Kamis, 05 Juli 2012

Ancaman dari Jalur Perdagangan

Ancaman dari Jalur Perdagangan
A Prasetyantoko ; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 05 Juli 2012


Selama ini, perhatian kita lebih banyak tercurah pada dampak krisis global dari jalur keuangan ketimbang dampak dari jalur perdagangan yang sebenarnya jauh lebih serius bagi perekonomian dalam negeri.

Pasar keuangan kita pernah mengalami penurunan drastis, ditandai dengan longsornya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dari sekitar level 4.200 menjadi 3.600. Nilai tukar rupiah juga sempat tertekan cukup dalam melebihi level Rp 9.200 per dollar AS.

Sementara ini, tekanan dari jalur keuangan relatif mereda, seturut kemajuan dalam pertemuan tingkat tinggi Eropa di Brussel baru-baru ini. Dalam pertemuan ini, disepakati peran lebih besar dari Mekanisme Stabilitas Eropa yang bisa langsung memberikan talangan kepada bank-bank bermasalah tanpa lewat perantara. Mekanisme ini diyakini akan mampu mengatasi persoalan likuiditas perbankan yang bisa terjadi secara tiba-tiba sehingga perlu respons cepat.

Namun, krisis kini mulai menyerang melalui jalur perdagangan. Dampak krisis dari jalur perdagangan dinilai jauh lebih mematikan karena menyangkut sendi-sendi perekonomian, terutama di sektor riil. Maka, jika tidak diantisipasi dengan baik, efek dari jalur perdagangan ini akan menurunkan tingkat produksi yang kemudian berdampak pada pengangguran. Defisit neraca perdagangan yang kita alami dua bulan berturut-turut mestinya bisa menjadi sinyal berbenah diri sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat.

Sektor Produksi

Financial Times (3/7/2012) menulis laporan utama tentang merosotnya indeks produksi manufaktur (Production Manufacturing Index/PMI) di AS. Kontraksi di sektor produksi AS itu terjadi untuk pertama kali dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan Survei Institute for Supply Management, penurunan aktivitas industri dari 53,5 pada Mei jadi 49,7 pada Juni.

Konsensusnya, jika PMI berada di atas angka 50, berarti ekonomi cenderung ekspansi dan jika di bawah 50, perekonomian berada pada fase resesi. Masalahnya, gejala resesi bukan saja menyerang AS, melainkan juga kawasan zona euro serta Asia yang selama ini dianggap sebagai mesin pertumbuhan dunia. Dengan begitu, sinyal terjadinya resesi global semakin kuat.

Penurunan PMI paling parah terjadi di zona euro karena kontraksi terjadi hampir setiap bulan sejak kurang lebih setahun terakhir. Mulai Agustus 2011, perekonomian Eropa seakan menyusur ke dasar lautan tanpa ada yang mampu menahannya. Bahkan, Jerman sebagai mesin pertumbuhan Eropa juga mengalami perlambatan produksi. Pada Juni ini, penurunan produksi Jerman tercatat sebagai kontraksi tercepat sejak 2009. Perlambatan sektor industri AS diyakini terjadi akibat berlarut-larutnya krisis Eropa. Kedua kawasan ini sudah saling memengaruhi satu sama lain secara ketat.

Perlambatan sektor industri juga menyerang China, dengan pertumbuhan industri terendah sejak tujuh bulan terakhir. Efeknya, hampir semua negara di Asia yang perekonomiannya bertumpu pada ekspor mengalami perlambatan industri cukup signifikan pada Juni ini. Mereka adalah Thailand, Taiwan, Korsel, dan Vietnam. Hampir semua negara ini memiliki PMI di bawah 50. Memang jika diukur dari PMI, Indonesia dan India justru mengalami kecenderungan berlawanan. India memiliki kinerja sektor produksi paling meyakinkan, dengan PMI naik dari 54,8 menjadi 55 dari Mei ke Juni. Survei HSBC pada Indonesia menunjukkan kenaikan PMI dari 48,1 pada Mei menjadi 50,2 pada Juni. Meski PMI di atas 50, bukan berarti kita aman dari ancaman resesi global.

Inflasi mengalami kenaikan dari 4,45 persen pada Mei ke 4,53 persen pada Juni serta ada kecenderungan terus naik. Kemampuan mengelola inflasi jadi salah satu kunci penting menjaga momentum pertumbuhan mengingat perekonomian lebih banyak didorong permintaan domestik. Inflasi tinggi akan menggerogoti kemampuan daya beli masyarakat yang pada gilirannya memukul sektor produksi.

Dampak ke Pengangguran

Di kawasan Eropa tingkat pengangguran, terutama usia muda atau kurang dari 25 tahun, sudah begitu mengkhawatirkan. Kelompok negara-negara kaya (OECD) mencatat angka pengangguran tertinggi sepanjang laporan pengangguran itu dibuat. Ada ketakutan krisis di Eropa tidak saja akan menimbulkan gejala ”dekade yang hilang” (lost decade), tetapi juga ”generasi yang hilang” (lost generation).

Di Spanyol dan Yunani, satu dari dua orang muda adalah penganggur. Padahal, 2007 lalu tingkat pengangguran usia muda di Spanyol kurang dari 20 persen, sementara di Yunani sekitar 22 persen. Krisis membuat angka pengangguran melonjak drastis, dan itu dimulai dengan penurunan laju produksi. Artinya, penurunan laju industri akan punya implikasi jangka panjang serius. Dan kini, pertumbuhan global tengah dalam bayang-bayang resesi sehingga ancaman dari jalur perdagangan perlu disikapi dengan serius.

Perlukah kita terlalu khawatir dengan perkembangan ini? Secara umum, perekonomian kita lebih ditentukan permintaan domestik. Seperti India, peranan ekspor tak terlalu penting. Sementara China bertumpu pada investasi dan ekspor sehingga perlambatan global begitu memukul mereka. Namun, defisit neraca perdagangan dua bulan berturut-turut (April-Mei) jadi sinyal serangan krisis global dari jalur perdagangan. Jika tak waspada, bisa-bisa kita terseret lebih dalam ke jalur resesi, seperti kecenderungan global akhir-akhir ini.

Ekspor mengalami perlambatan 8,55 persen pada Juni atau memburuk drastis dari Mei yang kontraksinya hanya 3,46 persen. Sebaliknya, impor melonjak 16,09 persen pada Mei menyusul kenaikan 11,65 persen pada April. Defisit neraca perdagangan pada April dan Mei 640 juta dollar AS dan 490 juta dollar AS. Ada dua penyebab pokok terjadinya defisit perdagangan dua bulan berturut-turut. Pertama, menurunnya harga-harga komoditas membuat nilai ekspor merosot drastis mengingat sebagian besar ekspor kita komoditas primer. Kedua, mulai berdampaknya penerapan pajak 20 persen terhadap 65 produk produk mineral, kecuali batubara.

Terkait penerapan pajak komoditas ekspor tersebut, sorotan tajam terus terjadi. The Wall Street Journal (3/7/2012) kembali menulis keprihatinan terhadap kebijakan yang cenderung protektif di sejumlah negara, seperti China, Tanzania, Argentina, Brasil, Meksiko, dan Indonesia. Sebenarnya, jika kebijakan tersebut dilaksanakan konsisten dan menghasilkan perbaikan yang riil terhadap kapasitas produksi kita, justru akan muncul efek positif. Namun, jika kebijakan protektif ini hanya dijadikan kedok untuk memperluas perilaku pemburuan rente, perekonomian kita akan menghadapi risiko yang lebih besar dari ancaman krisis global. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar