Sabtu, 14 Juli 2012

Pesona Pemimpin


Pesona Pemimpin
Agus Hernawan ; Direktur Arah Indonesia
KOMPAS, 12 Juli 2012


Di Afrika Selatan, saat rezim Apartheid berkuasa, lahir Nelson Mandela. Kepemimpinannya membebaskan Afrika Selatan dari kejahatan segregasi. Di Amerika Serikat, pada masa rasialisme, muncul Martin Luther King Jr. Pidato King yang meneriakkan ”I have a dream” di Plaza Lincoln Memorial pada 28 Agustus 1963 menjadi salah satu pidato yang paling diingat oleh rakyat AS. Dari India, muncul Mahatma Gandhi dengan semangat antikekerasan. Ia masuk kategori leading with humility, memimpin dengan kerendahan hati. Di Indonesia, kita memiliki dwitunggal: Soekarno yang karismatik dan visioner dengan Mohammad Hatta yang cerdas, jujur, dan sederhana. Keduanya tidak tersanggah sebagai ”sampul depan” buku sejarah bangsa.

Keserakahan Minoritas

Indonesia hari ini adalah satu lelucon pedih. Bangsa yang hendak membuat patahan, melepas dari rezim tua di masa lalu, pada akhirnya kembali ke tempat ia sebelumnya berdiri: kekuasaan yang congkak, tidak adil, dan korup. Lebih satu dekade Reformasi bergulir, gerak kebangsaan seperti maju ke belakang, ke kemunduran. Segala impian agung semasa reformasi pun jadi kisah tertumbuk di jalan buntu dialu sejarah yang berbalik arah.

Selaku bangsa, kita menyia-nyiakan momen penting meliberasi diri. Situasi transisi telanjur jadi labirin yang menjerumuskan bangsa ini ke kategori negara bangkrut. Kepemimpinan nasional yang diharapkan jadi kompas, jadi penyuntik daya hidup, pengungkit rasa solidaritas kebangsaan, dan pemupuk self-management kepada lebih dari 200 juta rakyat bahwa kita tengah menuju ke terra firma (daratan impian), ternyata hanya ”sang pengeluh”—meminjam istilah Saldi Isra. Sementara lembaga legislasi cuma disesaki pesolek politik di atas podium pencitraan.

Kepemimpinan publik dijamuri para pemimpin atributif, minus pemimpin otentik. Di atas panggung demokrasi (baca: fashion democracy) dengan partisipasi politik rakyat yang palsu, para pemimpin atributif hanya pandai melenggak-lenggok, jadi iklan dan slogan. Mereka mendengar, tetapi tidak dengan hati. Mereka berbicara, tetapi tidak dengan kejujuran. Mereka dideterminasi oleh keserakahan minoritas. Akibatnya, setiap keputusan politik yang diambil tidak berkadar the logic of efficiency dan the logic of virtue.

Pemimpin atributif bukan yang dimaksud Plato dalam ”Republic”, Plutarch dalam ”Lives”, Thomas Carlyle dalam ”On Heroes, Hero-worship”, and ”The Heroic in History” atau Francis Galton dalam ”Hereditary Genius”. Memang mereka terikat pada ”asal”, tetapi tidak sinonim dengan silsilah terhormat para wong agung. ”Asal” yang dimaksud ialah keterikatan kuat pada kepentingan modal yang beroperasi secara infiltratif. Inilah ”asal” yang membentuk otoritas politik para pemimpin atributif.

Di depan kita, para pemimpin atributif seperti bayi tanpa dosa, tetapi di balik tirai fashion democracy, korespondensi transaksional dibangun. Indikasi ini terlihat pada penguatan oligarki lokal, khususnya di Sumatera dan Jawa, seiring dengan monopoli pengelolaan sumber daya alam dan konsentrasi-sentralisasi kekayaan daerah di tangan kelompok-kelompok tertentu.

Kepemimpinan nasional pun dapat dipastikan berada dalam alur kerangka yang sama. Pada akhirnya, determinasi keserakahan minoritas telah mengubah secara signifikan semboyan: will of the people menjadi will of the most powerful group.

Pesona Pemimpin

Pesona pemimpin dan pemimpin yang tebar pesona jelas distingtif secara semantik. Yang pertama ada pada pemimpin otentik. Yang kedua menunjuk kepada pemimpin atributif. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah satu pelopor gerakan kebangsaan, mencitrakan pemimpin otentik sebagai ”satria sejati”. Citraan ”satria sejati” tidak identik dengan pangeran di atas pelana kuda, tetapi praksis moral yang membentuk kultur pemimpin. Mereka bisa siapa saja, mengutip Ki Hajar Dewantara, asalkan ”... memiliki keberanian untuk melawan buto”.

Dalam bahasa Tjipto, ”satria sejati” ialah mereka yang berjuang melawan kebobrokan moral. Mereka lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat melintasi zaman edan menuju zaman emas. Situasi awal kebangsaan, pergerakan dan pembuangan, bagi Tjipto, merupakan masa tapa seorang (bakal) pemimpin.

Ini artinya, bagi Tjipto, pemimpin otentik tidak dilahirkan atau sekadar menerima warisan kepemimpinan dalam ordo kedinastian, atau hibah kekuasaan dari kekuatan modal. Mereka terlibat dan berbuat, dilahirkan sejarah, menuliskan sejarah, dan menjadi sejarah.
Keparalelan ”satria sejati” Tjipto itu dikontekskan dengan teori kepemimpinan ialah pemaduan transformasional dan kepemimpinan organik dalam praktik kepemimpinan yang melayani. Visi yang terang dan daya empati sebagai basis kepemimpinan transformatif ditemukan dengan basis kepemimpinan organik yang menempatkan pengikutnya sebagai pusat (follower-centric leadership). Keduanya menjadi praksis kesadaran dan kultur kepemimpinan untuk mengabdi dan melayani.

Orientasi pemimpin otentik ialah kesejahteraan dan keadilan mayoritas—bukan keserakahan minoritas. Di sinilah, pemimpin otentik menjadi pancaran suluh penerang. Mereka cahaya yang menerangi kenyataan hari ini sekaligus hari depan, labuhan kita selaku bangsa. Inilah pesona pemimpin otentik, satu investasi sejarah yang membuat tokoh-tokoh yang disebut di awal tulisan ini mengabadi dalam ingatan dan hati banyak orang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar