Sabtu, 14 Juli 2012

Khusyuk Korupsi Berjamaah


Khusyuk Korupsi Berjamaah
Muh Kholid AS ; Pemred Majalah MATAN, Surabaya
SINDO, 14 Juli 2012

Dalam pandangan kaum moralis, penyandingan kosakata “khusyuk”, “korupsi”, dan “berjamaah” dalam satu kalimat sebenarnya kurang elok sebab “khusyuk” dan“berjamaah”biasa digunakan dalam ritus keagamaan yang celestial, sementara “korupsi” adalah salah satu bentuk kemaksiatan. 

Sebagai ritus agama yang berkait erat dengan misi moral dan ketuhanan, tentu agak janggal jika menggabungkannya dengan tindakan yang menistakan nilai-nilai moral dan ketuhanan. Karena sifatnya yang saling bertolak belakang, ketiga diksi itu seharusnya tidak mendapatkan pembenaran dalam realitas. Sayangnya, fakta keindonesiaan menunjukkan bahwa kekhusyukan korupsi secara berjamaah itu memang terjadi. 

Realitas kontramakna yang saling bersinergi ini secara mudah bisa dilihat dari kasus korupsi dalam pembangunan Wisma Atlet Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), yang berpuncak pada pengadaan Alquran di Kementerian Agama. 

Kasus korupsi yang terjadi di lingkungan tiga kementerian berbeda itu ternyata selalu menyebut (oknum) anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah satu bagian dari jejaring. Melihat perjalanan penyidikan maupun keterangan di pengadilan, Banggar seakanakan menjadi tempat nyaman yang mendukung kekhusyukan para koruptor dalam menjalankan aksi.

Terbukti beberapa anggota DPR yang disebut terlibat korupsi adalah (mantan) anggota Banggar: M Nazaruddin, Anggelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati,hingga yang terbaru Zulkarnaen Djabar. Sudah tentu jumlah yang terseret semakin banyak jika dihitung dari nama-nama yang masih berstatus “terserempet”, tapi belum bisa dibuktikan secara legal-positivistik. Banggar ibarat tempat mesum terjadi “cinta segitiga” antara pengusaha, pejabat pemerintah, dan (oknum) anggota Banggar. 

Pengusaha memesan proyek kepada pejabat yang lantas didisposisikan dengan cara melobi anggota Banggar agar memenangkan pihak yang direkomendasikannya. Namun, ibarat pepatah “tidak ada makan siang gratis”, pengusaha yang ingin menang tender harus melengkapi diri dengan suap setiap berhadapan dengan “dua selingkuhannya” tersebut. 

Maka terciptalah ragam kata sandi untuk biaya perselingkuhan itu: “Apel Washington”,“ Apel Malang”,“durian”, dan sebagainya. Uniknya, meski tidak semuanya, salah satu celah malapraktik penganggaran itu justru diberi fasilitas luar biasa. Selain kewenangan “super” yang membuatnya berpotensi sebagai sumber korupsi, lembaga ini juga diberi fasilitas ruangan yang lumayan agar lebih khusyuk bekerja. 

Ibarat seorang pelaku sufi, (ruang) Banggar menjadi sebagai salah satu jalan terpendek dan termudah untuk melakukan ‘uzlah, yaitu perilaku menyendiri dari hiruk-pikuk publik agar bisa lebih fokus dan konsentrasi dalam menjalankan aktivitas. Bedanya, jika seorang sufi benar-benar memusatkan kegiatannya dengan ibadah berzikir dan tafakur kepada Tuhan, “kaum sufi” di Banggar memusatkannya untuk melakukan budgeting anggaran negara. 

Fasilitas dan kewenangan yang besar tentu tidak dimaksudkan agar anggota Banggar bisa lebih khusyuk melakukan korupsi berjamaah.Harapan ini tentu tidak berlebihan mengingat Banggar telah mencatat sebagai alat kelengkapan DPR yang banyak diterpa isu dan kasus korupsi. Pertama kali diungkapkan (mantan) anggotanya, Wa Ode Nurhayati, Banggar menjadi arena permainan mafia anggaran yang bekerja secara sistematis. 

Oleh anggota DPR lainnya, Lili Wahid, ditegaskan bahwa Banggar adalah wadah korupsi berjamaah antara eksekutif dan legislatif, yang tidak mungkin dijalankan secara munfarid (sendirian). Gosip tentang malapraktik dalam mengurus negara sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, termasuk di Banggar. 

Kasak-kusuk ini juga tidak lepas dari banyaknya orang yang duduk di Banggar yang merupakan perpanjangan tangan dari “mesin automated teller machine/ATM” partai politik. Beberapa oknum Banggar yang tergolong bagian dari mafia anggaran merupakan orang kepercayaan atau setidaknya (pernah) punya hubungan khusus dengan bendahara partai. 

Kasus korupsi Wisma Atlet, PPID, serta pengadaan Alquran menunjukkan bahwa korupsi yang bersinggungan dengan Banggar amatlah kompleks dan meriah. Kewenangan yang besar, ditambah dengan fasilitas yang nyaman, membuat korupsi bisa dilakukan dengan mudah secara berjamaah oleh beberapa oknumnya. Dengan mendistorsi fungsi suci Banggar sebagai bungker dari pengawasan publik, mereka menjalankan praktik korupsi lebih khusyuk tanpa terusik dunia luar. 

Menurut temuan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), terdapat modus “permainan” anggaran oleh DPR dengan menyetujui nilai anggaran yang lebih besar daripada nilai yang diajukan pemerintah. Dalam RAPBN 2011 misalnya pemerintah mengajukan dana Rp1,202 triliun, tapi DPR justru menyetujui Rp1,229 triliun atau membengkak Rp27,5 triliun. Penggelembungan ini menjadi semacam kreativitas ruang gelap yang potensial dirupakan dalam bentuk “apel” atau “durian” untuk disantap bersama-sama. 

Sudah tentu kekhusyukan korupsi berjamaah para oknum Banggar yang tak bertanggung jawab ini tidak boleh dilanjutkan.Yang diharapkan rakyat dari DPR adalah kehadirannya sebagai lembaga imun dari korupsi, bukan malah sebagai hulu korupsi. Dengan demikian, lembaga ini memang sudah sepantasnya terbuka bagi koreksi dan masukan publik,dengan tidak melakukan ‘uzlah dan menyembunyikan diri dari pantauan publik. 

Seluruh dokumen perencanaan berkait dengan APBN harus terbuka pada masyarakat agar terpantau, baik saat perencanaan, alokasi, maupun rapat-rapat antara DPR dan pemerintah. DPR dan semua alat kelengkapannya bukanlah media untuk berkorupsi jamaah secara khusyuk,tapi alat untuk memperjuangkan nasib rakyat menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Kekhusyukan dan berjamaah memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, yang tentu saja untuk kebaikan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk menggarong uang rakyat. Allah a’lam bi al-shawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar