasta, BUMN, dan koperasi. Keseluruhan itu harus disusun sebagai ”usaha bersama” (mutualism) berdasar atas ”asas kekeluargaan” (brotherhood).

Perkataan ”disusun” artinya tidak dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar. ”Disusun” artinya didesain, ditata, tidak sekadar diintervensi. Dengan demikian, dalam perekonomian Indonesia, badan usaha swasta dan badan usaha BUMN paham usaha bersama dan asas kekeluargaan harus senantiasa dihidupkan. Kita menjunjung paham bergotong royong dan bekerja sama, tidak berkompetisi saling mematikan.

Prinsip Koperasi

Dari sinilah kekoperasian memunculkan prinsip Triple-Co, yaitu co-ownership (ikut memiliki), co-determination (ikut menentukan) dan co-responsibility (ikut bertanggung jawab), sebagai wujud kebersamaan dalam asas kekeluargaan. Mestinya Indosat sebagai badan usaha nonkoperasi tak dijual ke Singapura (kemudian ke Qatar), tetapi kepada para pelanggan pemegang ponsel, dibayar dengan menaikkan tarif pulsa sebagai cicilan pembelian saham Indosat. Dengan demikian, pelanggan sekaligus adalah pemiliknya, ini ciri khas koperasi.

BUMN-BUMN seharusnya tak dijuali ke asing, tetapi ditawarkan ke karyawan, pelanggan, dan kalangan luas (clienteles) dalam jaringan produksi, konsumsi, dan distribusi terkait, lalu dibangun sistem equity loan. Jadi privatisasi tak berarti asingisasi, melainkan pemerataan kepemilikan nasional. Pasal 33 UUD 1945 dan koperasi secara tegas menolak neoliberalisme dan persaingan bebas homo-economicus. Pasal 33 adalah sistem demokrasi ekonomi, artinya kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan orang-seorang, sebagai sistem ekonomi humanistik. Gerakan koperasi di Indonesia terlalu permisif untuk menolak berbagai UU neoliberal, tak mampu melawan neoliberalisme yang dipelihara di Indonesia.

Jangan Dihapus

Tentulah akan menjadi malapetaka konstitusional apabila mata kuliah koperasi benar-benar berhasil dihapus dari fakultas ekonomi universitas negeri terkemuka di Jakarta. Yang juga telah dicap sebagai ”benteng neoliberalisme” oleh seorang mantan Gubernur Lemhannas hanya karena kampus-kampus kita ditelan ”hegemoni akademis” (ideologi asing) dan dirundung ”kemiskinan akademis”. Kuliah-kuliah membangkang konstitusi.

Gerakan koperasi terserang ambivalensi ketika RUU Perkoperasian mengadopsi istilah ”saham” bagi penyertaan anggota koperasi, padahal koperasi adalah ”kumpulan orang”, bukan ”kumpulan modal” seperti halnya perseroan. Saham adalah uang, istilah khas perseroan kapitalistik. Sementara kesertaan dalam koperasi bukan berdasarkan modal uang, melainkan mengutamakan modal sosial yang meliputi uang, jasa, usaha, partisipasi, dan nilai-nilai emansipasi.

Gerakan koperasi harus menolak istilah ”saham” dan secara hakiki menggantinya dengan istilah ”andil” yang tak semata-mata uang. Itulah sebabnya dalam koperasi berlaku ”satu orang satu suara” (capital-based..?), sedangkan dalam perseroan berlaku ”satu saham satu suara” (people-based..?). Kooperativisme membangun manusia human, kompetitivisme membangun pemodal. Absurditas RUU ini juga dalam mengeksklusifkan koperasi tidak memperkukuh posisi koperasi sebagai bagian integral perekonomian nasional.

Kompetitivisme yang bersarang pada pasar bebas telah membuktikan kegagalan dan kebangkrutan teoretikal dan praxis- nya. ”Kebersamaan” mulai muncul kembali setelah sejak lama dikumandangkan moralis Inggris, Robert Owen (1771-1858). Pemenang Nobel, Stiglitz, telah memperkukuh keyakinan awalnya 2002 tentang perlunya mengakhiri pasar bebas–to end the laissez-faire, buku terbarunya The Free Fall (2010) dan The Price of Inequality (2012) yang mempertegas kegagalan-kegagalan pasar. Hatta, Bapak Kedaulatan Rakyat dan Bapak Koperasi Indonesia, telah menegaskan perlunya mengakhiri pasar bebas sejak 1934.

Koperasi sebagai bagian dari kooperativisme menolak persaingan bebas meskipun menganjurkan ”berlomba” (ber-concours, ber-contest), yang tertinggal ditolong agar maju. Kuantitas koperasi bertambah, tidak semuanya dengan roh kooperativisme. Ekonomi dunia mulai menolak neoliberalisme yang individualistik dan memanggil-manggil kembali ”kebersamaan”, kerja sama, dan solidaritas. Dirgahayu Koperasi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar