Sabtu, 14 Juli 2012

Angela dan Leopard

Angela dan Leopard
Al Araf ; Direktur Program Imparsial, Pengajar FISIP
Universitas Al Azhar dan Paramadina Jakarta
KOMPAS, 11 Juli 2012


Kanselir Jerman Angela Merkel berkunjung ke Indonesia saat pemerintah berencana membeli tank Leopard dari Jerman. Menurut Menteri Pertahanan Poernomo Yusgiantoro, pembelian tank belum tentu dibahas Presiden SBY dan Merkel.
Semua bergantung pada hasil laporan penilaian tim teknis Indonesia yang masih berada di Jerman.

Meski menuai kritik dari banyak kalangan, pemerintah bersikukuh membeli tank Leopard itu. Sebelumnya rencana membeli Leopard dari Belanda gagal setelah ditolak DPR, masyarakat sipil, dan parlemen Belanda sendiri yang menyinggung masalah pelanggaran HAM di Indonesia. Diperkirakan nilai kontrak pembelian dari Jerman ini membesar menjadi 280 juta dollar AS.

Tak bisa dimungkiri, membangun kekuatan pertahanan Indonesia dengan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) merupakan kebutuhan. Jatuhnya pesawat Fokker 27 beberapa waktu lalu dan beberapa insiden sebelumnya menunjukkan kondisi alutsista yang dimiliki TNI memprihatinkan. Meski demikian, pengadaan armada tempur bagi penguatan pertahanan Indonesia tak boleh dilakukan sembarangan.

Membeli alutsista butuh anggaran yang besar. Kehati-hatian dan kecermatan penting. Pengadaan alutsista sudah seharusnya diletakkan sebagai kelanjutan dari kebijakan, strategi, doktrin pertahanan, dan kapasitas dukungan anggaran dengan tetap mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas juga indikator perlu sebab terdapat kasus pengadaan alutsista yang diduga bermasalah, seperti pembelian Sukhoi dari Rusia.

Bukan Prioritas

Pembelian tank Leopard sebenarnya bukan prioritas pemerintah dalam membangun kekuatan pertahanannya. Dalam buku postur pertahanan yang diterbitkan Kementerian Pertahanan pada 2007, pembelian tank tempur utama—dikenal sebagai MBT— tak termasuk dalam kebijakan pembangunan postur pertahanan. Padahal, kebijakan dan buku postur pertahanan negara yang dibuat tersebut adalah bentuk perencanaan hingga 2029.

Dengan kata lain, kebijakan membeli Leopard tak konsisten dan tak sejalan dengan rencana pembangunan postur pertahanan negara hingga 2029. Kalaupun ada perubahan ancaman yang mendasar, tentu saja pemerintah dapat merevisi kebijakan pembangunan postur pertahanan itu. Apakah ada perubahan lingkungan strategis dan ancaman nyata yang memaksa Indonesia membeli tank Leopard?

Sebagai negara kepulauan dan tropis, ruang gerak MBT Leopard dengan berat lebih dari 60 ton tentu akan menghadapi kendala operasional dan mobilisasi dalam penggunaannya, meski bukan tidak mungkin MBT bisa digunakan di Indonesia. Hanya saja, seberapa efektifkah strategi MBT itu bisa digunakan dalam realitas geografis negara seperti Indonesia? Apakah tidak ada strategi lain yang lebih efektif dan efisien dalam membangun kekuatan darat, khususnya dalam menjaga perbatasan?

Indonesia berbeda dengan negara-negara kontinental yang memiliki kontur dan sifat tanah lebih solid sehingga dimungkinkan untuk mengandalkan MBT dalam membangun kekuatan pertahanan daratnya. Dalam beberapa peperangan yang terjadi, kekuatan tank mudah dikalahkan dengan serangkaian serangan tempur dari udara ke darat.

Kondisi infrastruktur penunjang MBT Leopard juga belum memadai di Indonesia. Jika tank ini akan digunakan menjaga perbatasan darat di Kalimantan atau Papua tentu saja dibutuhkan infrastruktur jalan dan sarana angkutan laut yang memadai. Masalahnya, dua hal itu sejauh ini ti- dak juga dibangun layak. Kondisi jalan di perbatasan Kalimantan, misalnya, tidak dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan tempur. Tentu saja minimnya infrastruktur penunjang hanya akan mempersulit tank itu bermanuver secara efektif. Artinya, harapan menimbulkan deterrence effect sulit dicapai.

Jika hanya ingin memperkuat pengawalan perbatasan, bukankah Indonesia lebih butuh pesa- wat tanpa awak untuk membawa guided missile atau dengan memperkuat sistem penguatan rudal dan radar dengan daya jangkau yang memadai dan terintegrasi? Ini sejalan dengan pembangunan postur pertahanan negara sebagaimana ditegaskan dalam buku postur pertahanan negara yang, dalam perencanaan 2010-2029, salah satunya akan memprioritaskan pembangunan dan pemenuhan sistem rudal strategis yang terintegrasi dengan sistem satelit dan nanoteknologi.

Kekhawatiran dan ancaman membeli tank Leopard bagi masyarakat sipil justru terlihat ketika rapat kerja dengan Komisi I DPR akhir tahun lalu. Pihak Mabes TNI secara gamblang menyatakan 100 tank itu akan ditempatkan di Jakarta dan Surabaya.

Dengan pernyataan yang bertolak belakang ini tentu saja wajar bila muncul pertanyaan, untuk menghadapi siapa tank ini? Seperti di Mesir atau Suriahkah, tank untuk menghadapi daya kritis warga? Apalagi pernah ada insiden penggunaan tank untuk tujuan politik di Indonesia: menjelang Presiden Abdurrahman Wahid turun dari kekuasaan, tersua tank menghadap istana negara yang diduga sebagai daya paksa agar Gus Dur mau turun dari jabatannya.

Lebih dari itu, penting digaris- bawahi keinginan menaruh tank Leopard di perbatasan. Salah satunya di Papua. Dikhawatirkan akan jadi alat represif penekan rakyat Papua, terutama Papua saat ini sedang bergolak! Bahaya sekali bila tank Leopard ini digunakan untuk menghadapi rakyat Papua.

Penguatan matra darat memang tetap harus dilakukan. Namun, pemerintah perlu mencermati kemajuan teknologi pertahanan yang lebih efektif dan efisien, realitas kondisi geografis, infrastruktur, kebijakan, strategi dan doktrin pertahanan Indonesia. Akan lebih baik jika pemerintah menambah kekuatan kavaleri TNI dengan tank jenis light atau medium, serta membeli helikopter yang memiliki kapasitas tempur atau angkut.

Itu sejalan dengan keinginan pengembangan industri pertahanan di dalam negeri, yang juga akan mengembangkan pembuat- an tank jenis ringan, bekerja sama dengan beberapa negara lain. Lagi pula, kebijakan SBY menekankan pentingnya mengembangkan dan membangun industri pertahanan dalam negeri.

Kalaupun harus membeli alutsista dari luar, transfer teknologi menjadi sebuah keharusan dan pertanyaannya: mungkinkah Pemerintah Jerman sukarela melakukan transfer teknologi dalam pembelian Leopard? Kalaupun ada transfer teknologi, cukup maukah kita menerima teknologi MBT Leopard yang didesain beberapa puluh tahun lalu?

Semoga Kanselir Jerman Angela Merkel menaruh perhatian pada semua ini. Adapun Presiden SBY tak perlu terburu-buru beli Leopard mengingat urgensinya yang banyak dipertanyakan publik dan parlemen. Segala hasrat dan kepentingan segelintir elite harus dihindari dalam pengadaan alutsista. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar