Sabtu, 14 Juli 2012

Nyanyian Lama Bernama SDGs


Nyanyian Lama Bernama SDGs
Elfindri ; Profesor Ekonomi SDM Universitas Andalas
SINDO, 14 Juli 2012

Menjelang akhir tahun 2000, PBB sibuk dengan sebuah ide baru, Millenium Development Goals (MDGs). Di awal abad milenium itu lahirlah gagasan bersama MDGs, yang fokus pembangunannya diarahkan untuk memperbaiki delapan target. 

Target-target yang disusun meliputi persoalan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, kemiskinan, harapan hidup ibu, kesehatan spesifik, penyakit, dan kesetaraan gender. Tahun 2015 pun sebagai target waktu pencapaian ukuran-ukuran keberhasilan dari pembangunan MDGs itu. Tiga tahun menjelang berakhir target milenium itu, dipasang lagi sebuah target baru dalam pembangunan negara maju dan berkembang.

Kali ini terminologi MDGs dilengkapi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, alias Sustainable Development Goals (SDGs). Kalau pada MDGs fokus pada pembangunan manusia dengan segala hak-haknya, pada pembangunan SDGs tujuan pembangunan tetap mencapai kesejahteraan, namun proses pembangunan yang berlangsung hendaknya memberikan perhatian luas pada keberlangsungan proses jangka panjang. 

Sebenarnya, perhatian terhadap SDGs telah dicanangkan oleh Professor Samuelson; ketika konferensi ilmuwan ekonomi tahun 1960-an. Salah satu concern beliau adalah dalam menghitung kesejahteraan melalui nilai tambah barang-barang dan jasa-jasa, maka produksi bad commodities mesti dimasukkan sebagai salah satu yang mengurangi nilai tambah. 

Bad commodities masih diartikan sempit awalnya karena mencakup kualitas karbondioksida, limbah turunan hasil manufaktur, dan kurangnya kualitas lahan. Namun, akhir-akhir ini, isu sustainable tidak saja dilihat dari sisi bad commodities, tetapi bagaimana keseimbangan ekosistem dipertahankan ketika terjadi proses peningkatan nilai tambah, baik dalam pengurusan sumber daya alam (SDA), darat, laut maupun udara.

Isu-isu tentang pembangunan berkelanjutan semakin kritis dilihat mengingat ditemukan carrying capacity dunia semakin lama semakin berkurang. Bahkan, jumlah penduduk diperkirakan sudah mencukupi ketika dunia memasuki abad ke-21, sepuluh tahun yang lalu, green economy kembali lahir seperti yang diingatkan sebelumnya. Pertanyaannya adalah apakah yang menjadi biang keladi utama proses pembangunan yang tidak berlanjut? 

Keciutan para akademisi terhadap tesis Thomas Robert Malthus tentang bahaya ledakan penduduk ternyata lebih banyak benarnya dibandingkan dengan salahnya. Pangan sebagai isu sentral karena tidak akan sanggup ditingkatkan karena pertumbuhannya tidak secepat dibandingkan dengan pertumbuhan manusia yang memerlukannya. 

Sekalipun kemajuan teknologi yang diajukan oleh Profesor Ester Bouserup itu dapat dijadikan sebagai faktor masih dapatnya dipacu proses pembangunan, kemajuan teknologi sendiri masih kalah dibandingkan dengan kerakusan dalam peningkatan nilai tambah barang-barang dan jasa-jasa. Dulu, pada awal 1980-an, kemajuan teknologi telah terlihat dengan lahirnya green revolution. 

Kebutuhan akan padi dan gandum segera terpenuhi oleh dunia, sebagai akibat dari kemajuan gen dan pemakaian pupuk yang berlebihan. Kemudian revolusi hijau dilanjutkan dengan revolusi biru, blue revolution. Pada konsep revolusi biru ini, peningkatan produktivitas perikanan, baik air tawar maupun laut, telah pula dapat menangkal keperluan akan protein yang berasal dari perikanan. Tapi, saat bersamaan, terjadi perusakan ekosistem ikan dan wilayah tangkapan yang semakin sulit untuk diatur.

Memang untuk beberapa kawasan tertentu teknologi dapat meningkatkan ketersediaan kebutuhan manusia, akibat dari proses pembangunan.Namun sangat disayangkan, ketika diskusi bagaimana pembangunan berkelanjutan pada tahun 1990-an itu agak kurang membicarakan bagaimana dahsyatnya pengerukan kekayaan hutan dan tambang, penggunaan pupuk yang berlebihan, dan terganggunya ekosistem darat dan laut. Oleh karenanya isu lingkungan lebih luas dikembangkan sebagai pewarna dari pencapaian target SDGs. 

Lingkungan dan Kependudukan 

Kekhawatiran akan kualitas lingkungan memang tidaklah berlebihan. Ketika sekarang hutan di Indonesia memang mengalami percepatan berkurangnya. Jumlah kejadian tanah longsor di Pulau Jawa dan Sumatra semakin meningkat. Ketika musim panas tiba, produksi karbondioksida meningkat, lebih-lebih di atas Pulau Sumatra dan Kalimantan. 

Almarhum Masri Singarimbun dari PPK-UGM ketika tahun 1990-an tidak percaya perusakan hutan itu disebabkan oleh penduduk lokal, namun justru disebabkan oleh investasi pada subsektor perkebunan yang menyebabkan hamparan hutan sementara waktu menjadi gundul. Demikian juga ketika luas tangkapan di laut dijadikan sebagai faktor produksi penting untuk diperhitungkan dalam proses pembangunan. 

Dalam kenyataannya, hasil laut Indonesia sebenarnya dapat menghidupi penduduk yang berada di bumi Indonesia. Namun, pengurasan penangkapan dan pencurian ikan adalah sebagai salah satu yang mesti mendapatkan perhatian utama. Berlebihan memperhatikan persoalan hilir, hutan dan laut, dalam persoalan lingkungan sebenarnya juga bahaya ketika lupa memperhitungkan pentingnya pengendalian aspek demografis. 

Itu pula yang menyebabkan peringkat Indonesia dalam peringkat indeks negara gagal (fail state index)? gara-gara aspek demografis yang kurang mendapatkan agenda dalam membicarakan persoalan lingkungan. Pada periode Profesor Emil Salim menjabat menteri, persoalan kependudukan terintegrasi dengan persoalan lingkungan hidup. Keduanya serentak dibicarakan dan terintegrasi dalam setiap desain pembangunan. 

Sekarang aspek kependudukan menjadi redup dalam diskusi yang bertemakan bagaimana mencapai SDGs. Aspek kependudukan mestilah masuk ke dalam agenda pencapaian pembangunan berkelanjutan. Namun, sayang sekali hiruk pikuk konferensi RIO +20 lebih banyak kepada pembicaraan kesepakatan negara maju dan berkembang terhadap protokol Kyoto, sementara persoalan kependudukan tidak menjadi agenda dalam pencapaian SDGs.

Ketika hal ini dibiarkan, maka laju pertumbuhan penduduk, sebagai hulu dari akar persoalan, akan menyebabkan bobot persoalan semakin kompleks. Apakah masih banyak yang meragukan kekhawatiran Thomas Malthus tentang SDGs? Jika tidak ada terobosan khusus, maka persoalan pembangunan yang berkelanjutan kembali menjadi ajang kongkow-kongkow para kepala negara dan tentunya (akademisi) yang melupakan aspek ini.

Dimensi bagaimana penduduk segera dijadikan sebagai salah satu target pembatasan, salah satu target pengendalian dan mobilitas yang semakin merata. Jika tidak, maka 20 tahun lagi akan muncul isu tahun ini, yakni sustainable population and environment goals.Tunggu saja tanggal mainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar