Ikan
Impor Vs Koperasi
Oki
Lukito ; Ketua Forum Masyarakat
Kelautan dan Perikanan,
Pelaku Usaha Budidaya Laut dan Tambak Organik
KOMPAS, 05 Juli 2012
Peredaran ikan impor sudah menyimpang dari
tujuan semula. Izin impor ikan awalnya untuk memenuhi kebutuhan produksi pabrik
pengolahan ikan. Namun, dalam realisasinya impor ikan telah disalahgunakan,
bahkan membahayakan konsumen.
Ikan impor dari China dan Vietnam, selain
murah dan mengandung formalin, ternyata sudah dijual bebas di tempat pelelangan
ikan (TPI), bahkan merambah pasar tradisional.
Sasaran peredarannya di pantai utara Pulau
Jawa yang sedang mengalami krisis ikan, mulai dari Pelabuhan Perikanan Muara
Baru, Jakarta, hingga Pelabuhan Perikanan Muncar, Banyuwangi. Ikan impor juga
dijual bebas di dua Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi di Trenggalek dan
Brondong, Lamongan. Konsumennya berasal dari berbagai strata sosial, seperti
pemindang dan pedagang, tetapi umumnya masyarakat miskin.
Pabrik pengolah ikan yang menjadi pangkal
izin ikan impor justru langsung bertransaksi dengan importir. Serangan ikan
impor di tempat pelelangan ikan dan pasar-pasar tradisional menunjukkan betapa
kacaunya manajemen perikanan nasional.
Pertama, pemerintah tidak bisa membatasi
impor ikan. Kedua, sistem pengawasan tidak berjalan. Ketiga, ikan yang
dikonsumsi adalah ikan beracun yang mengandung formalin.
Betapa lemah dan tidak berfungsinya Badan
Karantina Ikan yang seharusnya bisa mendeteksi dan menolak masuknya ikan yang
tidak layak konsumsi itu. Maraknya ikan impor dapat dijumpai di sejumlah TPI,
seperti di Pekalongan, Jawa Tengah; Mayangan-Probolinggo; Puger-Jember;
Prigi-Trenggalek; dan Pasar Ikan Pabean Surabaya.
Jawa Timur, yang pernah menjadi ikon
perikanan nasional, menjadi pemasok ikan impor. Ikan impor yang beredar setiap
bulan sedikitnya 1.000 ton, didatangkan dua importir asal Jawa Timur.
Tidak Punya Modal
Tidak berfungsinya TPI menjadi salah satu
penyebab beredarnya ikan impor di pelabuhan perikanan. Umumnya TPI hanya
berfungsi sebagai tempat penimbangan. Ikan hasil tangkapan nelayan hanya mampir
di pelabuhan. Setelah ditimbang, ikan langsung diangkut oleh pedagang tanpa
memberikan nilai tambah kepada nelayan. Dari hasil penimbangan, pemda setempat
mendapat retribusi 5 persen untuk pendapatan asli daerah.
Koperasi atau lembaga yang berwenang
menyelenggarakan lelang umumnya tidak berdaya karena tidak memiliki modal,
sedikitnya per sekali lelang butuh Rp 250 juta. Sebagai otoritas penyelenggara
lelang, koperasi tidak mempunyai posisi tawar menghadapi pedagang (pengambek)
yang merupakan kaki tangan perusahaan asing pengolah ikan tuna. Keberadaan
Koperasi Mina di pandang sebelah mata oleh pengguna jasa pelabuhan perikanan
lain. Kelemahan koperasi nelayan inilah yang dimanfaatkan penjual ikan impor
untuk masuk TPI dan menjual ikan dengan harga murah.
Di TPI Tamperan, Pacitan, harga ikan hasil
tangkapan nelayan sudah ditentukan para pengambek yang merupakan juragan kapal.
Ikan tuna ukuran 20 kilogram ke atas dibeli dengan harga termahal Rp 17.000 per
kg dan dijual kembali ke pabrik pengolahan ikan di Semarang, Solo, dan Surabaya
Rp 40.000 per kg. Keuntungan itu masuk ke pedagang dan tidak memengaruhi
kesejahteraan nelayan yang ikannya dibayar paling cepat satu minggu kemudian.
Pelabuhan Perikanan Tamperan, yang dibangun
dengan biaya Rp 300 miliar, menimbang ikan 50-100 ton per hari senilai Rp 1,5
miliar-Rp 2 miliar. Namun, hasilnya belum dinikmati nelayan setempat. Di
pelabuhan yang dibangun 2004 ini tercatat ada 90 kapal ikan sekoci ukuran 8-13
GT, masing-masing membawa enam anak buah kapal asal Sulawesi Selatan. Kapal itu
menangkap ikan dengan pancing (hand line).
Di Tamperan terdapat pula 22 kapal ikan 30 GT
yang beroperasi menggunakan jaring purse-seine, 20 unit di antaranya milik
pengusaha Pacitan, 2 kapal lainnya andon dari Prigi, Trenggalek. Sangat
disayangkan kapal-kapal purse-seine milik warga Pacitan tidak satu pun yang
mempekerjakan nelayan lokal sebagai ABK. Mereka merekrut nelayan dari
Pekalongan, Jawa Tengah. Nelayan asli Pacitan hanya menangkap ikan sejauh 12
mil dari pantai dan penghasilannya kurang dari Rp 20.000 per hari.
Akses Perbankan
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa nelayan dan
masyarakat pesisir sulit mengakses modal. Perbankan enggan mengucurkan kredit
bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sektor kelautan dan perikanan
dengan dalih risiko tinggi.
Perbankan umumnya belum memiliki tenaga ahli
yang menguasai usaha kelautan dan perikanan sehingga dalil itu sebetulnya lebih
didasarkan pada asumsi, bukan fakta. Sebagai gambaran, Bank Jatim yang sedang
berambisi untuk go public mempunyai tiga skim kredit yang dialokasikan untuk
masyarakat pesisir, yaitu Dana Penguatan Modal, Anti Poverty Program untuk kemiskinan, serta Dana Penguatan
Permodalan Kredit Usaha untuk Pengolahan dan Pemasaran.
Fasilitas permodalan yang dititipkan
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan bunga murah (6 persen per tahun) itu
disesalkan banyak pihak karena sulit diakses nelayan. Sementara Bank
Perkreditan Rakyat Jatim yang merupakan perusahaan BUMD Jawa Timur lain justru
agresif menawarkan fasilitas permodalan. Sayangnya bunga 12 persen per tahun
yang ditawarkan untuk modal usaha nelayan sangat tidak relevan. Besaran bunga
yang ditawarkan kendati lebih murah dibandingkan dengan bunga komersial lain
memberatkan nelayan yang penghasilannya rata-rata kurang dari 2 dollar per hari
menurut versi Bank Dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar