Senin, 16 Juli 2012

Mengamini Korporasi Edukasi Pencederaan HAM Serius

Mengamini Korporasi Edukasi
Pencederaan HAM Serius
Bambang Satriya ; Guru besar dan Dosen Luar Biasa Universitas Machung dan UIN Malang, Penulis Buku Etika Birokrasi
MEDIA INDONESIA, 16 Juli 2012


TAJUK Media Indonesia (14/7) berjudul Menertibkan Sekolah Nakal menyebutkan dunia pendidikan masih memperlihatkan wajah suram. Penerimaan siswa baru dari jenjang terendah sampai tertinggi masih diwarnai berbagai pelanggaran, terutama menyangkut pungutan.

Posko pengaduan penerimaan siswa baru tahun ajaran 2012-2013 yang dibentuk Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Ombudsman mencatat setidaknya ada 112 kasus pelanggaran di 108 sekolah di Tanah Air. Mayoritas pelanggaran terkait dengan pungutan. Besaran pungutan bergantung pada jenjang pendidikan. Untuk tingkat SD atau madrasah ibtidaiah sebesar Rp1,3 juta, SMP atau madrasah sanawiah Rp2 juta, dan untuk tingkat sekolah menengah atas Rp2,4 juta. Forum Masyarakat Peduli Pendidikan Kota Malang, Jawa Timur, bahkan menemukan 40 jenis pungutan liar yang dilakukan penyelenggara pendidikan di rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah bukan RSBI di Kabupaten/Kota Malang dan Kota Batu.

Masalahnya mengapa `sekolah nakal', sekolah serakah, sekolah tak kenal kasih sayang, sekolah berhaluan diskriminasi, atau sekolah yang menakar segala penyelenggaraan pendidikan mereka berasas serbauang itu tetap saja unjuk gigi di setiap tahun ajaran baru?

Mengapa sekolah-sekolah bergaya kapitaslistis itu bisa terus berjaya, tanpa merasa bersalah, dan tanpa merasa melanggar hak konstitusional warga?

`Sekolah nakal' atau `jagat pendidikan kapitalistis' itu secara fundamental layak dikategorikan sebagai wujud nyata pelanggaran terhadap hak kesetaraan pendidikan masyarakat. Sekolah bukan ditempatkan sebagai `rumah' yang memanusiakan dan mengharmoniskan, melainkan sebaliknya, didesain menjadi institusi dagang yang lebih berkiblat pada besaran modal yang bisa mereka peroleh.

Sekolah yang semestinya menjadi media strategis atau kawah candradimuka terhadap proses transformasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan moralitas agung akhirnya digeser penyelenggaranya sebagai `korporasi edukasi' yang mengutamakan harga jual alih-alih harga keadaban dan demokratisasi edukasi.

“Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya,“ demikian pernyataan John Hagee dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006), yang sebenarnya mengingatkan kita supaya dalam kehidupan atau menjalani aktivitas di dunia ini tidak menahbiskan uang atau tidak memenangkan uang di atas kesakralan ilmu pengetahuan (pendidikan).

Bukan Jadi Garansi

Uang memang bisa digunakan untuk membeli rumah atau sekolah, tetapi tidak otomatis bisa `membeli' kasih sayang yang bisa dihadirkan di dalam rumah dan sekolah. Uang bisa digunakan membeli kenikmatan dan kesenangan, tapi tidak bisa digunakan membeli kebahagiaan, ketenangan, dan khususnya keadaban (pembumian prinsip pemanusiaan manusia).

Sudah banyak sekolah mewah dibangun dengan menghabiskan uang hingga miliaran rupiah, tetapi pengeluaran yang sebanyak itu tidak selalu menjadi garansi institusi pendi dikan tersebut bisa menjadi mediasi lahirnya kedamaian, kebahagiaan, iklim progresivitas, dan pencerahan di dalamnya. Para penghuninya sebatas bisa mengarsiteki dan membangun serta membelikannya perabotan eksklusif bernilai ratusan hingga miliaran juta rupiah, tetapi gagal membelikan (memberikan) perhiasan terbaik bernama `keadaban' bagi anak didik mereka. Para peserta didik hanya dikenalkan pada besaran `korporasi edukasi' yang mereka terima, dan bukan keadaban yang wajib memperkuat kepribadian mereka.

Sosiolog kenamaan Juergen Habermas pernah bilang knowledge is power atau ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Siapa yang punya ilmu pengetahuan berarti punya sumber daya besar dan strategis yang menentukan sejarah peradaban manusia. Sepanjang dalam diri manusia, masyarakat, dan bangsa mengidap krisis ilmu pengetahuan atau menganaktirikan kesejatian kesakralan pendidikan, kemajuan dan kebesaran sebagai manusia, masyarakat, dan bangsa tidak akan pernah bisa diperolehnya.

Pendidikan Seumur Hidup

Syarat utama dan fundamental untuk memajukan bangsa ialah pemajuan ilmu pengetahuan atau menggalakkan gerakan cinta sekolah yang berbasis pemanusiaan manusia atau penyederajatan status sosial. Miskin atau kaya seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi, apalagi menghentikan dan mematikan semangat, gairah, dan obsesi untuk mengejar dan menguasai ilmu pengetahuan. Menggapai dan menguasai ilmu merupakan roh konsep ideal `pendidikan seumur hidup' (life long education), suatu pendidikan yang wajib diikuti setiap anak manusia di Bumi Pertiwi ini.

Kita pun disuruh berani `ibadah edukasi' melintas batas global demi ilmu, di masyarakat, bangsa, atau negara mana pun di dunia ini, sepanjang di situ memang menyediakan kesempatan secara egaliter untuk belajar dan menguras kemajuan ilmu pengetahuan yang tersedia.

Kita tidak boleh melihat pada siapa dan negara mana kita memperoleh `menu edukasi', tetapi kita disuruh menjadi pembelajar yang baik, yang berusaha maksimal mencerdaskan diri, termasuk menggerakkan semua mesin fundamental di negeri ini untuk membudayakan mental pembelajar atau membelajarkan mental mengutamakan jagat pendidikan, dan bukan mengamankan, apalagi mengamini akselerasi `korporasi edukasi', yang mendiskriminasikan (mengeliminasi) hak kependidikan.

Kita tak akan pernah punya anak-anak bangsa yang tangguh, militan, kreator, dan pejuang kalau diri mereka mengidap krisis ilmu pengetahuan, yang menjadi embrio merajalelanya `korporasi edukasi' dari `tuntutlah ilmu pengetahuan meskipun ke negeri China', yang merupakan sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan di mana pun dan dalam kondisi apa pun, kita wajib membangun anak-anak menjadi komunitas pembelajar. Kasus tawanan perang yang dijadikan guru oleh Nabi Muhammad SAW juga menandakan urgensi dan fundamentalnya proses transformasi edukasi, dan bukan pada berapa besar kalkulasi ekonomi.

Kebijakan edukasi yang dikeluarkan Nabi itu seharusnya dijadikan pelajaran berharga oleh setiap warga bangsa, bahwa penyelengga raan pembelajaran merupakan kunci utama yang menentukan keberlanjutan dan kejayaan hidup bangsa. Dunia pendidikan wajib menciptakan atmosfer membebaskan dan bukan menghadirkan penindasan atau pendiskriminasian karena dengan atmosfer itu, kepribadian peserta didik terbentuk menjadi pembebas, dan bukan menjadi penindas.

Hanya dengan bermodalkan pengistimewaan pendidikan itu, berbagai bentuk problem bangsa yang menjajah itu bisa dimerdekakan. Mengamini pelanggaran HAM (hak pendidikan) ibarat mengamini berlangsungnya penjajahan atau penindasan dan membenarkan terjadinya dan lestarinya disparitas edukasi di balik selubung korporasi edukasi.

Jika penyelenggaraan pendidikannya masih sarat baksil atau dikuasai semacam virus diskriminasi atau korporasi edukasi seperti maraknya `sekolah nakal', bukan problem bangsa yang bisa dientas jagat pendidikan, sebaliknya dari jagat pendidikanlah, akumulasi problem penyakit bangsa diproduksi dan dilanggengkan.

Alangkah menyenangkan dan kondusifnya iklim belajar-mengajar jika anak-peserta didik yang masih berusia dini atau terikat regulasi `wajib belajar', bisa menikmati iklim pembelajaran tanpa perlu `diganggu' guru, kepala sekolah, atau elemen koperasi sekolah, yang bermaksud menagih uang buku pelajaran, iuran OSIS, asuransi sekolah, dana kesehatan, dan `daftar' pembiayaan selangit yang mencekik?

Betapa bergairahnya anakanak kita dalam mendengarkan, menyerap, dan mendiskusikan pelajaran yang diajarkan para guru ketika kepala mereka tidak `dijejali' problem kebijakan `sekolah nakal' yang mencoba mencari celah-celah yang bisa dijadikan alasan mengail uang sebanyak-banyaknya.

Sudah saatnya kita, terutama dari kalangan `wong elite', tidak mengamini multidimensi korporasi edukasi karena dalam ranah hukum (PP Nomor 48 Tahun 2008), sebenarnya pemerintah telah berjanji hendak mewujudkan pembebasan atau pemanusiaan manusia atas anak didik dari segi biaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar