Kamis, 05 Juli 2012

Gonjang-ganjing Pasar Gula

Gonjang-ganjing Pasar Gula
Adig Suwandi ; Pengurus Pusat Ikatan Ahli Gula Indonesia
KOMPAS, 05 Juli 2012


Stabilisasi harga komoditas pangan utama merupakan konsep ideal yang diasumsikan berperan menjaga keseimbangan kepentingan produsen dan konsumen.

Namun, konsep ideal ini menjadi sebuah keniscayaan di tengah ketiadaan sumber daya yang dikuasai negara untuk membayar timbulnya sejumlah biaya. Implikasi pada tataran operasionalnya adalah pada penguasaan stok dan alokasi subsidi sebesar selisih antara harga pasar dan harga yang menjadi keinginan negara. Kegagalan stabilisasi harga bersumber dari tarik ulur kepentingan di antara pihak yang menuntut profit dalam batas-batas kewajaran, dengan kelompok lain yang tidak ingin dirugikan.

Fenomena konstruksi stabilisasi kini terbingkai secara jelas pada melambungnya harga gula saat panen raya tebu atau giling pabrik gula di tengah rendahnya harga di pasar ekspor. Negaralah yang kemudian dihadapkan pada dilema atas format terbentuknya harga di pasar.

Keberadaan gula yang sudah telanjur masuk komoditas politik membuat urusan bisnis dan penyerahan harga kepada mekanisme pasar terbuka menjadi agak rancu. Gula tidak hanya penting untuk kalori dalam bentuk konsumsi langsung, tetapi juga bahan baku bagi industri makanan/minuman dan kegiatan pengolahan pangan berbasis rumah tangga. Harga ekstrem tinggi membuat kegiatan tersebut tak berjalan normal, sedangkan harga rendah menstimulasi amarah petani tebu dan kalangan pabrikan. Partisipasi petani atas penyediaan bahan baku pabrik membuat peta kompetisi berubah secara frontral.

Kebebasan petani mengusahakan komoditas usaha tani apa saja yang dianggap menguntungkan dan memang dijamin UU, praktis membuat tebu kehilangan pamor kalau upaya peningkatan kesejahteraan para pelaku usahanya kalah dibandingkan komoditas lain di tengah ketatnya kompetisi mendapatkan lahan.

Eskalasi harga hingga Rp 13.500 per kg bahkan Rp 15.000 per kg di beberapa daerah jadi contoh betapa persoalan gula telah menyita atensi publik dan menyulut kepanikan. Meski konsumsi gula hanya 12 kg per kapita per tahun atau 1 kg setiap bulan dan mungkin 2 sendok per hari yang berarti signifikansi dampak kenaikannya terhadap pengeluaran rumah tangga tak terlalu besar ketimbang beras (139 kg per kapita per tahun), kencang tuntutan agar negara tak membiarkan bola liar bergerak di pasar gula.

Secara ekonomi, harga pasti turun saat jumlah barang yang ditawarkan di pasar jauh lebih banyak ketimbang permintaan dan sebaliknya. Harga gula pada level tender di kalangan produsen memang pernah mencapai Rp 11.835 (terjadi di Surabaya, 14/6/2012), tetapi dua pekan kemudian sudah anjlok ke arah Rp 9.650. Artinya, kalaupun eceran masih bertengger pada kisaran Rp 13.500, itu semata-mata karena pedagang membelinya dari produsen dengan harga tinggi. Dalam kurun waktu tak terlalu lama, harga dipastikan bergerak turun sejalan terbentuknya harga tender di tingkat produsen.

Tidak adanya intervensi negara praktis membuat pasar menjalankan mekanismenya sendiri. Sejauh ini, harga kompetitif dan melesat di atas harga patokan sangat diharapkan petani tebu agar komoditas yang mereka budidayakan lebih mampu bersaing. Hingga saat ini, harga masih merupakan penyuluh terbaik bagi petani ketimbang metode apa pun juga. Para petani yang sudah lama berkorban untuk menyediakan pangan bagi komunitas sekitar dan rela produknya dibeli dengan harga berapa pun mesti diapresasi. Hanya dengan pendapatan lebih para petani dapat melakukan praktik budidaya terbaik dan pabrik mampu melanjutkan revitalisasi.

Kemampuan Stabilisasi

Suasana Indonesia memang membingungkan karena ketika harga gula melambung, 
negara tak dapat berbuat banyak akibat tak punya stok yang dapat dilepas guna memengaruhi ekses penawaran barang di pasar. Lebih fatal lagi, kapabilitas untuk membeli dari produsen produk yang kemudian dapat dilepas ke konsumen dengan harga yang dikehendaki juga tak dimiliki negara. Berbeda kalau, misalnya, negara punya kedua-duanya. Instrumen yang dapat digunakan negara adalah mengatur stok dengan mencermati produksi lokal dan kemungkinan impor. Impor gula di masa giling jelas bukan saat tepat. Selain mengganggu pemasaran gula lokal, juga kontraproduktif terhadap pemberdayaan petani tebu.

Masih banyak persoalan yang harus diselesaikan untuk dapat meredam gonjang-ganjing pasar gula secara menyeluruh dan terintegrasi dalam jangka panjang. Sebut saja yang paling populer, konflik separasi antara gula lokal berbahan baku tebu yang peruntukannya hanya untuk konsumsi langsung dan gula rafinasi berbahan baku gula kristal mental (raw sugar) yang belum usai, setidaknya mengindikasikan ketidaktuntasan persoalan yang terjadi. Produksi gula lokal yang selalu lebih rendah dibandingkan kebutuhan dan arah penguatan basis produksinya dihadapkan pada sejumlah kendala, terutama keterbatasan varietas baru berproduktivitas tinggi, fluktuasi harga yang berimbas terhadap animo petani untuk menanam tebu dan melakukan ekspansi areal, perubahan iklim, dan keterbatasan lahan untuk pembangunan pabrik baru yang hingga kini belum terurai secara konkret. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar