Sabtu, 14 Juli 2012

Korupsi Wajar Tanpa Pengecualian


Korupsi Wajar Tanpa Pengecualian
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat            
SINDO, 14 Juli 2012

Saat ini praktik korupsi telah mewabah di segala lini. Jika pada masa Orde Baru korupsi terjadi di pusat kekuasaan eksekutif, sekarang lokus korupsi meluas ke poros-poros kekuasaan yang lain, baik legislatif maupun yudikatif. 

Trias politica yang diidealkan memerankan fungsi checks and balances justru seringkali berkomplot dalam melakukan penyelewengan kekuasaan sehingga terjadilah korupsi berjamaah (kolektif). Korupsi kemudian menggurita dan dianggap seolah wajar-wajar saja, di mana saja, dan kapan saja. Korupsi bahkan tidak hanya terjadi dalam struktur-struktur negara, tetapi juga dalam domain di luarnya.

Masyarakat yang berada di luar struktur negara juga terkenal virus korupsi, di antaranya karena “tertular” oleh perilaku korup para oknum dalam struktur-struktur negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Praktik korupsi yang paling mudah dirasakan dan terjadi secara kolosal adalah praktik politik uang pada saat penyelenggaraan pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres, maupun pilkada, bahkan sebenarnya juga pilkades.

Bisa dikatakan bahwa tidak ada satu pun momen penyelenggaraan pemilu yang bebas dari politik uang. Para kandidat yang memiliki hasrat besar untuk berkuasa menggunakan cara-cara instan berupa menebar uang untuk memengaruhi pilihan sebagian besar rakyat pemilik suara yang pragmatis. Akibatnya, praktik korupsi menjadi budaya dalam masyarakat.

Bahkan kemudian menjadi aneh jika ada kandidat yang maju dalam pemilu tidak memberikan sejumlah uang tertentu yang diasumsikan sebagai “pengganti” suara yang mereka berikan. Dalam konteks ini, sebab-musabab korupsi telah bertalitemali sangat erat dan menjadi mata rantai yang membentuk lingkaran setan. Perilaku para oknum penyelenggara negara dalam struktur negara menyebabkan masyarakat juga melakukan korupsi.

Perilaku masyarakat yang sudah mengidap virus korupsi dalam bentuk perilaku pragmatis dan materialistis menyebabkan para penyelenggara negara tidak bisa terhindar dari praktik korupsi, bahkan ada tuntutan untuk korupsi dalam jumlah yang lebih besar lagi. Itulah penyebab anggaran negara, yang sangat besar sekalipun, tidak fungsional untuk menyejahterakan rakyat.

Selalu saja terjadi berbagai kebocoran anggaran yang seharusnya digunakan untuk menggerakkan struktur-struktur negara untuk melayani rakyat. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran tersebut, negara membentuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Salah satu kewenangan BPK adalah menyatakan status apakah penggunaan anggaran(?) sudah benar atau tidak.

Namun, patut disayangkan, kredibilitas BPK tercederai oleh kebijakan BPK sendiri dalam memberikan status wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada lembaga-lembaga atau kementerian negara, sedangkan secara faktual terjadi korupsi di dalamnya. Di antara contoh yang paling nyata adalah BPK memberikan status WTP kepada Kementerian Keuangan, padahal kenyataannya terjadi korupsi yang sangat fantastik di sektor pajak.

BPK memberikan status yang sama kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga, padahal nyata sekali telah terjadi korupsi puluhan miliar rupiah dalam proyek Wisma Atlet dan Hambalang. Demikian juga kepada Kementerian Agama, padahal di dalamnya terjadi korupsi yang sangat menghebohkan, di antaranya yang berkaitan dengan proyek pengadaan kitab suci Alquran. BPK seharusnya mampu menjalankan fungsi untuk melakukan pencegahan dan menghilangkan korupsi.

Dalam konteks ini, BPK seharusnya tidak demikian saja secara sederhana mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian apabila lembaga penegak hukum telah mengendus terjadi praktik korupsi dalam sebuah lembaga negara. Salah satu cara yang harus ditempuh adalah memperbaiki metodologi dalam menghasilkan status kepada sebuah institusi dalam struktur negara, di antaranya tidak hanya menggunakan sampel hanya 1% dari nilai total anggaran.

Perbaikan metodologi tersebut sangatlah penting. BPK juga harus membuat terobosan baru yang bisa membuat laporan kepada BPK tidak bisa dengan mudah disiasati. Para koruptor tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat laporan yang mereka buat menjadi terlihat seolah wajar-wajar saja. Karena itulah, BPK tidak bisa bekerja dengan metode dan kinerja yang biasa-biasa saja.

Diperlukan metode dan kinerja yang luar biasa karena yang dihadapi adalah mereka yang memiliki kelihaian dalam melakukan berbagai manipulasi. Pemberian status WTP kepada sebuah institusi, padahal di dalamnya terdapat korupsi, secara langsung atau tidak, bisa menyebabkan lembaga-lembaga yang korup itu melanjutkan tindakan korupsinya.

Mereka merasa aman-aman saja dengan audit BPK. Bahkan berpotensi membuat lembaga-lembaga yang sebelumnya bersih dari praktik korupsi kemudian melakukannya karena menganggap bahwa untuk mendapatkan status WTP hanya diperlukan penyiasatan yang untuk melakukannya sangat gampang. Apalagi kalau ada oknum- oknum yang bisa dibayar untuk mendapatkan status tersebut.

Yang tidak kalah penting untuk membuat negara bersih dari korupsi dan memandangnya termasuk kejahatan besar adalah pemimpin yang kuat dan tegas. Untuk bisa tegas, prasyarat yang harus dimiliki pemimpin tersebut adalah tidak memiliki “utang” dalam bentuk apa pun kepada “aktoraktor hitam”. Pemimpin yang memiliki relasi dengan mereka yang melakukan korupsi bisa dipastikan tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan secara optimal dalam konteks penyelenggaraan negara yang bersih.

Pemimpin tersebut bahkan bisa kehilangan kepemimpinan karena kendali kepemimpinan sesungguhnya berada pada pemilik kapital yang berkontribusi secara finansial untuk “membeli”jabatan. Pemimpin yang bisa diharapkan bisa menyelenggarakan negara tanpa korupsi adalah pemimpin yang memiliki motif untuk melakukan perjuangan guna mewujudkan perbaikan negara.

Jika kepemimpinan direbut agar bisa digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri, korupsi akan terus terjadi dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap sebagai keharusan. Dalam situasi dan kondisi itu,korupsi akan selalu dipandang wajar terjadi di mana saja, kapan saja, tanpa pengecualian. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar