Bebaskan
Anak Memilih Sekolah
Agus
Wibowo ; Magister pendidikan, Penulis buku
Pendidikan Karakter Usia Dini (2012)
MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2012
TAHUN
ajaran baru 2012-2013 akan segera dimulai. Pada momen tersebut, bukan anak saja
yang dipusingkan urusan perburuan sekolah, para orangtua juga merasakan hal
sama. Persoalan utama ialah mahalnya biaya pendidikan yang semakin membubung
tinggi. Isu mewujudkan pendidikan murah bahkan pendidikan gratis, yang biasa
diusung sebagai komoditas politik oleh banyak parpol atau calon presiden
menjelang pemilu, hanya janji gombal karena biaya pendidikan bukannya turun,
melainkan malah kian melangit.
Sebagai
gambaran, untuk memasuki sekolah dasar negeri saja, uang dalam jumlah jutaan
rupiah harus sudah di tangan. Uang tersebut antara lain untuk keperluan dana
sumbangan pendidikan (DSP), pakaian seragam, tas, sepatu, dan buku-buku. Bagi
keluarga yang memiliki lebih dari satu calon siswa baru, tentu dana yang harus
disiapkan pun menjadi berlipat ganda. Itu belum untuk sekolah swasta atau
sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Untuk
keluarga mampu, besarnya biaya pendidikan tentu tak jadi soal. Jangankan untuk
memasuki sekolah negeri yang rata-rata berbiaya lebih murah, memasuki sekolah
swasta favorit yang mematok biaya tinggi sekalipun bukan masalah. Lain halnya
dengan ratarata keadaan ekonomi keluarga di Indonesia saat ini. Naiknya
harga-harga kebutuhan pokok yang tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan
masyarakat membuat angka kemiskinan terus meningkat. Di sisi lain, meski
pemerintah telah mengucurkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), biaya
pendidikan tetap mahal. Pada kondisi demikian, besar kemungkinan pada tahun
ajaran baru kali ini banyak anak miskin tidak bisa melanjutkan sekolah.
Ego Orangtua
Problem
yang dihadapi anak lebih rumit lagi. Tidak jarang keinginan anak berbenturan
dengan ego dan cita-cita orangtuanya. Mengapa? Itu karena sebagian orangtua
telah memiliki ancangan ideal yang harus dipatuhi dan dilaksanakan sang anak.
Tak ayal, anak tidak memiliki kebebasan menentukan masa depannya sendiri,
termasuk dalam memilih sekolah. Misalnya, anak sebenarnya berbakat di bidang
IPS, tetapi lantaran orangtuanya berkeinginan menjadikan dokter, sang anak
dipaksa masuk di jurusan IPA, dan sebaliknya.
Pada
kondisi demikian, benar pendapat Elkind (1989) yang menyebutkan para orangtua
selalu berharap agar anaknya menjadi orang spesial (be special) atau orang Jawa menyebutnya linuwih ketimbang orang kebanyakan (be average). Harapan itu sejatinya tidak salah. Hanya, orangtua
harus menyadari buah hati mereka dilahirkan dengan sifat dan ciri khas
tersendiri. Pendek kata, setiap anak terlahir dengan keunikan, kelemahan, dan
kelebihan yang membedakan satu dengan yang lain.
Sayangnya,
sedikit orangtua memahami potensi yang dimiliki anak. Orangtua lebih sering
menjadi penindas laksana monster mengerikan yang merebut serta mencabik-cabik imajinasi,
ruang batin, dan cita-cita anak. Karena dipaksa menuruti ego orangtua, anak
akan mempelajari sesuatu yang tidak menjadi minat, bakat, dan kemampuannya. Kondisi
itu jelas tidak menyenangkan! Padahal, ketika belajar karena terpaksa, anak
akan sulit mencerna pelajaran. Hal itu disebabkan dalam memori otaknya sudah
ada blokade emosi. Perasaan kesal, marah, sebal, dan sedih sudah memblokade
efektivitas kerja otak dan menghambat motivasi (Puji Susilowati, 2008).
Anak
mungkin akan berusaha setengah mati supaya hasilnya baik. Dia akan berusaha
mengabaikan panggilan hidup dan perasaannya demi orangtua.
Kepahitan dan kegetiran, amarah, penyesalan, dan penasaran bisa jadi membayangi setiap langkah hidup anak. Dia akan tambah sedih lagi ketika melihat teman-temannya bisa berbahagia di atas kehidupan yang mereka pilih sendiri.
Kepahitan dan kegetiran, amarah, penyesalan, dan penasaran bisa jadi membayangi setiap langkah hidup anak. Dia akan tambah sedih lagi ketika melihat teman-temannya bisa berbahagia di atas kehidupan yang mereka pilih sendiri.
Kalau
anak yang dari keluarga kaya (the haves)
bisa saja dengan mudahnya mengulang atau pindah sekolah yang sesuai dengan
minat dan bakatnya, lain halnya bagi mereka yang kebetulan dengan ekonomi
pas-pasan. Itu bisa menjadi dilema berat.
Selain
problem psikologis, anak yang terpaksa mengikuti keinginan orangtua akan
mengalami problem akademis seperti prestasi yang tidak optimal, banyak
mengulang pelajaran yang berdampak bertambahnya waktu dan biaya, kesulitan
memahami materi, kesulitan memecahkan persoalan, ketidakmampuan untuk mandiri
dalam belajar, dan buntutnya ialah rendahnya nilai rapor atau indeks prestasi.
Problem
psikologis dan akademis yang dialami anak ternyata berimbas pada hubungan
sosialnya. Anak akan merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri. Ia merasa
tidak mampu menguasai pelajaran sehingga ketika hasilnya tidak memuaskan ia pun
merasa minder karena merasa dirinya
bodoh. Parahnya, anak akan menjaga jarak dengan teman lain, makin pendiam,
menarik diri dari pergaulan, lebih senang mengurung diri di kamar, takut
bergaul karena takut kekurangannya diketahui, dsb. Atau, anak bisa jadi agresif
karena kompensasi dari inferioritas di pelajaran. Karena merasa kurang di
pelajaran, dia berusaha tampil hebat di lingkungan sosial dengan cara
mendominasi, mengintimidasi anak yang dianggap lebih pandai.
Fobia Sekolah
Begitu
masuk bangku sekolah, anak masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan,
baik dari rekan maupun gurunya. Misalnya kekerasan fisik berupa pemukulan,
kekerasan emosi berupa pengabaian, kekerasan verbal berupa kata-kata yang
menyakitkan, kekerasan seksual mulai yang halus sampai dengan yang kasar, dan
tindakan-tindakan sengaja menelantarkan lainnya.
Karena
dipaksa menuruti ego orangtua, dan setelah masuk sekolah masih mengalami
berbagai bentuk kekerasan, anak akan menderita trauma psikologis yang disebut
Didik Darsono (2007) sebagai fobia sekolah. Secara singkat, Ivan Ward (1989)
mendefinisikan fobia sebagai ketakutan yang tidak masuk akal, tanggapan
terkondisi terhadap pengalaman yang bersifat traumatis. Adapun fobia sekolah
merupakan bentuk ketakutan yang tidak masuk akal terhadap sekolah. Gejala fobia
sekolah biasanya muncul ketika akan berangkat sekolah dan segera hilang setelah
pulang dari sekolah atau hari libur.
Selain
itu, fobia sekolah d ditandai dengan perilaku menolak masuk sekolah, sakit
perut, sakit kepala, dan berbagai gangguan fisik lainnya.
Para
ahli umumnya membagi fobia sekolah dalam skala ringan sampai dengan berat. Pertama,
fobia sekolah tahap awal atau disebut dengan istilah initial school refusal
behavior. Fobia tersebut ditandai dengan perilaku anak menolak masuk sekolah
yang tiba-tiba dan berlangsung kurang dari satu minggu.
Kedua,
fobia substantial school refusal behavior atau perilaku menolak sekolah yang
telah berlangsung lebih dari satu minggu. Fobia itu memerlukan penanganan yang
serius dari orangtua dan harus melibatkan guru kelas, konselor anak, atau guru
BP di sekolah.
Jika
fobia kedua tidak disembuhkan, anak akan mengalami fobia ketiga, yaitu acute school refusal behavior. Fobia itu
sudah berlangsung selama dua minggu hingga satu tahun. Karena fobia tersebut
sudah sangat akut, anak harus menjalani terapi hingga beberapa kali dan perlu
dibimbing seorang psikiater. Memang, secara medis fobia sekolah tidak begitu
kentara, tetapi bagi anak penderitanya sangat jelas terasa.
Pertanyaannya
kemudian, mengapa orangtua tetap memaksakan ego terhadap anakanak mereka?
Apakah mereka tidak menyadari dampak mengerikan yang akan dialami anak kelak?
Para orangtua, tulis Dewi Utama Faizah (2007), sebenarnya sadar jika pemaksaan
keinginan adalah keliru. Akan tetapi, mereka yakin keberhasilan mereka selama
ini lebih cocok bila diterapkan kepada anak. Pendek kata, orangtua lebih yakin
pada pengalaman hidup mereka ketimbang menuruti potensi dan keinginan anak yang
sifatnya masih labil.
Hal
sama juga ditemukan Elkind (1989) dalam penelitiannya terhadap tipe-tipe
orangtua mendidik. Elkind sampai pada kesimpulan bahwa bagaimana orangtua
mendidik dan memperlakukan anak akan sangat mirip dengan perlakuan yang mereka
alami ketika kecil dahulu. Misalnya pada tipe milk and cookies parents atau orangtua dengan latar belakang masa
kanak-kanak yang bahagia, masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung
menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anak dengan tulus. Mereka juga
sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh
dukungan.
Sudah saatnya orangtua tidak memaksakan ego
dan mulai memahami psikologi anak. Orangtua harus memperlakukan anak dengan
hati-hati, menempatkannya sesuai dengan potensi dan kelemahan yang ada dalam
dirinya. Orangtua, tulis Dewi Utama Faizah (2007), harus menjadi tipe orangtua
ideal atau dalam bahasa Elkind milk and
cookies parents, yaitu orangtua yang mengiringi tumbuh kembang anak-anak
dengan penuh dukungan dan menyayanginya secara tulus. ●
artikelnya sangat bagus, terima kasih ya, , ,
BalasHapus