Sabtu, 14 Juli 2012

Kebebasan Akademis, Perspektif HAM


Kebebasan Akademis, Perspektif HAM
Abdul Hakim G Nusantara ; Ketua Komnas HAM Kurun 2002-2007
KOMPAS, 11 Juli 2012


Kebebasan akademis dan otonomi pendidikan tinggi sedang dipertaruhkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi di DPR.

Pemerintah yang diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tampaknya memilih kebijakan memperkuat kontrol negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan tinggi.

Kebijakan kontrol negara itu hendak dilakukan oleh pemerintah melalui pengaturan sivitas akademika, rumpun dan cabang ilmu, kurikulum, penelitian, serta penilaian menteri atas penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi: Pasal 9, Pasal 16, Pasal 20, dan Pasal 32 RUU PT (Kompas, 6/7/2012).

Kehendak pemerintah itu jelas akan mempersempit ruang gerak perguruan tinggi, dan belajar dari pengalaman di masa Orde Baru, kontrol negara itu bahkan dapat pada ketikanya meniadakan sama sekali kebebasan akademis dan otonomi pendidikan tinggi.

Kehendak pemerintah untuk meningkatkan kontrol negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan tinggi berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan yang diakui dan dijamin oleh UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB).

Karena itu, sangatlah dapat dimengerti apabila sejumlah pihak meminta agar RUU PT tidak cepat-cepat disahkan mengingat ia berpotensi untuk menuai gugatan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (Kompas, 5/7/2012).

Kebebasan akademis dan otonomi PT diuraikan panjang lebar dalam komentar umum hak atas pendidikan oleh Komite HESB. Komite HESB menegaskan bahwa hak atas pendidikan hanya dapat dinikmati jika disertai dengan kebebasan akademis bagi staf dan mahasiswa yang rentan penindasan oleh negara.

Kebebasan akademis memungkinkan para anggota masyarakatnya, baik secara individu maupun kolektif, bebas mengejar, mengembangkan, serta mengalihkan ilmu pengetahuan dan gagasan melalui riset, pengajaran, pengkajian, diskusi, dokumentasi, produksi, kreasi, atau tulisan.

Kebebasan akademis berarti pula kebebasan individu untuk menyatakan pendapat tentang institusi atau sistem di mana mereka bekerja, memenuhi fungsi mereka tanpa diskriminasi atau rasa takut adanya penindasan oleh negara atau aktor lainnya. Selain itu, juga berpartisipasi dalam badan-badan profesional dan perwakilan akademis serta menikmati semua hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional.

Harus Ditunda

Penikmatan kebebasan akademis disertai pula dengan kewajiban, yaitu menghormati kebebasan akademis liyan, memastikan diskusi yang jujur tentang berbagai pandangan yang berlawanan, dan memperlakukan semuanya tanpa diskriminasi. Dengan begitu, sesungguhnya kebebasan akademis diperlukan untuk menumbuhkembangkan kultur demokrasi dalam masyarakat perguruan tinggi, yang dapat terus berkembang di kalangan masyarakat luas.

Lebih jauh, baik di masa lalu maupun masa kini, kebebasan akademis membuka peluang bagi lahirnya berbagai pemikiran, sikap, dan aksi kritis dalam masyarakat, yang pada gilirannya mampu mendorong reformasi dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hanya penguasa otoriter yang anti perubahan yang membenci kebebasan akademis. Dalam upaya membangun kultur demokrasi dan HAM, kebebasan akademis adalah suatu yang niscaya. Menurut komentar umum Komite HESB, penikmatan kebebasan akademis mewajibkan adanya otonomi perguruan tinggi. Otonomi berarti adanya tingkat berpemerintahan sendiri yang perlu bagi efektivitas pembuatan keputusan oleh institusi-institusi perguruan tinggi dalam kaitannya dengan standar, pengelolaan serta pekerjaan akademis mereka, dan kegiatan yang berhubungan.

Berpemerintahan sendiri harus sesuai dengan sistem pertanggungjawaban publik, terutama berkenaan dengan pendanaan yang diberikan oleh negara. Dalam konteks ini, mengingat investasi publik yang substansial dalam perguruan tinggi, suatu keseimbangan yang tepat antara tuntutan otonomi kelembagaan dan pertanggungjawaban publik harus ditegakkan. Pengaturan institusi perguruan tinggi sejauh mungkin harus fair, adil, patut, serta transparan dan partisipatoris.

Komentar umum hak atas pendidikan oleh Komite HESB di atas merupakan tafsir dan bagian yang mesti diperhatikan dalam implementasi KIHESB. Mengingat KIHESB sudah menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia, sudah semestinya DPR dan pemerintah memperhatikannya. RUU PT yang sarat dengan kontrol negara itu perlu direvisi sehingga tercapai keseimbangan di antara kebebasan akademik, otonomi kelembagaan, dan pertanggungjawaban publik. Itu berarti pengesahan RUU PT harus ditunda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar