Bumi
Pertiwi yang kian Berduri
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam
Malang
MEDIA INDONESIA, 10 Juli 2012
MEDIA INDONESIA, 10 Juli 2012
SUDAH miskin, kenapa cari damai saja sulit? Sudah fakir, kenapa
cari rukun saja mahal?” Demikian testimoni yang disampaikan budayawan AM Rahman
saat diminta mengkritisi fenomena kekerasan, konflik, dan perlawanan di
sejumlah daerah seperti di Papua, yang tidak kunjung berhenti, yang oleh
sebagian peneliti disebut sebagai konfl ik yang sengaja diawetkan negara.
Gugatan dari budayawan itu mencuatkan pertanyaan logis, benarkah
elemen bangsa ini memang tidak menghendaki kerukunan atau persaudaraan
kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) membumi di Bumi Pertiwi ini? Apakah elite atau
pilarpilar negeri memang menyukai di sebagian wilayah Indonesia tetap tersimpan
banyak duri sehingga kebahagiaan, kerukunan, atau keharmonisan di kalangan wong
cilik semakin sulit menyejarah? Kalau memang masyarakat kita belum hidup
berdampingan dalam atmosfer kerukunan, persaudaraan kemanusiaan,atau gagal
mengikatkan diri dengan suasana damai lintas etnik, budaya, dan agama, mengapa
hal itu bisa terjadi?
Untuk mencermati potret kehidupan bangsa sekarang, tidaklah sulit
kalau kita memberikan ‘rapor buruk’ dalam soal kerukunan hidup bermasyarakat
atau persaudaraan kemanusiaan. Kondisi warga masyarakat masih belum menunjukkan
konstruksi kehidupan yang saling menopang dengan prinsip-prinsip kesetiakawanan
sosial, saling menyayangi, memanusiakan, dan menghormati atas dasar-dasar
kesamaan derajat (egalitarian) sebagai sesama manusia dalam payung besar NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Di tengah masyarakat tidak sulit kita temukan berbagai bentuk
ucapan, sikap, dan perbuatan yang sarat subjektivitas, irasional, gampang
menggelindingkan isu murahan, dan serbamenghakimi, yang diabsahkan untuk
menyulut terjadinya berbagai bentuk friksi (perbedaan), melahirkan dan
membenarkan faksi-faksi, serta rentan menyulut radikalisme.
Dalam ranah itu, kita akhirnya tampak bukan menjadi sebuah bangsa
atau masyarakat yang berkeadaban, tetapi lebih sering menampilkan wajah atau
gambaran ketidakadaban, menyemaikan duri di manamana, dan menghidupsuburkan
sikap merasa paling benar sendiri (truth
claims).
Bagaimanapun, fakta tidak bisa diingkari siapa pun bahwa ketika
kekerasan, radikalisme, atau chaos menjadi peristiwa yang akrab dalam kehidupan
masyarakat atau bangsa ini, hal itu jelas merupakan ujian besar bagi masyarakat
atau bangsa ini karena baik dalam ajaran (hukum) agama, norma-norma hukum
positif, maupun ideologi bangsa, tindakan-tindakan yang bercorak ketidakadaban tidaklah
dibenarkan. Selain i itu, jauh sebelumnya, Napoleon Bonaparte mengingatkan, “Di
tengah masyarakat yang menghidupkan dan menyuburkan kekacauan, hanya kaum
bajinganlah yang mendapatkan keuntungan.“
Kita gampang sekali menjadi elemen atau unsur sosial yang
tergiring melahirkan, memproduksi, dan melebarkan berbagai bentuk perilaku
radikalisme, fundamentalisme, etnosentrisme, dan main hakim sendiri di
mana-mana.
Kita telah tergelincir menjadi aktor atau pelaku yang terkadang sibuk
merekayasa lahirnya berbagai bentuk kekerasan supaya orang lain, kelompok lain,
atau komunitas lain tidak bisa menikmati kehidupan dengan damai dan harmonis.
Potret kehidupan dengan sesama dalam konstruksi kerukunan tidak bisa terwujud
akibat kita lebih memilih jalan hidup bermasyarakat atau bernegeri yang
serbaberduri, seperti men ciptakan dan melanggengkan krisis kredibilitas di
manamana dan mengumbar pola ketidakadaban dalam berbagai bentuknya.
Bangsa Brutal
Pakar kriminologi JE Sahetapy pun pernah mempertanyakan mengapa
bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah tamah, sopan, santun,
religius, tolong menolong, gotong royong, atau beradab berubah men jadi bangsa
atau masyara kat yang homo homini lupus, anarkistis, dan brutal dalam hampir
seluruh bidang kehidupan dan strata.
Frans Seda pun pernah mengungkapkan kegamangannya, setiap kali
terjadi tindak kekerasan seperti kerusuhan, perusakan dengan atau tanpa korban
jiwa, seperti perusakan/pembakaran masjid-masjid, gereja-gereja, dan rumah
ibadah lainnya, sarana-sarana transportasi dan gedung-gedung kepentingan umum,
cepat-cepat para tokoh masyarakat dan tokoh agama diminta kumpul untuk menge
luarkan pernyataan pernyataan penye salan dan pengutukan terhadap apa yang
terjadi itu. Sesudah itu berlanjut seperti biasanya, sampai kerusuhankerusuhan
dan perusakan-peru sakan berikutnya, yang juga akan di sesalkan dan kena kutuk.
Demikian seterusnya. Rentetan kerusuhan dan perusakan diikuti dengan rentetan
penye salan dan pengutukan. Memang pernyataan penyesalan dan pengutukan secara
publik itu perlu, tetapi belum mencukupi.
Itu juga sejalan dengan gugatan M Hasibullah Satrawi, ada apa
dengan Indonesia kita? Pertanyaan itu sangat sulit dijawab dalam kondisi bangsa
yang karut-marut seperti sekarang. Kemiskinan tak kunjung melepaskan
cengkeraman mautnya, para koruptor terus mengisap `sumsum' negara, ketegangan
di antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lain terus memanas, bahkan
sebagian daerah ingin memisahkan diri dari Indonesia kita. Di mana Indonesia
kita? Pertanyaan itu pun datang `tanpa diundang' di tengah berbagai macam
problematik yang terus mendera bangsa ini.
`Kegalauan' itu logis karena belakangan ini wajah Pertiwi
benar-benar berduri, yang antara lain terbaca melalui kemunculan gerakan
separatisme, bentrok fisik berlatar belakang suku dan agama, pelaksanaan
menyimpang dari otonomi daerah yang menghidupsuburkan dan bahkan melestarikan
etnosentrisme, primordialisme sempit yang berlebihan, dan demokratisasi yang
dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian ekstrem yang fanatik.
Pandangan realitas tersebut menunjukkan suatu gugatan keras
terhadap kondisi jati diri bangsa Indonesia secara keseluruhan. Konstruksi
bangsa ini dinilainya sedang mengidap penyakit kronis, yang kalaupun dicarikan
obatnya, membutuhkan banyak petunjuk dokter lebih dulu. Ketika bangsa ini diuji
kekerasan yang sering menyeruak terjadi, kita pun menggugat diri, bahwa kita
sedang menjadi manusia-manusia yang paradoks atau berlawanan jalan dengan agama
dan ideologi yang sudah kita tahbiskan sendiri. `Kita' yang paling parah ini
ialah komunitas elite yang memediasi kesejatian negara.
Katakanlah, jika Pancasila ditempatkan sebagai suatu pilihan
istimewa untuk membangun kerukunan hidup bermasyarakat dan berbangsa,
selayaknya setiap elemen bangsa ini, khususnya komunitas elite, menjaga
konsistensinya. Kesadaran terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam sila
Pancasila akan mampu menjadi modal moral bagi setiap warga bangsa untuk
membangun pola berkehidupan yang rukun, damai, dan saling menghormati.
Kesadaran parenial seperti itu akan membuat setiap elemen bangsa
ini bisa membangun konstruksi sosialnya dengan damai, bukan dengan saling
mengejek, menebar kesesatan, apalagi menyuburkan kekejian (ketidakadaban) di
mana-mana. Kesadaran atas kehadiran sesama dalam lingkaran kehidupannya
merupakan bentuk kesadaran fitri, yang membuat perjalanan kehidupan ini semakin
progresif dan menarik.
Dalam suatu hadis, Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Tidak disebut
beriman di antara kalian sehingga mencintai sesama atau saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.“ Sabda itu mengingatkan segenap elemen bangsa ini,
bahwa pergaulan bercorak universal yang berbasiskan kerukunan atau persaudaraan
menjadi penentu keberimanan seseorang. Setiap pemeluk agama tidak akan mencapai
derajat agung di sisi Tuhannya jika belum sukses menjadikan sesamanya sebagai
subjek yang dimanusiakan atau ditempatkan dalam ranah keadabannya.
Sudah saatnya kalangan elite menghentikan kesibukan mereka dalam
memanjakan diri atau sekadar duduk manis menikmati kursi. Rakyat di daerah dan
zona-zona pinggiran sedang menunggu sentuhan tangan-tangan amanat mereka.
Mereka juga akan lebih mudah membangun dan menguatkan persaudaraan kemanusiaan
jika elite (pilar) negeri ini tidak mempertontonkan berbagai bentuk kolaborasi
kriminalisasi yang bermodus mengorupsi hak-hak rakyat kecil di daerah dan
zona-zona pinggiran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar