Jakarta
Piktorial
Agus Dermawan T ; Kritikus, Penulis Buku,
Salah Satu Penggagas Jakarta Art Award
KORAN TEMPO, 10 Juli 2012
KORAN TEMPO, 10 Juli 2012
Di berbagai kota besar dunia,
seperti Wina, Koln, San Francisco, Shanghai, sampai Sydney, selalu ada museum
kota. Dalam museum tersebut terpajang berbagai artefak yang menandai sejarah
berdirinya kota sejak zaman dahulu kala. Di antara pajangan tersebut, biasanya
yang paling menonjol adalah benda-benda piktorial. Benda piktorial ini umumnya
terungkap dalam bentuk gambar dan lukisan.
Jakarta, yang kini berusia 485
tahun, juga memiliki museum semacam itu. Namun harus diakui, Museum Kota
Jakarta jauh dari lengkap, sehingga yang muncul ke hadapan publik kurang mampu
memberikan impresi sejarah kota Jakarta. Padahal Jakarta telah menarik
perhatian begitu banyak seniman untuk mempresentasikan dalam bentuk seni
visual, baik itu dalam topografi (gambar yang dibuat dalam hubungannya dengan
pemetaan) maupun dalam bentuk lukisan.
Sejak 400 tahun silam, gambar dan
lukisan tentang Jakarta telah dicipta. Karya piktorial itu, apabila dirangkai,
akan memunculkan cerita dokumentatif tak terkatakan, lantaran di dalamnya diusung
fakta sosial, politik, dan budaya dari masa ke masa. Dengan kandungan cerita
ihwal alam, adat-istiadat, ekosistem, perdagangan, pembangunan, tata kota,
lingkungan hidup, perilaku penduduk, dan sebagainya.
Kota ‘Goede Morgen’
Pada abad ke-17 Kota Jakarta
(kala itu bernama Batavia) dikencani sebagai negeri pelabuhan dagang yang elok
dan luas, dan secara kejiwaan memberikan setumpuk pengharapan. Gambar
topografis “Batavia opt eylandt Java”
karya Johannes Vingboons, misalnya, melukiskan Batavia dari tengah lautan
dengan memperlihatkan kapal-kapal dagang Belanda sedang berlayar di sekitar
pelabuhan. Langit tampak bersih, sehingga nun jauh di sana tampak Gunung Gede
dan Gunung Salak di Bogor, melatarbelakangi Hotel
de Batavia yang melambai-lambaikan tangannya.
Gambar itu bertutur: betapa
Batavia merupakan negeri yang amat layak dilancongi dan dihuni. Dan pemerintah
Hindia Belanda memang menjadikan Batavia sebagai negeri yang membuat orang tertegun.
Sampai-sampai di kemudian hari pelukis Andreas Beeckman merekam ihwal tanah
Batavia yang sudah dipatok-patok dengan planologi yang sangat terperhitungkan.
Ada sisi-sisi yang membiarkan pohon nyiur tumbuh subur, sementara pada sisi
lain dibangun istana yang memberi aksentuasi. Beeckman dikenal telah
menghasilkan 127 karya piktorial utama tentang keteraturan Batavia dan
sekitarnya.
Memasuki abad ke-18 Batavia telah
dipersepsikan sebagai negeri yang selalu mengucapkan “welkom” atau “goede morgen”.
Keramahan Batavia ini digambarkan oleh FX Habermann dalam karya “Vue de la Bastion Perl de Batavia”. Di
sini ia melukiskan pagi yang cerah di sebuah permukiman resik, rapi, dengan
sungai bening tempat bebek-bebek bercengkerama.
Pada abad ke-19 Batavia telah
menjadi kota yang mengajak semua orang untuk melibatkan kehidupan. Bukan hanya
orang-orang Belanda yang memiliki peluang hidup dan bekerja di sini, tapi juga
orang India, Arab, dan Cina. Pelukis Josias Cornelis Rappard menggambarkannya
dalam “De Chinese kamp bij Pintoe Ketjil
te Batavia”. Di situ tampak seorang pedagang Cina sedang berjalan sambil
mengentak-entak bel penanda. Di belakangnya, seorang bumiputra memikul dagangan
itu dengan gembira. Rappard adalah pelukis dokumentasi andal, sehingga karyanya
terbahas khusus dalam buku Dagwerk
in Indie – Hommage aan een Verstild Verleden susunan J. De Loos-Haaxman.
Abad ke-20
Memasuki abad ke-20, karya yang
dicipta tidak lagi bersifat topografis, melainkan sepenuhnya lukisan yang
diposisikan sebagai fine art.
Kecintaan seniman kepada Batavia menyebabkan para pelukis itu membentuk
komunitas Bataviasche Kunstkring.
Dalam komunitas ini para seniman digerakkan untuk mengakrabi Batavia sampai ke
sumsumnya. Lalu lukisan tentang Batavia pun hadir dalam penggambaran yang
begitu dekat, dalam jarak pandang close-up.
Karya Henry van Velthuysen, Jan van Aken, Pieter Ouborg, dan Ernest Dezentje
adalah secuil contohnya.
Namun, memasuki tahun 1930-an,
para pelukis pencinta Jakarta ini mulai menyebar ke berbagai daerah, seperti
Semarang, Surabaya, dan Bali. Pasalnya, Jakarta mulai diriuhkan oleh politik
pembentukan nasionalisme. Sementara itu, pelukisan eksotisme Jakarta mendapat
penentangan dari kaum nasionalis, dan dicerca sebagai “mooi Indie”. Sejak masa inilah Jakarta kurang menjadi sumber
inspirasi karya piktorial. Situasi ini berkelanjutan sampai Indonesia melewati
zaman Jepang, dan menelusuri zaman kemerdekaan pasca-1945. Presiden Sukarno
sebagai patron seni lukis Indonesia juga tidak mengarahkan hasrat para pelukis
untuk menggambarkan Kota Jakarta. Dengan demikian, yang tumbuh pada masa itu,
apalagi setelah 1955, adalah lukisan yang membawakan ideologi politik tertentu.
Fenomena politik ini berhenti
ketika seniman Indonesia memasuki era Orde Baru, sejak 1967. Tapi juga tidak
mengembalikan Jakarta sebagai kota yang piktorial. Uniknya, Jakarta jadi
inspirasi justru pada saat Jakarta harus disikapi dengan kritis. Dari situ,
lahirlah lukisan Srihadi Soedarsono “Jakarta Kampung Besar”, yang kemudian
disusul “Air Mancar”, 1973. Lukisan terakhir ini mengambil setting sekitar air mancar, Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta. Dalam lukisan, tampak gedung-gedung yang semuanya
memasang aneka billboard perusahaan Jepang. Lukisan sindiran
tentang Jakarta yang dibeli pemodal asing ini pernah membuat marah Ali Sadikin
pada 1975, sehingga Gubernur itu lantas mencoret-coret lukisan tersebut dengan
tulisan “Sontoloyo!!!... Bakero.. Banzai!”.
Di jagat piktorial, maaf kata,
dari kurun ke kurun Jakarta semakin suram citranya. Pada dekade 1980 sampai
2000-an, Jakarta malah dipersepsikan sebagai wilayah paradoks. Beberapa pameran
sketsa mengetengahkan gedung pencakar langit berdampingan dengan deretan gubuk
kumuh di tepian sungai. Kegembiraan orang-orang di kafetaria sekaligus
terpojoknya pencopet di bus kota. Atau mobil-mobil mewah yang terjebak macet,
bagai tampak dalam karya pelukis penerima berbagai penghargaan internasional
Catur Binaprasetyo, “B 1 DKI Terjebak
Macet di Kota Sendiri”. Sementara itu, pelukis Dede Eri Supria sejak 35
tahun lalu mempresentasikan Jakarta sebagai kota elegi. Hampir semua lukisannya
bertutur bahwa Jakarta adalah kapal pesiar yang mengapung di tengah danau air
mata.
Siapa pun semestinya berkeyakinan
bahwa pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta adalah tokoh-tokoh yang
tahu peran karya piktorial bagi sebuah kota. Karena itu, mereka dipastikan
paham bahwa piktorial Jakarta adalah dokumentasi, informasi, indikator
persoalan, dan tanda-tanda zaman. Dan tanda-tanda itu tak lain adalah teguran
yang menerangi jalan kepemimpinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar