Sabtu, 14 Juli 2012

Kontradiksi Indonesia


Kontradiksi Indonesia
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm
KOMPAS, 11 Juli 2012


Orang-orang asing yang datang di Indonesia, untuk pertama atau kesekian kali, agaknya sulit percaya bahwa negeri ini termasuk dalam bahaya terjerumus menjadi negara gagal. Alasannya cukup banyak. Sejak masih berada di bandara mana pun di Tanah Air yang termasuk bandara internasional, mereka bisa menyaksikan kehidupan ekonomi-sosial yang bergairah.

Di bandara tersua jubelan manusia, khususnya di musim libur dan akhir pekan panjang, untuk menggunakan transportasi udara yang tidak lagi murah. Selanjutnya, begitu keluar dari bandara, memasuki jalan akses ke dalam kota, mereka segera terjebak dalam kemacetan atau kepadatan lalu lintas dengan mobil-mobil mengilap dan kerumunan motor.

Jubelan kendaraan yang kian memadati jalan di hampir seluruh kota Tanah Air mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia terus bertumbuh. Hal ini menjadi indikasi yang didaku rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai prestasi utama pemerintahannya.

Pendakuan itu mendapat pengakuan belaka dari banyak kalangan mancanegara antara lain dengan mengikutsertakan Indonesia dalam G-20, barisan negara-negara berekonomi besar.

Degradasi Pelayanan Publik

Akan tetapi, pada saat yang sama kenyataan itu secara kontradiktif menjadi pertanda kegagalan pemerintah pusat dan daerah mengembangkan infrastruktur jalan raya yang memadai guna mengimbangi peningkatan kemampuan warga memiliki kendaraan bermotor. Ia sekaligus mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi publik yang memadai, aman, dan nyaman. Bahkan, terlihat jelas adanya degradasi pelayanan publik dalam bidang ini.

Degradasi pelayanan publik adalah satu dari 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace yang bisa membuat terjerumusnya Indonesia—berada di peringkat ke-63 dari 178—ke tubir negara gagal. Segera jelas bahwa kemerosotan pelayanan publik di Tanah Air tidak hanya menyangkut transportasi publik, tetapi juga bisa ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan lain, termasuk di kantor- kantor pemerintah. Kontradiktif dan ironis, banyak pegawai pemerintah masih lebih merupakan representasi kekuasaan daripada pelayan publik.

Terkait dengan degradasi pelayanan publik—tetapi termasuk ke dalam indikator bidang sosial—adalah ketidakmampuan aparat keamanan dan penegak hukum mencegah aksi kekerasan di antara satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain. Secara telanjang, publik menyaksikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam aksi balas-membalas kekerasan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa.

Mereka yang secara eufemistik disebut media sebagai ”ormas” terlibat kekerasan dalam perebutan kekuasaan atas lahan parkir, tempat hiburan semacam diskotek, lapak pedagang kaki lima, lokasi pembangunan gedung, dan seterusnya.

Kekerasan juga terus berlanjut sewaktu-waktu dalam tawuran antarkelompok mahasiswa, antarkampung, antarsuku seperti terjadi di Papua, atau antarfaksi eks GAM di Aceh. Juga masih terjadi kekerasan kelompok tertentu atas nama agama terhadap kelompok lain, baik intraagama maupun antaragama berbeda.

Kekerasan sering menghasilkan mereka yang dalam kategori PBB termasuk ke dalam the displaced, orang-orang yang terusir dari kediaman dan kampung halaman mereka, seperti warga Ahmadiyah di NTB dan beberapa tempat lain di Tanah Air.

Meski aksi kekerasan akhirnya bisa dipadamkan oleh aparat kepolisian, apakah melalui tindakan represif atau persuasif lewat kesepakatan perdamaian tidak terdapat tanda meyakinkan bahwa bakal tidak ada lagi kejadian-kejadian seperti itu. Sebaliknya, potensi kekerasan antarkelompok warga itu menjadi laten, yang tersimpan di bawah permukaan, tetapi siap meledak sewaktu-waktu.

Potensi laten kekerasan antarkelompok massa berganda dengan kian meluasnya kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Meski lebih dari separuh penduduk Indonesia kini disebut termasuk kelas menengah, jelas kemiskinan dan pengangguran tetap merajalela di banyak tempat Indonesia. Kaum miskin yang jumlahnya berkisar seperempat sampai sepertiga dari total penduduk Indonesia yang 240 juta jiwa sangat laten memunculkan ledakan kekerasan.

Delegitimasi Politik

Kita sering dengan bangga menyatakan Indonesia dalam masa pasca-Soeharto adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Bahkan, di tengah gejolak Musim Semi Arab yang sangat sulit menuju demokrasi, Indonesia juga menjadi negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, di mana demokrasi tidak ada masalah dengan Islam.

Akan tetapi, kontradiktif dan ironis, kebanyakan elite politik, baik legislatif maupun eksekutif, mulai dari tingkat nasional, provinsi, sampai kota/kabupaten terus mengalami delegitimasi politik. Kian banyak warga kehilangan kepercayaan kepada elite politik dan pejabat publik yang tidak menjaga kepercayaan warga karena melakukan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan moral, seperti korupsi yang terus saja mewabah mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

Delegitimasi politik yang dapat menjerumuskan Indonesia menjadi negara gagal juga bertumpuk dengan kontradiksi lainnya, yaitu ketidaksesuaian antara pernyataan para elite politik yang sekaligus pejabat publik serta tindakan dan perilaku mereka.

Para elite politik tidak memberikan contoh yang baik kepada publik tentang akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas yang sangat mutlak tidak hanya untuk membangun kohesi sosial-politik, sekaligus guna membentuk negara yang kokoh secara hukum dan moral.

Proses delegitimasi politik tampaknya bakal terus berlanjut karena pada saat yang sama faksionalisasi di antara para elite dan kubu politik berbeda masih belum memperlihatkan tanda-tanda berakhir. Faksionalisasi dan kontestasi politik terus berlanjut karena konflik kepentingan.

”Koalisi” politik yang ada tidak lebih daripada sekadar ”kebersamaan” sangat rapuh yang segera merosot dalam momen tertentu terkait isu politik dan ekonomi semacam rencana pembancuhan kabinet atau naik-tidak-naiknya harga BBM.

Kontradiksi Indonesia terus pula berlanjut selama kepemimpinan dan elite politik tidak melakukan upaya serius untuk mengatasinya. Di sini diperlukan kepemimpinan visioner, kreatif, berani, dan berintegritas: tidak hanya sibuk dengan rutinitas dan pencitraan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar