Kita
Tak Kunjung Gagal
Budiarto
Shambazy ; Wartawan Senior KOMPAS
KOMPAS, 30 Juni 2012
Tentu tidak nyaman kita dikategorikan sebagai
negara gagal oleh Fund for Peace.
Sebab, yang gagal pemerintah, bukan kita sebagai bangsa atau republik.
Kita tahu masalah yang menghadang dan terus
berupaya mengatasinya. Berlaku pemeo, ”tanpa pemerintah, kehidupan rakyat jalan
terus”.
Keutuhan wilayah republik tetap terjaga
sekalipun alutsista pas-pasan dan gangguan dari tetangga terjadi. Alhamdulillah
republik belum terpecah, seperti Uni Soviet atau Yugoslavia.
Sekali lagi, bukan kita yang gagal sebagai
bangsa dan republik. Pemerintahlah yang kerap absen memainkan peranan dalam
kehidupan kita.
Negara disebut gagal karena pemerintah kurang
mampu menciptakan kondisi sekaligus menjalankan tanggung jawab. Kegagalan bisa
hilangnya wilayah, ada ”negara dalam negara”, ketidakmampuan pemimpin mengambil
keputusan, kegagalan menyediakan layanan publik, dan sebagainya.
Pemerintah boleh berkilah tidak gagal atau,
dengan kata lain, berhasil. Itu sepenuhnya hak mereka yang memimpin
pemerintahan pusat dan daerah.
Tidak perlu reaktif menanggapi vonis negara
gagal dari Fund for Peace. Malah
heran mendengar pernyataan-pernyataan defensif pejabat.
Perlu dicatat, kegagalan pemerintah yang
kasatmata adalah lambannya pembasmian korupsi. Satu lagi kegagalan, menegakkan
kebinekaan kita.
Sikap terbaik berkaca diri untuk mengetahui
mengapa kita dianggap gagal? Padahal, kita disanjung negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia.
Kita mesti berkaca diri dari sepotong sejarah
pernah terhitung sebagai ”negara berhasil” (succeeded
country). Itulah periode dari Pemilu 1955 sampai berakhirnya Orde Baru
1965.
Tahun 1955 kita mengadakan pemilu untuk
pertama kalinya. Namun, sama seperti pada era Reformasi ini, proses demokrasi
itu malah menimbulkan krisis multidimensional.
Sama seperti masa 14 tahun reformasi, krisis
multidimensional disebabkan ulah partai dan politisi. Bung Karno menyatakan,
”Saya akan kubur hidup-hidup semua partai politik.”
Tokoh pengimbang Bung Karno, Wakil Presiden
Mohamad Hatta, mengundurkan diri. ”Dwitunggal” berubah menjadi ”Dwitanggal”
(gigi yang tanggal).
Menghadapi ancaman perpecahan, segenap
kekuatan dan tokoh politik mencoba merumuskan konsensus nasional baru. Tak
seperti sekarang, pada saat krisis semua partai dan tokoh cuek bebek.
Oleh segelintir orang, konsensus nasional
dianggap celah mendeligitimasi pemerintah. Apalagi, secara serentak muncul
kekecewaan daerah terhadap pusat yang memicu PRRI/Permesta 1957.
Pemberontakan tak akan terjadi tanpa
keterlibatan penunggang asing. Untungnya Bung Karno dan TNI cepat memadamkan
PRRI/Permesta.
Kegeraman terhadap partai dan pemberontakan
memengaruhi Bung Karno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Salah satu
butir dekrit kembali ke UUD 1945.
Setelah dekrit, pemerintah berjalan efektif.
Presiden mandataris MPR, lembaga penjunjung prinsip keterwakilan yang tak
melulu mewakili kepentingan partai. MPR mewadahi pula kepentingan minoritas,
daerah, dan golongan.
Yang terpenting, semua keputusan dimusyawarahkan
melalui konsensus. Tak seperti prinsip demokrasi Barat, ”the winners take all” yang mengabaikan mereka yang minoritas.
Melalui dekrit, terbentuk kabinet karya/kerja
yang sebagian besar kabinetnya terdiri atas kalangan profesional. Pembangunan
justru bergairah setelah periode ”Demokrasi Terpimpin” ini.
Bung Karno mencanangkan rencana pembangunan
delapan tahun 1961-1969 yang berambisi mencapai swasembada pangan dan ”take-off” dari negara pertanian menjadi
industri. Sumber daya alam berlimpah, sumber daya manusia siap bersaing.
Alutsista kita salah satu yang terbaik di
Asia Pasifik, kita siap ”go nuclear”,
dan utang luar negeri cuma 2,5 miliar dollar AS. Kita pendiri Gerakan Non-Blok
yang menolak Perang Dingin.
Sayangnya, kita justru terjerumus ke dalam Perang
Dingin di dalam negeri akibat perimbangan kekuatan Bung Karno, PKI, dan TNI AD.
Ada keinginan menggagalkan negara yang berhasil.
Kritik dilontarkan atas ambisi politik Bung
Karno. Namun, keliru juga mengatakan ekonomi kita berantakan saat itu.
Ekonomi malah berantakan setelah itu akibat
penghamburan sumber daya alam. Kalau dulu Indonesia ”kolam susu”, kini ”kolam
lumpur”.
Sistem politik kita campuran
”presidenter/parlemensial”. Artinya, kalau parlemennya merasa sial, presidennya
langsung gemetar.
Demokrasi Terpimpin dosa yang dengan cepat
dilupakan. Ironisnya, sebagian ciri demokrasi itu dimanfaatkan PM Malaysia
Mahathir Mohamad dan PM Singapura Lee Kuan Yew.
Andai ada pihak-pihak yang siap menggalang
perumusan konsensus nasional baru. Tidak perlu bersandar pada naskah asli UUD
1945, tetapi mengkaji ulang untung dan rugi setiap amandemennya.
Termasuk pula mengkaji ulang praktik
demokrasi kita yang menjadikan uang sebagai lingua
franca. Seperti kata sebuah pepatah, ”banyak jalan menuju Roma”.
Seperti kata judul buku Yudi Latif, kita
perlu kembali kepada ”negara yang paripurna” agar tidak gagal lagi jadi negara
gagal. Kita harus kembali bertanya, ”Apa cita-cita proklamasi kita?”
Sekali lagi, bisa saja pemerintah dituding
gagal. Namun, kita rakyat dan republik Indonesia tidak kunjung gagal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar